Pentingnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua

0
2206

Oleh: Bernard Agapa)*

I. Latar Belakang

Tahun 1961 hingga 1963, Papua merupakan wilayah sengketa internasional antara Belanda dan Indonesia. Berbagai jalur diplomasi digunakan hingga Operasi Militer untuk menguasai Papua. Pemerintah Indoesia pernah menerapkan Hukum Perang (dektrit presiden) atas Papua oleh Presiden Soekarno di Alun-alun Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961, yang kemudian disertai dengan rangkaian Operasi Militer yang telah menewaskan ratusan ribu rakyat Papua.

1 Mei 1963 badan PBB untuk dekolonisasi Papua (UNTEA) menyerahkan Papua secara administratif ke pemerintah Indonesia untuk melaksanakan hak menentukan nasib sendiri. Pada akhirnya tahun 1969 hak menentukan nasib sendiri atas Papua dilakukan dengan cara Indonesia – dengan cara musyawarah yaitu Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dibawah pengawasan militer Indonesia yang dikomando Panglima Mandala.

Pepera di Papua dilaksanakan tidak sesuai dengan mekanisme internasional “One Man, One Vote” dan konvenan internasional hak sipil politik. Kecurangan yang terjadi dalam proses Pepera dilaporkan Dr. Fernando Ortiz Sanz, perwakilan PBB, yang berada di Papua untuk mengawasi pelaksanaan Pepera tahun 1969, dalam laporannya menyatakan penyesalannya karena pemerintah Indonesia tidak melaksanakan isi Perjanjian New York Pasal XXII (22) tentang hak-hak dan kebebasan orang-orang Papua[1].

ads

Sejak integrasi, ribuan rakyat Papua telah dibunuh dalam berbagai Operasi Militer Indonesia. Kekerasan terhadap rakyat Papua telah berlangsung sejak 1961 hingga 1998 pasca runtuhnya rezim Soeharto. Pengalaman traumatik atas rakyat Papua ini terus diabaikan oleh pemerintah Indonesia hingga terus menciptakan resistensi rakyat Papua yang merasa hak dan martabat tak dihargai.

Berdasarkan pada proses ini pentingnya rekonsiliasi itu ada dalam bentuk yang resmi, yaitu Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi (KKR).

KKR di Papua sebenarnya sudah pernah dicoba awal tahun 2000 di kalangan gereja-gereja Papua yang coba menangkap momen politis yang terbuka saat Soeharto turun tahta. Tetapi wacana tersebut tidak sempat berkembang karena komponen masyarakat lainnya sedang diserap perhatiannya dalam mengungkapkan segala kekecewaan, kemarahan, dendam, ketidakpuasan, kepada pemerintah, TNI, dan Polri. Yang secara politis akhirnya diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus pasal 46 yang memberikan peluang hukum kepada masyarakat Papua untuk mendirikan KKR.

Menurut saya, untuk merebut kesempatan politis itu tanpa pemahaman yang kuat mengenai inti KKR yang menjadi paham umum dalam komunitas internasional.

Pentingnya KKR bagi Papua untuk bentuk mengobati pengalaman traumatik rakyat Papua atas kekerasan militer yang telah berlangsung puluhan tahun. Selain itu juga untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi rakyat Papua.

II. Kerangka Dasar KKR 

Secara mendasar ada dua cara yang betul berbeda untuk menangani pengalaman masa lalu yang pahit: jalur pengadilan HAM dan jalur KKR. Pengadilan HAM bertujuan memeriksa fakta hukumnya, menuntut pertanggungjawaban seluruh sistem yang terlibat, kemudian menjatuhkan vonis kepada pihak yang bersalah. KKR bertujuan menggali fakta beserta konteks historis (akar masalah, konteks budaya, struktur politik) berdasarkan kesaksian korban untuk mencari kebenaran dan akhirnya pemulihan hubungan antara korban dengan pelaku. Karena itu, sejak awal seluruh unsur masyarakat Papua beserta Pemerintah, DPRD, TNI, dan Polri di Papua perlu menyadari perbedaan ini.

