Urgensi Peninjauan Kembali Perizinan dan Perjanjian Usaha Perkebunan

0
1399

Penerbitan Izin Cacat Hukum

Pada April 2019, Matias Anari mendapatkan salinan surat dari petugas Dinas Penanaman Modal, Perijinan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (DPMPTT) Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat. Salinan surat tersebut adalah Surat Keputusan Kepala Dinas DPMPTT Kabupaten Tambrauw Nomor: 570/042/DPMPTT/2018, tanggal 04 Agustus 2018, tentang Perpanjangan Izin Lokasi untuk Budidaya Tanaman Pangan dan Pengolahan Seluas 19.368,77 ha kepada PT. Bintuni Agro Prima Perkasa (BAPP) yang terletak di Distrik Kebar dan Distrik Senopi, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat.

Surat Keputusan tersebut diterima masyarakat setelah delapan bulan diterbitkan. Masyarakat pemilik tanah adat diareal PT. BAPP tidak banyak mengetahui informasi surat tersebut. Dalam kasus seperti ini, masyarakat kehilangan hak konstitusi untuk menggugat SK tersebut melalui peradilan Tata Usaha Negara. Terkesan, waktu pemberian salinan izin sengaja baru diberikan untuk menghindari gugatan TUN yang memiliki tenggang waktu 90 hari. SK ini juga mengabaikan tuntutan dan sikap Suku Mpur di Kebar yang menolak izin dan aktifitas PT. BAPP, sebagaimana dinyatakan oleh perwakilan masyarakat pemilik tanah Marga Wasabiti, Amawi, Wanimeri, Arumi, Kebar, Ariks, pada tanggal 17 November 2017.

Baca Juga: LBH-YLBHI: 33 Peristiwa Pelanggaran HAM Dialami Mahasiswa Papua Antara 2018-2019

Sebelumnya, Bupati Tambrauw telah menerbitkan SK Nomor 521/296/2015 tentang Izin Lokasi Budidaya Tanaman Pangan dan Pengolahan seluas 19.368,77 ha di Distrik Kebar dan Distrik Senopi, kepada PT. BAPP, pada 28 September 2015. Pada tanggal yang sama, Bupati Tambrauw mengeluarkan Surat Nomor 521/297/2015 tentang Izin Usaha Budidaya Tanaman Pangan (IUTP)  dan pabrik pengolahan seluas 19.368,77 ha di Distrik Kebar dan Distrik Senopi kepada PT BAPP.

ads

Penerbitan SK IUTP cacat hukum karena bertentangan dan tidak sesuai dengan syarat perolehan IUTP sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 39 Tahun 2010, Pasal 11. Dalam kasus ini, Bupati Tambrauw menerbitkan SK IUTP tanpa dilengkapi syarat dokumen lingkungan, yakni Kerangka Acuan ANDAL, AMDAL, UKL dan UPL, yang diwajibkan bagi pelaku usaha.

Baca Juga:  Festival Angkat Sampah di Lembah Emereuw, Bentuk Kritik Terhadap Pemerintah

SK IUTP PT. BAPP ini terkesan penerbitannya dipaksakan dan atau karena ada dorongan manfaat tertentu. Pada waktu yang sama terbit dua izin, yakni: Izin Lokasi dan Izin Usaha Tanaman Pangan. Perusahaan PT. BAPP juga belum mendapat tanggapan dari Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan terkait izin penggunaan kawasan hutan setelah ada perubahan komoditi dari kelapa sawit menjadi tanaman pangan. Karenanya, patut diduga Bupati Tambrauw melanggar hukum administrasi dalam penerbitan izin usaha.

Pengurus dan pemilik modal PT. BAPP berhubungan dengan Indogunta Group dan Salim Group. Di Tanah Papua, group perusahaan tersebut memiliki 10 perusahaan perkebunan dengan lahan seluas 266.736 hektar, salah satunya PT. BAPP di Tambrauw. Awalnya, PT. BAPP mendapatkan izin usaha perkebunan kelapa sawit dengan areal seluas 19.369 ha berlokasi di Distrik Kebar dan Distrik Senopi, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat.

Penggundulan Hutan

Berdasarkan pantauan citra satelit, kami menemukan perusahan PT. BAPP telah melakukan aktifitas penggundulan hutan di lembah Kebar sebelum memiliki Hak Guna Usaha (HGU). PT. BAPP memiliki HGU pada pertengahan Desember 2016, sedangkan giat penggusuran dan penggundulan hutan sudah dilakukan pada Mei 2016.

Dalam bahasa Suku Mpur, hutan disebut kesan, hutan campuran dan berawa disebut ya, hutan bekas kebun disebut babu, dan dusun sagu disebut niek bi. Hutan dan dusun sagu tersebut merupakan sumber mata pencaharian masyarakat dan sumber pangan lokal. Perusahaan PT. BAPP telah menggusur kawasan hutan dan dusun sagu di daerah Janderau, Bakram, Yereup, dan sekitarnya.

Penggundulan hutan ini membuat masyarakat bereaksi melakukan protes dan menolak aktifitas perusahaan PT. BAPP. Perlawanan keras dilakukan oleh kelompok marga tertentu dengan menghadang dan menghentikan penggusuran. Perusahaan berhenti sebentar dan kembali dilanjutkan dengan pengawalan aparat kepolisian dan hingga terjadi kekerasan.

Diketahui perusahaan PT. BAPP belum memiliki dokumen lingkungan dan izin lingkungan saat melakukan aktifitas penggundulan hutan. Bahkan hingga saat ini, perusahaan belum memiliki dokumen dan izin dimaksud. Perusahaan hanya memiliki dokumen Kerangka Acuan yang mendapatkan persetujuan dari Bapedalda melalui SK No. 064/184/KPTS/Bapedalda-Prov.PB/2016, tanggal 27 Juli 2016.

