Yakinlah, Papua Pasti akan Bebas

0
1572

Oleh: Oktovianus Pogau)*

Kita harus optimis dan yakin bahwa Papua pasti dan bisa merdeka. Jauhkan segala keraguan, singkirkan segala kebimbangan, dan buang jauh-jauh rasa takut, Karena Papua merdeka adalah sebuah solusi akhir untuk bangsa dan rakyat Papua. Sebuah dengungan semangat yang dipaparkan seorang sahabat dalam sebuah diskusi kecil dalam sebuah kamp di Numbay-Papua beberapa waktu lalu.

Saya sepakat dengan kobaran api semangat sahabat ini. Dimana memberikan keyakinan, yang sekaligus menanam benih cinta tanah air Papua untuk tetap menjadikan perjuangan bangsa Papua sebagai agenda yang mulus dan murni, tanpa digandeng dengan berbagai kepetingan semata.

Apa yang dipaparkan sahabat ini, sudah tentu memberikan pemahaman pada kita, bahwa kita harus menyingkirkan sikap pesimis yang selalu menghantui pola pikir kita, generasi penerus bangsa Papua. Generasi yang nantinya akan berjuang dan menikmati sebuah kebebasan.

Idealisme Papua bebas yang selalu dinyanyikan oleh semesta rakyat Papua yang betul-betul membutuhkan sebuah perubahan adalah sebuah idealisme yang datangnya dari hati nurani. Muncul dari hati karena hati memang tidak bisa dibohongi.

ads

Idealisme Papua bebas muncul karena tangisan hati dan jeritan hati. Selalu orang Papua menjerit, menangis karena harapan dan angin segar untuk bebas kadang kala sukar di temukan titiknya. Orang asli Papua dan orang luar Papua adalah dua ras yang sangat berbeda. Dan sudah tidak mungkin disatukan lagi. Tangisan ini, sudah tentu harus menjawab itu sebenarnya.

Idealisme yang muncul karena hati telah disakiti. Gambaran pelanggaran HAM yang dilakukan tidak mungkin bias digambarkan oleh kata, pikiran dan tulisan, karena sangat biadab perlakuannya. Melihat berhamburan darah manusia setiap saat di tanah Papua yang, tanah yang telah diberkati Tuhan, telah turut memberikan pertanyaa pada orang asli Papua, kapan hati ini tidak disakti lagi?

Idealisme yang muncul karena jelas-jelas orang Papua diposisikan pada posisi yang sangat tidak manusiawi. PEPERA 69 dan masih banyak peraturan gombal yang diyakini sebagai keputusan penyatuan resmi dengan RI adalah beberapa bobot peraturan yang tidak ada nilainya, karena sudah sangat jelas banyak yang dilacuri. Uraian yang dipaparkan J.P Drogloover sejarahwan belanda dalam bukunya sudah tentu bisa bisa memberikan jawab pasti.

Baca Juga: Petinggi Negara Indonesia  Meriahkan HUT Manifesto Papua Barat ke-58

Papua pasti bisa merdeka, Papua pasti bebas dan Papua pasti terlepas. Ini mungkin sebuah tulisan penyadaran untuk mewujudkan semua itu. Dalam mengisi dan dalam perjalanan mencapai itu, ada beberapa kelompok di Papua, dan sama-sama akan memberikan pengaruh yang sangat besar, kalau saja bersatu padu dengan tidak memandang rendah siapapun waktu Papua bebas tidak akan lama

Ada beberapa kelompok di Papua yang masih sangat susah untuk disatukan persepsinya. Dan mereka juga sebenarnya sangat berpengaruh kepada sebuah pencapaian sebuah kebebasan, namun mereka sering kali menutup diri dengan berbagai alasan yang kadang masuk di akal juga.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Dalam menempuh sebuah kebebasan itu, kelompok ini sering kali hidup ditiup angin. Kemana arah angin, mereka akan mengikutinya. Bagi mereka, yang penting hidup adalah pribadi. Tangisan orang lain bukan tangisan mereka, jeritan orang lain adalah bukanlah jeritan mereka.

Pesimis Kalau Papua akan Merdeka

Kelompok yang pertama, adalah mereka yang pesimis kalau Papua akan merdeka. Kelompok ini tidak yakin bahwa suatu saat nanti, entah cepat atau lambat Papua bisa bebas dan berdiri sendiri sebagai sebuah Negara. Pada umumnya sikap pesimis diantara mereka muncul karena kekecewaan yang berlarut-larut serta dengan kepentingan perut yang semakin menuntut.

Contohnya bisa kita lihat saat-saat ini, pada generasi tua. Sebut saja tindakan paitua Nikolas Jouwe Cs. yang mungkin bertindak diluar alam kesadaran manusia. Dengan memenuhi undangan resmi dari Pemerintah Indonesia untuk membicarakan masalah Papua dalam bingkai Otsus. Padahal orang asli Papua tidak pernah berharap lebih dengan kehadiran Otsus. Bahkan orang Papua juga tidak pernah beranggapan paitua Nikolas Jouwe Cs sebagai pemimpin bangsa Papua.