Dalam konteks kerangka penyelesaian berdasarkan pada berbagai produk hukum yang dibentuk berpijak dalam dua jalur, yakni pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi melalui pembentukan KKR dan penghukuman kepada pelaku melalui pengadilan HAM ad hoc.

i. Kedudukan Hukum 

Pada tahun 2001, melalui UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, negara juga berjanji kepada rakyat Papua akan mempertanggungjawabkan berbagai bentuk pelanggaran HAM melalui dua instrumen, yaitu Pengadilan HAM dan KKR. UU tersebut menyatakan KKR dilakukan untuk “melakukan klarifikasi sejarah dan merumuskan serta menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi” dalam rangka menjaga persatuan bangsa.

Pembentukan KKR di Papua juga sudah sesuai dengan UU No. 21 tahun 2001 tetang Otonomi Khusus Papua, UU No. 39 tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Pembentukan KKR di tingkat nasional mendapatkan basis legalnya dalam Ketetapan MPR No. V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan. Dalam Tap tersebut telah jelas dinyatakan bahwa pada masa lalu telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia yang perlu untuk diungkapkan demi menegakkan kebenaran, dan merekomendasikan untuk memutuskan untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra-yudisial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.

Pada tahun yang sama, negara membentuk UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengatur tentang pemeriksaan perkara-perkara pelanggaran HAM yang berat yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Terhadap kejahatan-kejahatan yang masuk kategori pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum tahun 2000, dilakukan melalui Pengadilan HAM ad hoc. UU juga menyebut bahwa pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi sebelum berlakunya UU ini, tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh KKR yang dibentuk melalui UU.

Baru pada tahun 2004, mandat untuk membentuk KKR semakin jelas, dengan terbentuknya UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. UU ini mengatur tentang pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM masa lalu, mekanisme penyelesaian di luar pengadilan dan rehabilitasi kepada korban. Namun pada tahun 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU KKR karena dianggap bertentangan dengan Konstitusi, Hukum HAM Internasional dan Hukum Humaniter Internasional, dan MK kemudian merekomendasikan untuk membentuk UU KKR baru sesuai dengan UUD 1945, hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia internasional. Hingga pada tahun 2015, RUU KRR yang dirancang pemerintah telah masuk prolegnas.

ii. Perangkat-Perangkat Komisi 

Dalam KKR biasanya terdapat sejumlah perangkat kerja yang disebut komisi dan sub-komisi. Komisi berisikan anggota komisi (komisioner) yang memegang tanggung jawab penuh terhadap kinerja komisi. Selain kekuatan hukum dan politis, mutu dan wibawa komisi ditentukan oleh kredibilitas anggota komisi. Karena itu, komisioner mau tidak harus diisi oleh orang yang bobot moralnya tidak dapat diragukan, dapat diterima oleh semua pihak (pelaku dan korban), berwawasan luas, dan tidak didasarkan prinsip representasi (wilayah, kelompok, kepentingan politis, agama, suku) karena komisioner harus dapat berdiri di atas semua kepentingan dan melindungi semua kepentingan. Sub-komisi adalah orang-orang dengan keahlian khusus yang bertugas membantu pekerjaan komisioner tetapi tidak memegang tanggung jawab komisi. Ahli hukum, forensik, bahasa, sejarah, medis, dan bidang lain yang dianggap relevan masuk sebagai tenaga ahli yang membantu tugas Sub-komisi. Biasanya ada tiga sub-komisi:

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

[1] penyelidikan pelanggaran berat HAM,

[2] kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi,

[3] amnesti.

III. Kenyataan di Papua

Saat berbicara mengenai KKR di Papua, bertitik tolak dari pegangan umum di atas yang de facto telah menjadi pengalaman banyak negara dan diteliti secara kritis oleh banyak ahli.

i. Menangani Masa Lalu

Dengan gampang setiap orang Papua menceritakan berbagai macam peristiwa tragis: “bapa dibunuh di kali, ibu dan adik perempuan diperkosa, kampung-kampung dibumihanguskan, hutan sagu dihabiskan dan diganti dengan rumah-rumah transmigrasi, perusahaan masuk tanpa bicara”, dan sebagainya.