Baca Juga:  Pemprov PB Diminta Tinjau Izin Operasi PT SKR di Kabupaten Teluk Bintuni

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pasal 109 dan Pasal 111 ayat 2 yang mengatur tindak pidana bagi setiap orang yang melakukan usaha tanpa izin lingkungan dan pejabat pemberi izin usaha tanpa dilengkapi izin lingkungan. Berdasarkan pasal diatas maka disimpulkan terjadi dugaan tindak pidana dilakukan oleh perusahaan dan pejabat daerah.

Penolakan Terhadap Perjanjian

Kami menemukan salinan surat-surat antara perwakilan masyarakat dan perusahaan PT. BAPP, yakni Surat Pernyataan Pelepasan atas Penguasaan Tanah; dan Berita Acara Pelepasan atas Penguasaan Tanah Ulayat, yang ditandatangani 5 (lima) perwakilan marga pemilik tanah masing-masing pada waktu yang berbeda, sekitar September 2015, November dan Desember 2015.

Surat pernyataan memuat perjanjian antara perwakilan marga pemilik tanah dengan pimpinan PT. BAPP, bahwa pihak warga memberikan mendukung kepada perusahaan; pihak warga melepaskan tanah, termasuk tanaman dan benda diatasnya dengan tidak meminta ganti rugi; kepala marga dilibatkan untuk pengembangan komoditi budidaya tanaman pangan dengan luas ½ hektar per kepala keluarga; pihak warga di Kampung Jandurau mendapatkan uang penerangan sebesar Rp. 1,5 juta perbulan; pengadaan tenaga kerja diprioritaskan masyarakat setempat sesuai kemampuan; pihak warga mendapat uang tali asih sebagai ungkapan terma kasih sebesar Rp. 100 juta dan pihak warga tidak akan membatalkan perjanjian dan atau menarik dukungannya; perusahaan mengembalikan tanah ulayat setelah HGU berakhir.

Pada akhir tahun 2017 hingga 2018, masyarakat sekitar areal melakukan protes dan perlawanan terbuka terhadap aktifitas dan perizinan perusahaan PT. BAPP, termasuk surat pernyataan pelepasan penguasaan tanah. Pada Februari 2018, organisasi KPKC GKI Tanah Papua di Jayapura menerima berbagai dokumen perusahaan PT. BAPP. Masyarakat mengkonfirmasi belum pernah mendapatkan salinan dokumen surat pernyataan pelepasan atas penguasaan tanah dimaksud dan peta lahan perusahaan.

Masyarakat mengakui menandatangani dan menerima uang tali asih, bukan uang ganti rugi, namun isi perjanjian tidak memuat kesepakatan terkait objek lahan yang boleh dikelola perusahaan yakni lahan padang rumput atau disebut nikudalam bahasa Suku Mpur, bukan hutan, kebun dan dusun sagu. Masyarakat juga mengetahui bahwa perusahaan meminta lahan hanya untuk uji coba kebun tanaman pangan komoditi jagung, tanpa menyebutkan lama waktu penggunaan. Faktanya tidak demikian.

Baca Juga:  Warga Tiom Ollo Duduki Kantor Bupati Lanny Jaya Minta Atasi Bencana Longsor

Anggota marga protes dan menolak lampiran surat pernyataan yang memuat nama anggota marga dan tandatangan sebagai pihak yang menyetujui pelepasan. Mereka tidak pernah menandatangani surat dan menduga ada pihak yang menjiplak dan memalsukan tandatangan. Ditemukan lampiran surat ditandatangani oleh orang yang sudah almarhum.

Marga Arumi dan Marga Ariks secara terbuka menolak surat perjanjian dan menolak tanah mereka dikelola perusahaan. Mereka mengembalikan uang tali asih kepada perusahaan senilai Rp. 150 juta. Di lapangan, Marga Arumi dan anggotanya sudah menentukan dan membatasi mana lahan yang boleh dan tidak boleh digunakan perusahaan, tapi perusahaan menggusur dan menyerobot kebun dan hutan adat mereka.

Dalam kasus ini, syarat sahnya sebuah kesepakatan atau perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak terpenuhi, dikarenakan proses dan objek yang disepakati berlangsung tidak sebagaimana mestinya, dilakukan secara terpaksa dan terjadi kesilapan, tidak ada itikad baik dan tidak ada kesempatan bagi warga kebanyakan untuk mempelajari dan memutuskan secara bersama isi kesepakatan, serta isi kesepakatan kurang lengkap. Seharusnya surat pernyataan dan perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

Sehubungan dengan peningkatan dan reformasi tata kelola hutan dan lahan, memberikan kepastian hukum, keadilan dan perlindungan lingkungan, seharusnya kasus-kasus dugaan penyimpangan izin dan perjanjian seperti ini, yang banyak terjadi di Tanah Papua sangat urgen untuk ditinjau kembali. Pemerintah daerah dan nasional harus proaktif melakukan evaluasi secara menyeluruh dengan menggunakan berbagai instrumen hukum, termasuk hukum-hukum adat yang masih hidup dalam masyarakat.

Pemerintah dan aparat penegak hukum harus tegas dalam pemberian sangsi pada perusahaan yang diduga melanggar hukum dan konsisten membatasi penguasaan tanah yang melebih ketentuan batas maksimum.

Yayasan PUSAKA 

Artikel sebelumnyaRusuh Manokwari, (Target) Apa Yang Dibidik
Artikel berikutnyaPenentuan Nasib Sendiri, Solusi Terbaik Akhiri Rasisme