Sangkar Itu Bernama Indonesia

0
1324
adv
loading...

“Kasihan sekali burung itu, biarkan dia mencari makan di alam bebas. Kamu belum pernah mengalami bagaimana susahnya orang ditahan, tanpa ada kesalahan. Maka jangan ada pengawal saya memenjarakan burung dalam sangkar, sekalipun sangkarnya dari emas”.

~ Soekarno

Tindakan rasial yang dilakukan oknum Organisasi Masyarakat (Ormas) reaksioner dan aparat keamanan dengan mengatasnamakan nasinonalisme di Surabaya. Hal tersebut Berimbas hingga Semarang dan Malang. Hal tersebut bermuara pada isu perusakan tiang dan bendera di depan Asrama Mahasiswa Papua Surabaya, pada 17 Agustus 2019.

Massa yang mengepung Asrama meneriaki mahasiswa papua serta memaksa masuk ke dalam. Tidak diizinkan memasuki area asrama, pagar asrama dirusak oleh Satpol PP dan TNI sembari mereka melempari mahasiswa dengan batu. Seperti video yang beredar di media sosial, Ormas reaksioner tersebut mengancam dan melontarkan kalimat yang tidak senonoh, “Monyet, babi, binatang, anjing, sa tunggu kamu sampai jam 12, kamu jangan keluar,” teriakan massa kepada mahasiswa Papua.

Seperti dikutip dari Instagram Pembebasan Jakarta, perusakan dan penyerangan itu berlangsung hingga malam hari, aparat kepolisian bersenjata lengkap menembakkan gas air mata ke dalam asrama. Empat orang mahasiswa luka karena dipukuli, hingga terkena tembakan gas air mata. 40 orang mahasiswa diangkut ke Polrestabes Surabaya dengan tuduhan perusakan bendera.

ads
Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Penjarahan dan Kekerasan Seksual dalam Operasi Militer Di Papua

Bibit fasisme berakar dari sebuah paksaan terhadap rakyat papua yang dilakukan oleh Indonesia untuk tetap berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), semenjak penentuan Pendapat Rakyat Act of Free Choice pada 1969, tentu hal tersebut sangat bertentangan dengan New York Agreement Rasialisme negara-negara barat dan Indonesia dimulai, dimana dalam pengambilan pendapat, masyarakat papua hanya dilibatkan sebesar 1025 orang dari sekitar 800 ribu rakyat Papua, hal tersebut tentunya sangat menguntungkan Indonesia.

Usai Perpera digelar masyarakat makin mengalami tindakan rasial serta berbagai tindakan kekerasan, penjarahan, serta pemerkosaan dilakukan Militer Indonesia. Salah satu pemerkosaan yang dilakukan Indonesia di Kota Biak pada operasi besar-besaran yang dilakukan pemerintahan Orde Baru (Orba) 6 Juli 1998, Tineke Rumakabu mengungkapkan kejadian yang menimpanya bersama dua belas perempuan dan anak gadis ditelanjangi, dipukul dan diperkosa oleh tentara.

Dikutip dalam buku Seakan Kitorang Setengah Binatang, Tineke mengatakan “Saya melihat seorang pria memperlihatkan kami pisau kecil, pisau yang biasa kau pakai bercukur, lantas ia bilang, ‘Kita pakai ini untuk memotong vagina kalian, dari atas ke bawah, dari kiri ke kanan.’ Saya menyaksikan seorang anak perempuan, mereka memperkosanya lantas ia tewas. Darah berceceran dimana-mana karena vagina perempuan dan klitorisnya dipotong serta diperkosa berulang kali. Mereka juga memukuli perempuan lainnya dengan bayonet, dan lantas memotong leher juga payudara perempuan tersebut,” ungkapan perempuan yang lolos dari pemerkosaan.

Penjarahan juga dilakukan Militer dalam setiap operasinya. Sebelum Mei 1963 Ali Moertopo meminta izin kepada Soeharto agar menggunakan dana taktis operasi milik Kostrad, sebesar 17US$ juta dari bank-bank Singapura dan Malaysia dikirim ke Papua untuk mengganti kerugian dari barang yang dijarah Tentara semasa operasi.

Baca Juga:  Pemkab Yahukimo dan PGGJ Diminta Perhatikan Keamanan Warga Sipil

Cenderawasih Dalam Sangkar Indonesia

58 tahun Rakyat Papua masih berada dalam belenggu Militer Indonesia. Papua masih berada dalam sangkar, belum bisa terbang layaknya burung Cenderawasih.

Dikutip dari Historia.id pada Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 11 Juni 1945 Bung Hatta menyadari bahwa Papua tidaklah masuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka,” kata Bung Hatta tercatat dalam risalah Sidang BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei hingga 19 Agustus 1945.

Berada dalam sangkar Indonesia selama 58 tahun tentunya sangat merugikan bangsa Papua itu sendiri, sebab Sumber Daya Alam (SDA) telah habis dikeruk untuk kepentingan daerah-daerah di Indonesia, tetapi tidak dinikmati bangsa Papua. Salah satu perusahaan terbesar di Papua Freeport berada di tangan Amerika dan Indonesia. sebagai negara yang masih mau memanfaatkan kekayaan alam Papua. Dikutip dari Detik.com sebesar 1,7 miliar ton emas dan tembaga telah habis dikeruk, kini tersisa 2,1 Milyar ton.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

“Sampai saat ini, Freeport sudah menambang 1,7 ton. Yang tersisa sampai 2041 adalah 2,1 miliar ton,” kata SVP Geo Engineering PT Freeport Indonesia dalam diskusi Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (20/3/2017).

Penghisapan Bumi Cenderawasih masih berlangsung sampai detik ini, serta kekerasan terhadap rakyat Papua dan pelanggaran HAM masih dilakukan Militer Indonesia demi mempertahankan modal, sesama Imperalis Amerika Serikat dan Indonesia berkolaborasi dalam mempertahankan wilayah jajahannya.

Papua berhak merdeka seperti yang termaktub dalam isi Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan,” Papua Terbang bebaslah layaknya Burung Cenderawasih, lupakan merah putih capailah Bintang Kejora.

Tulisan ini disadur dan diterbitkan ulang dari situs Cakrawala Ide, sebuah situs milik Pers Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia Makassar (UMI)

SUMBERCakrawala Ide
Artikel sebelumnya61 New Political Prisoners on 1st December West Papuan National Day Commemoration Crackdown
Artikel berikutnyaSoal Hari HAM, KNPB: Kami Lahir, Hidup dan Mati dalam Suasana Pelanggaran HAM