Ingatan penderitaan (memoria passionis) itu begitu hidup dan diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga menjadi ingatan kolektif. Namun tidak semua ingatan tersebut didokumentasikan atau dicatat secara tertulis, sehingga dapat menjadi fakta-fakta yang kuat dan tahan uji di hadapan hukum.

Baru dalam tahun 1990-an sejumlah kasus penting didokumentasikan oleh kalangan Gereja-gereja di Papua dan LSM. Selain itu, selama puluhan tahun para korban atau saksi belum pernah mendapat kesempatan untuk menyatakan kepedihannya atau pengalamannya di hadapan siapapun juga. Sebagian kecil saksi atau saksi korban sekarang dapat memberikan kesaksian entah di tingkat lokal, nasional dan internasional (misalnya kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay), tetapi hal itu tidak terjadi dengan kasus operasi militer tahun 1977 di Wamena[2] atau Akimuga.

Saksi-saksi juga tidak terekam dalam peristiwa pengungsian besar 1984-1988 dari wilayah Muyu, pedalaman Merauke, ke negara PNG[3]. Dengan demikian, hingga kini data yang tersedia mengenai fakta dan konteks pelanggaran berat HAM amat terbatas, begitu juga saksi yang telah mendapat pendampingan, sehingga mampu mengungkapkan pengalaman hidupnya secara akurat, lengkap, dan jujur.

Secara ringkas terdapat tiga unsur faktual yang turut melatarbelakangi persoalan di Papua dewasa ini:

  1. Suatu kompleks pengalaman selama puluhan tahun terakhir ini yang lazimnya disebut “Memoria Passionis” yang kolektif, atau “ingatan penderitaan sebangsa”. Pengalaman-pengalaman penderitaan bersumber pada:
    1. pada kebijaksanaan pembangunan yang diterapkan Pemerintah Indonesia selama 38 tahun terakhir ini.
    2. terjadinya puluhan pelanggaran HAM di wilayah Papua selama Papua diintegrasikan kedalam Republik Indonesia.
    3. kehadiran serta tingkahlaku ABRI di wilayah ini yang lazimnya ditandai suatu sikap arogan dan main kuasa sewenang-wenang.
  2. Kejadian-kejadian selama sejarah bangsa Papua seperti:
    1. Program pemerdekaan yang diprakarsai oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 1 Desember 1961, dengan:
  • Mengangkat wakil-wakil masyarakat setempat menjadi 50% dari jumlah anggota Nieuw Guinea Raad (DPR),
  • Mengibarkan bendera Bintang Kejora berdampingan dengan bendera Belanda, dan
  • Mensosialisasikan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”.
    1. Penetapan “New York Agreement” (NYA) pada tahun 1962, yang dijadikan dasar peralihan Nederlands Nieuw Guinea dari kekuasaan pemerintah Belanda kepada kekuasaan pemerintah Indonesia. Kesepakatan dasar ini ditetapkan tanpa pengambilan bagian oleh bangsa Papua sendiri di dalam perundingan.
    2. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969, yang dilaksanakan secara tidak benar karena disertai intimidasi, paksaan, penganiayaan, dan dengan menafsirkan secara sepihak isi persyaratan pelaksanaan sebagaimana tertuang dalam NYA, hingga bercacat hukum.
  1. Protes masyarakat selama ini yang tidak pernah didengar atau ditanggapi dengan serius oleh pihak yang berkuasa, maka:
    1. Bangsa Papua tidak pernah merasa diri diakui martabat serta jati dirinya sebagai manusia sejati.
    2. Bangsa Papua tidak pernah merasa diri diakui dan dilindungi sebagai warga negara Indonesia sepenuhnya dengan segala hak serta kewajibannya sebagai warga negara, seperti digariskan dalam alinea ke-4 pembukaan konstitusi Republik Indonesia (UUD 1945).