Sudah tentu bisa dibenarkan, bahwa klaim sikap pesimis muncul karena kepentingan perut semata yang sifatnya semu. Dan mungkin juga, tetapi bisa dibenarkan bahwa beliau-beliau sedikit kecewa dengan tujuan mulia, yakni melihat Papua merdeka yang jauh dari kenyataan. Karena usia beliau-beliau saat ini juga sudah lebih dari kepala lima semua.

Contoh pada generasi muda. Sebut saja tindakan Benny Dimara Cs, yang beberapa waktu lalu mendatangi kantor KPUD Jogjakarta dengan tuntutan meminta ikut memilih. Dalam tuntutan mereka, sangat kental sedang ditunggangi oleh kepentingan dari beberapa pihak. Mungkin mata hati mereka tertutup dengan agenda penting yang mahasiswa Eksodus Se-Jawa Bali serukan.

Dengan sikap dan aksi mereka, sudah memberikan angina segar kepada pemerintah Indonesia bahwa harapan untuk Papua bebas adalah sebuah harapan yang konyol. Memang demikian, ikut memilih berarti masih puas dengan segala perlakuan yang pemerintah Indonesia lakukan.

Yah, inilah disebut dengan bagian yang menjilat darah orang asli Papua yang terbunuh karena ulah militer Indonesia. Ini yang disebut dengan kelompok yang tertawa ria ketika ratusan ribu nyawa orang Papua hilang tiap tahunnya dan ini kelompok yang disebut menjual orang asli Papua dalam rana demokrasi untuk menuntut pembebasan bangsa Papua.

Pesimis Dengan Kesiapan SDM dan Mental

Banyak orang Papua masih tidak siap menyambut kemerdekaan Papua yang sudah di depan mata. Banyak alasan dan bual yang mereka selalu lontarkan, diantaranya mungkin karena Sumber Daya Manusia yang mereka klaim belum mampu, mental dan moral anak-anak Papua sendiri yang masih bobrok.

Contoh ini bisa terlihat pada generasi muda Papua, kaum yang dianggap sebagai kelompok intelektual yang menutup diri terhadap segala tangisan orang Papua. Kaum intelektual yang mengorbankan segalanya untuk sebatas pengetahuan mereka. Kelompok ini akan menikmati keasrian lingkungan tanpa ikut merasakan jeritan dan tangisan saudara-saudara se-rasnya yang sedang menangis di tanah Papua.

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Septinus George Saa, putra asal Papua yang saat ini sedang menempuh pendidikan di Florida, Amerika Serikat pernah mengukapkan dalam sebuah majalah rohani terbitan Indonesia, bahwa dirinya tidak punya mimpi bahkan harapan lagi untuk balik ke Papua.

“Saya akan memediasi orang-orang Indonesia yang ingin datang belajar di Amerika. Jadi kemungkinan saya akan jadi ilmuwan dan menetap tinggal di amerika” secuil kalimat yang pernah dikeluarkan olehnya.

Kelompok ini sangat benci bahkan anti dengan tindakan yang anarkis. Bagi mereka, mewujudkan Papua merdeka bisa ditempuh dengan kecerdasan, kepandaian, bahkan kepintaran mereka. Bagi kelompok ini, pendidikan dan ilmu pengetahuan lebih penting dari segalanya, termasuk nyawa sekalipun. Bahkan kelompok ini selalu mengklaim teman-teman seperjuangan yang berjuang dengan tindakan yang sedikit anarkis dengan lebel “kaum kanibal”.

Padahal sampai ayam tumbuh gigi sekalipun, pemerintah Indonesia tidak akan pernah membuka ruang dialog yang transparan antara Jakarta dan Papua. Memang kalau di cermati, solusi akhir penyelesaian masalah Papua adalah dialog, namun bagaimana mau di andalkan metode itu, kalau pihak yang di harapkan selalu menutup mata dengan tindakan ini.

Memalukan, mungkin kata yang pantas buat kelompok ini, kelompok yang selalu berkotek dengan kapasitas ilmu pengetahuannya. Padahal kapasitas ilmu pengetahuan itu yang digunakan pemerintah Indonesia untuk menghancurkan generasi muda Papua yang ada.

Pesimis Papua Akan Menjadi Negara Damai

Bahkan yang lebih tragis, masih banyak orang Papua yang tidak memimpikan Papua menjadi sebuah Negara yang penuh dengan kedamaian. Mungkin karena sebuah harapan kedamaian yang sifatnya semua dan pribadi telah mereka rasakan. Bagi mereka, beberapa satpam dan anjing-anjing helder yang menghiasi halaman rumah mereka sudah menjadi ukuran mencapai sebuah kedamaian.

Kelompok ini juga sangat banyak di Papua. Pada umumnya orang-orang tua yang dulunya sebelum Otsus dan banyak uang berkotek macam ayam yang kehilangan induk untuk meminta merdeka. Tetapi setelah ada Otsus dengan ekornya yang berbunyi triliunan, mereka lupakan semua kotekan yang pernah mereka dengung-dengungkan.

