Diskriminasi Rasial Terhadap Orang Papua Tidak akan Pernah Berhenti

0
6264

Oleh: Paskalis Kossay)*

Rasisme merupakan perlakuan diskrikinasi menganggap ras yang lain lebih rendah dari ras tertentu. Di Indonesia, ras melayu merasa lebih tinggi dari ras Melanesia. Dari perbandingan jumlah penduduk Indonesia, jumlah ras melayu lebih dominan dari ras Melanesia. Demikian pula dari jumlah pemeluk agama, pemeluk agama Islam lebih mayoritas dari pada pemeluk agama lain seperti Kristen dan Konghucu.

Ras melayu mayoritas atau lebih dominan di Indonesia, seluruh aspek kehidupan berbangsa bernegara dikuasai ras melayu. Dikelompokan menurut suku, suka Jawa lebih dominan menguasai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk penguasaan wilayah melalui program transmigrasi berencana maupun transmigrasi spontan.

Dominasi ras melayu di Indonesia inilah menyebabkan orang ras melayu yang berkulit warna terang sawo matang melihat orang ras Melanesia yang berkulit gelap rambut keriting sebagai manusia paling rendah, paling bodoh dan paling tertinggal dari aspek kemajuan moderenisasi.

Karena merasa lebih dominan dan lebih pintar, lalu orang – orang ras melayu terus membangun tekanan secara politik, ekonomi, hukum maupun pemerintahan terhadap orang – orang ras Melanesia. Secara kesukuan yang paling banyak menjadi sasaran rasisme di Indonesia adalah suku bangsa Papua .

ads
Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Di Indonesia , suku bangsa Papua adalah ras Melanesia yang jumlah hanya 0,1 prosen dari 250 juta penduduk Indonesia. Lebih minoritas dari jumlah penduduk, tetapi juga lebih tertinggal dari kemajuan moderenisasi perubahan peradaban baru. Karena itu paling sering mendapat diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik, hukum dan HAM.

Diskriminasi rasial terhadap suku bangsa Papua ini terus berlangsung sepanjang tahun. Sejak perebutan wilayah Papua masuk ke Indonesia sampai sekarang , pandangan diskriminasi rasial tersebut masih terbudaya bagi suku bangsa melayu terhadap orang Papua suku bangsa Melanesia.

Dalam pandangan orang melayu , orang Papua sering disamakan seperti sejenis monyet, tikus hutan, babi dan lain sejenis binatang hutan. Merendahkan martabat kemanusiaan sejajar dengan martabat sejenis binatang.

Pandangan rasial ini terus tumhuh dan berkembang secara terstruktur dalam keluarga suku bangsa melayu, sehingga perlakuan diskriminasi dalam pergaulan keseharian antara ras melayu dengan Papua yang ras Melanesia sangat terlihat jelas. Pergaulan sosial dalam lingkungan RT/RW, lingkungan agama, lingkungan kerja, serta lingkungan kampus atau pendidikan pun masih terasa adanya gab diskriminasi.

Manusia melayu merasa lebih hebat, lebih pintar, bahkan lebih tinggi martabatnya, lalu dengan terang – terangan membully, mencaci maki martabat kemanusiaan orang Papua di depan umum, entah di dalam rapat unum, di dalam gereja atau di dalam bangku pendidikan.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Perlakuan rasialis inilah salah satu faktor yang mendorong timbulnya pemberontakan jiwa orang Papua ingin segera lepas dari Indonesia membentuk negara sendiri. Walaupun demikian orang melayu yang berpandangan rasialis tetap meremehkan upaya pemberontakan politik orang Papua adalah sia-sia. Mereka masih menganggap orang Papua belum mampu merdeka sendiri , karena masih bodoh.

Pandangan ini akhirnya berbuah perlawanan keras dari orang Papua, dimana perjuangan Papua merdeka dari waktu ke waktu terus berkembang luas. Perjuangan melalui jalur diplomasi maupun jalur militer dengan kekerasan bersenjata semakin hari makin sulit teratasi oleh pemerintah Indonesia.

Belakangan ini terlihat jelas upaya politik Papua merdeka sudah melampaui logika rasisme orang melayu. Karena itu Indonesia mulai meningkatkan upaya diplomasi politiknya untuk menghadang perkembangan diplomasi Papua merdeka didalam dan diluar negeri, termasuk pengerahan kekuatan militer untuk menumpas keberadaan TPNPB OPM di Nduga, Intan Jaya serta daerah konflik lain.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Indonesia sebagai negara pluralis yang terdiri dari beragam suku bangsa, ras dan agama, tetapi Indonesia tidak mampu menjaga serta memelihara bentuk pluralusme tersebut sebagai modal dasar keutuhan bangsa. Indonesia hanya mampu beretorika di depan publik bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila yang menghargai pluralisme, tetapi dalam tataran prateknya tetap terpelihara pandangan rasialisme dari warga negaranya yang merasa golongan mayoritas. Pemetintah sendiri seolah tidak mampu mengeliminir pandangan rasial ini.

Padahal undang – undang nomor 39 tahun 1999 tentang larangan perlakuan diskriminasi terhadap warga negara sudah dijamin untuk pemerintah menegakan hukum bagi setiap orang yang berperilaku rasis atau diskriminasi terhadap sesama warga negara.

Amanat undang-undang nomor 39/1999 tersebut hampir tidak pernah diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Padahal perlakuan diskriminasi ini salah satu faktor potensial yang merusak semangat kesatuan dan persatuan bangsa. Oleh karena lalai menegakan perintah undang-undang nomor 39/1999 maka pandangan diskriminatif dan rasialis bebas tumbuh dan berkembang subur di Indonesia dan pada akhirnya dapat mengancam keretakan sosial dalam masyarakat serta dapat mengancam keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia.

)* Penulis adalah politisi Papua

Artikel sebelumnyaPerlawanan Damai di Hari Natal 2019
Artikel berikutnyaVIDEO: Rongga Antara Realitas Papua dan Pesan Natal Dalam Khotbah Seorang Imam Jesuit