Pengalaman di atas akhirnya betul menjadikan rakyat Papua merasa tidak berdaya karena terus-menerus diperlakukan bukan sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.

ii. Keterpecahan Masyarakat

Kenyataan lain yang dihadapi di Papua dewasa ini adalah keterpecahan antar berbagai pihak yang terus makin tajam. Sejumlah kotak yang makin tak dapat dipertemukan adalah Papua dengan non-Papua, pro-O dengan pro-M[4], Kristen dengan Islam. Masing-masing pihak cenderung menutup diri dalam tempurungnya dan enggan untuk membuka hati dan pikiran guna mengusahakan suasana baru secara bersama. Kenyataan sedemikian tidak membantu siapapun juga untuk mengadakan dialog apalagi sampai dengan tahap rekonsiliasi.

Semboyan “Papua sebagai zona damai” memang terus dipajang dan diomongkan, tetapi belum sampai pada tahap untuk mengisinya hingga menjadi pedoman kerja yang konkret dan operasional. Langkah dialog antar ghetto tersebut menjadi prasyarat mutlak adanya proses rekonsiliasi yang sejati.

IV. Kemauan Politis dan Perangkat Hukum  

Kemauan politis pemerintah dan perangkat hukum menjadi prasyarat lain bagi terciptanya rekonsiliasi yang tepat. Dalam UU No. 21 tahun 2001 tentang Otsus pasal 46, bahwa KKR “demi pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa” berarti KKR sudah dipasung demi kepentingan integrasi negara.

Hal yang sama terjadi jika KKR diarahkan kepada referendum. KKR tidak bisa diabdikan kepada kepentingan politis, tetapi kepada kebenaran dan kepentingan korban. Masyarakat perlu amat kritis dengan ketentuan hukum yang mau tak mau mencerminkan sejauh mana kemauan politis penyelenggara negara dalam KKR.

Dalam draft RUU KKR yang digagas pemerintah menjelaskan bahwa pembentukan KKR di Papua berdasarkan Keputusan Presiden setelah mendapatkan usul dari Gubernur, hal ini sesuai dengan UU Otsus sendiri.

V. Menggali Budaya ‘Pedamaian’ dalam Adat Suku-suku di Papua 

Dalam tradisi budaya suku-suku di Papua sebenarnya terdapat adat yang mengatur soal pendamaian antara pihak-pihak yang berselisih, bertikai, bahkan berperang. Di sejumlah wilayah (misalnya Paniai, Asmat, Balim, Beoga, Ilaga), adat tersebut masih dihidupi oleh suku-suku yang bersangkutan dalam menyelesaikan konflik internal mereka. Warisan adat tersebut dapat dipergunakan sebagai wahana simbolis dalam proses rekonsiliasi juga.

Dengan kemajemukan Papua dewasa ini, kekayaan adat suku-suku Papua tetap dapat dipergunakan sebagai simbol pendamaian, asalkan semua pihak dihantar ke dalam pemahaman yang sama.

VI. Mekanisme Akuntabilitas KKR 

Kehadiran gagasan komisi kebenaran dan rekonsiliasi merupakan salah satu mekanisme yang melengkapi proses akuntabilitas atas kejahatan pelanggaran ham berat. Merefleksikan pengalaman berbagai negara sebagaimana dituliskan oleh Priscillia Hayner, kehadiran komisi ini didasari oleh pentingnya melakukan catatan yang akurat atas pengalaman masa lalu (historical record of past abuses)[5].