Kelompok ini mungkin kelompok yang hidup dan paling suka berbual. Di lapangan saat mahasiswa sedang melakukan sebuah demonstrasi, kelompok ini dengan terang-terangan menyatakan dukungannya, namun di belakang berlainan tindakan, kadang kala mereka yang memerintahkan aparat keamanan untuk melakukan tindakan penembakan, bahkan sampai pada pembunuhan.

Bagi kelompok ini, melakukan berbagai hal biadab untuk mewujudkan hidup damai untuk pribadi dan keluarga mereka adalah sangat penting. Kelompok ini kalau berjalan, tidak pernah melihat kebawah, selalu melihat keatas. Egoisme sangat tinggi. Bahkan yang lebih aneh lagi, kelompok ini tidak senang melihat orang lain bahagia.

Mungkin masih ingat kinerja Agus Alua Alue, ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) saat ini. Tidak ada yang menggembirakan dari keputusannya bahkan kebijakannya. Mungkin sebagian besar orang asli Papua sedikit bernafas lega ketika beliau terpilih jadi ketua MRP, karena sebelumnya dirinya pernah di Presedium Dewan Papua (PDP). Namun apa boleh kata, seperti si cebol mengharapkan jatuhnya bulan itu harapan rakyat Papua terhadapnya.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Kelompok ini adalah kelompok yang telah menikmati segala kemewahan dan fasilitas yang dimiliki Negara Indonesia. Kelompok ini tentu berpikir hutang budi pada Negara yang telah menjamin segala kehidupannya. Dan kelompok ini adalah kelompok yang telah di “nina bobokan” oleh sistem Negara. Antara sistem dan idealisme dari sanubari hati, seringkali diputarbalikan. Pilihan sering kali jatuh pada sistem Negara yang melindungi mereka dari segala gigitan, termasuk gigitan nyamuk sekalipun.

Penutup

Dalam langkah-langkah mewujudkan sebuah kebebasan itu, nampaknya masih banyak kejahatan yang mengarah kepada Genocida (pemusnahan etnis orang asli Papua). Dan bukan rahasia umum lagi, kalau orang Papua sengaja dihabisi dengan maksud menggagalkan sebuah kebebasan yang sedang diimipikan itu yang sekaligus menurunkan tingkat kepercayaan generasi muda Papua terkait isu merdeka.

Beragam cara yang dilakukan untuk memusnahkan etnis Melanesia di Papua. Cara biadab sekalipun akan ditempuh, apabila melihat peluang dan tujuan mulia ini akan tercapai dengan mulus. Tuhan-pun akan disetankan, dan setan-pun akan di Tuhan-kan ini moto yang selalu digandeng BIN dalam operasi khusus di bumi Papua, operasi untuk menghabiskan orang asli Papua.

Orang Papua masih dianggap sebagai hama yang mengganggu kedaulatan NKRI. Orang Papua lagi-lagi dianggap sebagai akar persoalan konflik vertikal. Bahkan orang asli Papua dianggap sebagai sebuah “kutukan” yang mengganggu perkembangan Negara Indonesia.

Data kongkrit yang berhasil dihimpun Sekertaris Perdamaian dan Keadilan (SKP) Kordinator Nabire, Pania dan Puncak Jaya, bahwa dalam Tiap bulannya kurang lebih 300 orang asli Papua meninggal dunia. Data ini-pun hanya jumlah di sebuah distrik saja.

Hal ini terungkap dalam sebuah diskusi bersama beberapa saat lalu. Bisa dibayangkan, berapa jumlah korban nyawa tiap bulannya pada satu Kabupaten saja. Apalagi digabungkan seluruh Kabupaten di Papua. Hal ini kalau dibiarkan sampai puluhan tahun mendatang, bukankah orang asli Papua akan habis dalam tempo yang tidak terlalu lama.

Tidak salah yakin kalau Papua akan merdeka. Tapi salah juga, kalau tidak berpikir bagaimana cara supaya orang Papua bisa sampai di ambang kebebasan dengan sebuah taktik mulia. Harus dipikirkan, tindakan apa yang harus dilakukan, membendung arus BIN yang sedetik saja bagi mereka sangat berarti.

Sekarang saatnya kita bersatu padu. Buang semua keraguan dan kebimbangan. Hidup harus untuk orang lain, hidup harus memikirkan tangisan orang lain, hidup harus melihat penderitaan orang lain. Ini sebuah kesatuan yang akan membuahkan hasil yang sungguh mulia. Papua Merdeka, itu sudah harga mati. Salam.

Sebuah Refleksi Untuk Mempersatukan Barisan dan Tekat

)* Penulis adalah pendiri Suara Papua, aktivis dan jurnalis Papua

SUMBERpogauokto.blogspot.com
Artikel sebelumnyaPetinggi Negara Indonesia  Meriahkan HUT Manifesto Papua Barat ke-58
Artikel berikutnyaPolisi Periksa Direktur Eksekutif ULMWP di Polresta Jayapura