
PANIAI, SUARAPAPUA.com — Ribuan rakyat Papua di Kabupaten Paniai yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Rasisme, Senin (26/8/2019), menggelar aksi demonstrasi damai kutuk tindakan persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya yang dilakukan TNI-Polri, Sat Pol PP dan Ormas, pada 16 dan 17 Agustus 2019.
Massa aksi sebelum berkumpul di titik aksi lapangan Karel Gobai, Enarotali, tepat pukul 08.00, mereka berkumpul di lima titik kumpul, Dermaga Aikai, Toputo depan SD Negeri, Dermaga Ibumaida, Nunubado dan Ugibutu Bobaigo.
Setelah berkumpul semua di lapangan Karel Gobai, masa waita (lari berputar) sambil teriak “Papua Merdeka”. Masa lalu lakukan doa bersama dipimpin Pendeta Gerard Gobai.
Kemudian masa long march ke sasaran aksi yakni kantor DRPD Paniai dan Kantor Bupati Paniai, Madi. Sepanjangan perjalanan ke sana, masa tak henti terus teriak ‘Papua Merdeka’.

Sesampai di kantor DPRD, masa tidak menyampaikan orasi politiknya. Mereka bersama beberapa anggota DPRD yang sudah ada sebelumnya, bersama bergerak menuju kantor Bupati.
“Disini memang rumah kita rakyat Paniai, tapi kami tidak akan sampaikan orasi disini. Kami kesini mau jemput anggota DPRD yang ada sama-sama ke kantor Bupati. Nanti depan Bupati baru kita sampaikan semua orasi politik. Untuk itu sebagai wakil rakyat, silahkan bapak-bapak DPRD pimpin kami menuju kantor Bupati,” kata koordinator aksi, Abed Gobai, di depan kantor DPRD Paniai, Madi.

Begitu tiba di kantor Bupati, masa langsung waita sambil terus berteriak ‘Papua merdeka’ berkisar 15-20 menit. Sesudah itu tak lama kemudian, Bupati Meki Nawipa dan jajarannya menemui masa aksi tuk mendengarkan aspirasi.
Penjagaan aksi oleh gabungan aparat keamanan TNI-Polri terlihat tak begitu ketat seperti biasanya. Mereka hanya berjaga di depan pintu masuk gerbang kantor Bupati sambil tenteng senjata api dan sebagainya gas air mata.
Depan Bupati beserta jajarannya, anggota DPRD, pimpinan aparat keamanan TNI-Polri dan masa aksi, Kordinator aksi, Abed Gobai, dalam orasi politiknya mengatakan semua orang Papua tanpa terkecuali telah dicap sebagai binatang ‘Monyet’ maka solusinya adalah berpisah dengan Indonesia.
“Ko Gubernur, Bupati, DPR, PNS, Polisi, TNI dan rakyat sipil yang orang Papua, Indonesia bilang paras dan watak kita seperti binatang Monyet. Dan itu bukan baru, sudah dari dulu. Jadi kita adalah monyet, bangsa monyet. Maka hari ini juga, kita semua minta Indonesia lepaskan kita yang bangsa monyet ini. Karena monyet dengan manusia tidak bisa dan memang tidak pernah hidup bersama,” ucapnya.
Menurutnya, itu menunjukkan bahwa yang Indonesia cinta di tanah Papua adalah kekayaan sumber daya alam yang ada bukan manusianya.
Senada, kordinator umum aksi, Melpen Degei, mengatakan selama bersama Indonesia tidak akan pernah ada harapan hidup bagi orang Papua karena telah dianggap binatang yang siap dibunuh kapan dan dimana semau.
“Wahai semua orang Papua, itulah harga diri kita di mata militer Indonesia. Sangat dan betul-betul tidak ada. Merdeka, berdiri sendiri sebagai sebuah bangsa adalah solusi, itu, titik,” imbuhnya.
Bupati, pada kesempatannya menanggapi aspirasi, mengatakan aspirasi yang disampaikan akan diteruskan kepada Gubernur Papua.
“Gubernur Enembe perintahkan saya terima aspirasi kalian makanya saya berdiri disini sekarang. Maka untuk semua aspirasi yang kalian sampaikan tadi, akan saya teruskan ke Gubernur bersama anggota DPRD Paniai, karena DPRD sudah bentuk Pansus tuk kawal kasus ini. Jadi kalian tenang, tetap kami perjuangkan,” tuturnya.
Tokoh agama, adat, perempuan, pemuda, anak jalanan, masyarakat dan dari DPRD secara bergantian menyampaikan orasi politik.
Setelah itu, secara bersama mereka menandatangani petisi tuntutan. Hanya Bupati Paniai yang menolak meski telah didesak berulang kali.
Pewarta: Stevanus Yogi