Melalui pengungkapan praktek kekerasan dan pelanggaran ham berat di masa lalu ini, negara dapat belajar untuk menghindarkan terjadinya perulangan praktek pelanggaran HAM berat serupa di masa yang akan datang. Dalam konteks ini, fungsi terpenting adalah mendorong adanya pengakuan secara official atas rangkaian praktek pelanggaran ham berat yang terjadi di masa lalu. Pengakuan ini mengandung konsekuensi pada negara untuk secara publik mengakui kesalahannya atas praktek-praktek di masa lalu dan dengan demikian menjadi bagian dari pengetahuan publik secara nyata. Untuk pengakuan sangat penting dukungan publik baik nasional maupun lokal Papua sendiri.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

i. Nasional  

Dalam Draft RUU KKR Nasional yang digagas pemerintah dan sudah masuk prolegnas 2015 terlihat jelas bahwa pembentukan KKR di Papua atas Keputusan Presiden setelah mendapatkan usul dari Gubernur Papua. Dalam proses rekonsiliasi sangat penting dukungan dari semua pihak baik pemerintah, NGO, CSO, bahkan lembaga-lembaga negara.

  1. Komnas HAM 

Upaya untuk melakukan pengungkapan kembali kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, mendapatkan ruang setelah keluarnya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM[6]. UU ini memberikan mandat kepada Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap suatu peristiwa yang di dalamnya patut diduga telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia.

Berdasarkan mandat ini selanjutnya Komnas HAM membentuk sejumlah Komisi Penyelidik Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) untuk melakukan penyelidikan atas dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia pada beberapa peristiwa, baik yang aktual maupun yang terjadi di masa lalu.

Khusus untuk peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, sesuai ketentuan di dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hasil penyelidikan Komnas HAM selanjutnya dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilanjutkan dengan langkah penyidikan dan penuntutan.

elain itu, hasil penyelidikan juga wajib diserahkan ke DPR untuk dilakukan penelaahan, yang kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya rekomendasi DPR tentang langkah-langkah yang harus ditempuh pemerintah untuk menuntaskan kasus tersebut, khususnya perlu tidaknya pembentukan pengadilan ad hoc hak asasi manusia.

  1. Mabes TNI/Polri

Keterlibatan TNI/Polri dalam proses rekonsiliasi di Papua merupakan suatu kewajiban sebagai penyelenggara negara dan bentuk pemahaman bersama untuk menentukan langkah strategis keamanan nasional. Pada posisi untuk merubah cara pandang militer atas Papua secara keseluruhan, dimana pada praktek hari ini Papua dianggap sebagai daerah rawan, padahal Papua bukan zona perang, tetapi bagian dari integrat NKRI.

Dalam proses penyelidikan hingga penyelesian keterlibatan TNI/Polri merupakan hal yang sangat penting untuk keterbukaan infomasi dan juga sebagai keseimbangan sipil-militer untuk proses rekonsiliasi.

Dan beberapa hal yang penting diperhatikan dalam mekanisme akuntabilitas:

  1. TNI/Polri sebagai aktor pelanggar HAM tidak lagi pada posisi melindungi oknum anggota yang terindikasi keterlibatan kasus pelanggaran HAM.
  2. TNI/Polri harus terbuka dalam membuka informasi keterlibatan anggotanya dalam kasus masa lalu.
  3. TNI/Polri harus mempercayakan pada proses hukum sebagai amanat dari reformasi.

ii. Daerah 

  1. Komda HAM Papua 

Komda HAM Papua dalam kerjanya memperbantukan Komnas HAM, tetapi faktanya hingga hari ini tak satupun kasus pelanggaran HAM berat di Papua yang diselidiki. Sejauh ini, belum ada “taring” perwakilan Komnas HAM Papua. Penyebabnya antara lain:

  1. Keputusan strategis masih harus diambil oleh Komnas HAM pusat, sehingga kewenangan perwakilan ini sangat terbatas.
  2. Anggota perwakilan Komnas HAM Papua bekerja berdasarkan SK Komnas HAM pusat.
  3. Karena statusnya yang “dibawah” Komnas HAM pusat, maka pemerintah provinsi Papua tidak merasa berkewajiban untuk membiayai operasionalnya.
  4. Karena tidak ada kejelasan fungsi, peran dan kewenangannya, perwakilan Komnas HAM tidak memiliki orientasi yang jelas.

Harapan yang sebagian besar agar lembaga ini bisa memberikan solusi terhadap kasus-kasus HAM di Papua, ternyata tidak bisa terwujud.

Untuk mendukung proses rekonsiliasi, Komda HAM Papua perlu diperbaharui baik dalam manajemen hingga kewenangannya.

  1. Pemerintah provinsi Papua dan Papua Barat 

Untuk mewujudkan rekonsiliasi keterlibatan Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat merupakan “kunci” utama. Sebab sebagaimana tertera dalam UU No. 21 tahun 2001 dan Draf UU KKR bahwa pembentukan KKR Papua merupakan atas usulan Gubernur ke Presiden, yang akan ditindaklanjuti melalui Keputusan Presiden.

Sebagai bentuk mekanisme akuntabilitas pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat melalukan konsultasi publik kepada masyarakat di seluruh Papua. Dalam hal ini yang akan menjalankan adalah Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk mendengarkan pendapat dari seluruh elemen masyarakat di Papua dan kemudian kesimpulannya diakomodir oleh DPR-Papua dan DPR Papua Barat untuk direkomendasikan ke Gubernur dan diserahkan kepada Presiden. Kedua Gubernur di Papua juga harus segera mengeluarkan Peraturan Gubernur untuk mengkonsolidasikan masyarakat sebagai bentuk awal niat politik untuk “demi persatuan dan kesatuan” bangsa.

VII. Kajian KKR  

 1. Pemahaman Rekonsiliasi

Rekonsiliasi adalah konsep yang begitu padat. Arti “rekonsiliasi” tidak semurah dengan berjabat tangan atau memaafkan segala kesalahan setelah orang bertengkar atau berkelahi. Secara sederhana dapat digambarkan sebagai pencapaian kesepakatan antara pihak korban dan pihak pelaku untuk menyelesaikan konflik, untuk membuat damai, untuk memulihkan hubungan, untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, serentak memberikan ganti rugi atau pemulihan lainnya.

Gambaran itu sederhana saja, tetapi akan menjadi rumit saat diterjemahkan dalam mekanisme hukum dan ditempatkan dalam konteks politik Papua dewasa ini. Pemulihan itu menyangkut hubungan antar orang/pribadi, struktur sosial, dan struktur politik. Dapat diringkaskan dengan perkataan “forgive but don’t forget” (mengampuni namun jangan melupakan).

KKR dimaksudkan untuk memulihkan kembali suatu  suasana masyarakat dimana korban dan pelaku dapat berjumpa kembali dan menggariskan sejarah masa depan yang baru. Dengan demikian, inti KKR adalah untuk memperbaiki, membantu siapa saja dan pihak mana saja untuk mengolah dan menyembuhkan pengalaman yang pahit masa lampau, sehingga tidak menjadi suatu beban berat bagi masa depan.

2. Praktik-praktik KKR

Saat gagasan rekonsiliasi atau pendamaian itu dituangkan dalam mekanisme hukum, mau tidak mau paham tersebut berkaitan dengan konteks politik tertentu dan perlakuan politik tertentu pula. Wujud nyata dari kemauan politik suatu negara untuk menangani masa lampaunya yang pahit adalah pembentukan KKR. Di Papua hendak dibentuk KKR seperti telah digariskan dalam pasal 46 UU No. 21/2001 tentang Otsus. Kemauan politik tersebut akan sangat menentukan kinerja KKR karena langsung menentukan sendi dasar KKR.

Ambil saja contoh dari sejumlah pengalaman KKR di sejumlah negara[7]. Afrika Selatan misalnya, mampu menangani pengalaman masa lampaunya dan mencegah terjadinya tindak balas dendam massal kulit hitam terhadap kulit putih bukan karena adanya UU yang mengatur hal itu, tetapi karena pihak korban —yang dilambangkan dalam diri Nelson Mandela— mampu membuka jalan baru: pemulihan harkat kemanusiaan (konsep Afrika Selatan: ubuntu atau harkat kemanusiaan sejati)[8]. Sikap ini mampu menjadi kemauan politik yang mengalahkan segala nafsu balas dendam.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Di Uganda (1974) pemerintah membentuk KKR atas tekanan komunitas internasional dan kemudian menerbitkan laporan 1.000 halaman, tetapi tidak mampu mengumumkan kasus-kasus individual, sehingga gambaran masalah begitu umum, kabur dan diabaikan oleh pemerintah Idi Amin yang berkuasa.

Di Chile (1990-1991), kemauan politik untuk menangani masa lalu tidaklah sungguh besar, sehingga ketika laporan KKR (1.800 halaman) diumumkan oleh Presiden Aylwin dan pemerintah meminta maaf kepada keluarga korban, faksi militer mulai melakukan teror dan pembunuhan politik terhadap senator terkemuka dari partai oposisi. Akibatnya, seluruh proses rekonsiliasi terhenti dan junta militer kembali berkuasa. Kelemahan yang terjadi di Uganda terulang di Chad (1991-1992). KKR berhasil menerbitkan laporannya, tetapi oleh pemerintah laporan tersebut dijadikan sarana ampuh untuk cuci tangan[9] saja tanpa tindak lanjut yang memadai.

Berdasarkan penelitiannya, Priscilla B. Hayner akhirnya merumuskan bahwa KKR yang bermutu memiliki empat kriteria fundamental:

  1. memfokuskan diri pada masa lalu,
  2. tidak memfokuskan diri pada kejadian khusus, tetapi berusaha menggambarkan seluruh potret pelanggaran hak asasi manusia atau pelanggaran hukum humaniter internasional selama kurun waktu tertentu,
  3. bekerja dalam kurun waktu tertentu (bersifat sementara) dan selesai dengan terbitnya laporan fakta-fakta hasil temuan komisi,
  4. memiliki kekuasaan yang memadai, dukungan dana, akses kepada informasi, jaminan keamanan untuk menggali masalah-masalah yang peka, dan pengaruh yang luas saat menerbitkan laporan.

VIII. Kesimpulan  

Dari penjelasan diatas pentingnya KKR bagi Papua untuk bentuk mengobati pengalaman traumatik rakyat Papua atas kekerasan militer yang telah berlangsung puluhan tahun. Juga untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat Papua.

Dan ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai bentuk rekonsiliasi:

  1. Pembebasan Tahanan Politik  

Membebaskan Tahanan Politik Papua tanpa syarat sebagai bagian dari rekonsiliasi dan berikan beasiswa pendidikan buat anak-anak Tapol/Napol, sebagai upaya rekonsiliasi negara dan anak-anak yang menanggung akibat penahanan ataupun terbunuhnya orangtua mereka. Hentikan stigma bagi anak-anak Tapol/Napol. Keempat, hentikan stigma OPM kepada orang Papua yang kritis kepada kebijakan pemerintah dan perlakukan mereka layaknya orang Indonesia yang kritis kepada pemerintahnya.

Mengapa Tapol/Napol, anak-anak Tapol/Napol dan stigma menjadi penting? Karena Tapol/Napol dan anak-anak mereka adalah korban langsung dari konflik yang terjadi di Papua. Mereka yang minta merdeka, sehingga Otsus ini ada, sebab itu mereka harus merasakan manfaat langsung dari Otonomi Khusus agar tercipta rekonsiliasi.

Berikutnya adalah stigma. Stigma adalah label yang dengan mudah diberikan kepada siapa saja yang mengkritisi pemerintah. Bukan rahasia lagi, aksi-aksi protes masyarakat Papua terhadap eksploitasi SDA-nya seringkali berakhir bentrok dengan aparat yang menjadi antek-antek perusahaan (investor). Ketika terjadi bentrok, bukannya menyelesaikan akar bentrok, tetapi aparat keamanan dan pemerintah dengan mudahnya memberikan stigma separatis terhadap korban-korban kekerasan aparat.

2. Dialog Politik 

Menurut Bar-Tal (2000)[10] rekonsiliasi harus mensyaratkan adanya perubahan-perubahan psikologis yang mendasar yaitu proses transformasi beliefs dan sikap yang menyokong hubungan yang damai (peacefull relation) antara pihak-pihak yang bermusuhan. Yang dimaksud oleh Bar-Tal (2000), adalah harus terjadi perubahan etos dari etos berkonflik (conflictive ethos) menjadi etos damai (peace ethos). Perubahan etos ini hanya bisa terjadi jika adanya perubahan belief dalam masyarakat.

Kepercayaan orang Papua kepada pemerintah hingga saat ini sangat minim. Tak heran jika hampir semua kebijakan pembangunan di Papua ditanggapi dengan penolakan dan hal ini tentunya sangat menghambat usaha untuk membangun Papua, apalagi menyejahterakan rakyat Papua. Perubahan psikologi masyarakat sangat penting jika kita ingin membicarakan kesejahteran. Kesejahteraan bukanlah hal yang bersifat materiil saja, tetapi psikologis juga hal yang utama.

Usulan saya adalah langkah-langkah kecil yang dapat dilakukan Jakarta bagi orang Papua sebagai wujud niat baik dalam upaya rekonsiliasi, dengan meluruskan sejarah dan juga hal nyata dirasakan oleh orang Papua. Upaya ini hanya memerlukan niat baik, tetapi berdampak pada penyembuhan luka hati dan meningkatkan kepercayaan orang Papua.

Niat baik itu mungkin akan ditanggapi dengan kecurigaan dan belum tentu orang Papua mau menerimanya. Tetapi langkah aktif rekonsiliasi harus tetap diambil oleh Jakarta untuk menunjukkan sebuah niat baik pemerintah, sebab Papua sudah secara proaktif membicarakan rekonsiliasi lewat mekanisme dialog Jakarta – Papua.

)* Penulis adalah aktivis Papua

——————————–

Referensi

[1] John Saltford (2002) United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969: The Anatomy of Betrayal. Routledge.

[2] Dr. Benny Giay telah mencoba mendokumentasikan operasi militer terhadap suku Dani tahun 1977 dengan mewawancarai sejumlah saksi yang masih hidup. Usaha tersebut dicatat dalam sebuah catatan “Peristiwa Jayawijaya 1977”, Jayapura: Juli 2001.

[3] SKP Keuskupan Jayapura pernah diminta oleh UNHCR untuk mengadakan penelitian mengenai pengungsi Muyu yang telah kembali dari PNG ke kampung halamannya. Penelitian singkat itu dituangkan dalam laporan “Returnees from Papua New Guinea to Irian Jaya, a survey report”, Jayapura: SKP Keuskupan Jayapura, 1999.

[4] Uraian mengenai keterpecahan antara kelompok O dan M dapat dibaca dalam tulisan Theo van den Broek OFM, Mengatasi Keterpecahan yang Melumpuhkan, Jakarta: 2002.

[5] Unspeakable. Truths: Confronting. State Terror and Atroc-ity. By Priscilla B. Hayner. New York, London: Routledge, 2001.

[6] Pasal 89 ayat (3) huruf b UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyebutkan, “penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terhadap pelanggaran hak asasi manusia”. Kewenangan ini diperkuat oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang memberikan wewenang pada Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, seperti ditegaskan di dalam Pasal 18 ayat (1).

 [7] Daan Bronkhorst, Truth and Reconciliation: Obstacles and opportunities for Human Rights, Amsterdam: Amnesty International Dutch Section, 1995, hlm. 85-89. Penulis itu meneliti berbagai kinerja KKR yang telah dibentuk di lima benua sejak tahun 1971-1995. 

[8] Desmond Tutu, No Future without Forgiveness, London: Rider Book, 1999, hlm. 34-35.

[9] Ibid., hlm. 604.

[10] Bar-Tal, D. (2000). Shared beliefs in a society: Social psychological analysis. Thousand Oaks, CA: Sage.

Artikel sebelumnyaPacific Games 2023: Solomon Islands Mengajukan Proposal Dukungan ke China
Artikel berikutnyaBupati Yahukimo Tatap Muka Bersama Masyarakat Duram dan Hilipuk