Oleh: Natan Tebai)*
Dinamika Sosial Dari Gerakan Eksodus Mahasiswa
Potret rasisme di Tanah Papua diidentikan dengan adanya gerakan eksodus mahasiswa Papua di nunsantara indonesia kembali ke tanah air [Papua]. Rasisme dengan eksodus mahasiswa sebagai simbol gerakan integrasi sosial orang Papua di era otonomi khusus. Bicara rasisme sebagai titik balik, kebangkitan gerakan kesadaran untuk mengkonsolidasi kekuatan.
Bagian pertama dari seri artikel ini dapat anda baca di sini: Eksodus Mahasiswa Papua: Spirit Baru Orang Papua (Bagian I)
Pihak lain memanfaat kasus rasisme dan eksodus mahasiswa gerakan kontra integrasi oleh lembaga milik pemerintah dan orang Papua dengan adaanya wacana-wacana umum dari para elite di dalam kanca sosial-budaya, politik, ekonomi, dan budaya birokrasi. Gerakan kontradisksi integrasi sosial terjadi dengan adanya gerakan penangkapan aktivis dan gerakan ada proses pemindahan tahanan aksi rasisme dari lembaga pemasyarakatan, seperti Buktar Cs dari Rutan Polda Papua dipindah ke rutan KALTIM. Gerakan dukungan, aksi lepas baju sejumlah DPRD Kab.Deiyai dalam sidang pengadilan Kab.Nabire.
Paling miris lagi, penangkapan pucuk pimpinan-pimpinan mahasiswa, Presiden mahasiswa (PRESMA) USTJ, ALexander Gobay dan Ferry Kombo, Ketua BEM UNCEN. Polisi di semua daerah Papua melarang mahasiswa eksodus membangun pos-pos mereka di sejumlah tempat umum yang dapat diakses oleh siapap saja. Polisi menetapkan beberapa mahasiswa menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO). Ada penangkapan sewenang-wenang dilakukan di bandara udara maupun pelabuhan laut.
Dari potret pro dan kontra integrasi sosial yang terjadi, ternyata melahirkan cara pandang baru di publik nusantara ini. Bahwa ada gerakan protes diskriminasi dan rasisme berujung pada gerakan anarkisme dan kriminalisasi. Gerakan kesetaraan nilai-nilai kemanusiaan yang diharapkan orang Papua sendiri dalam negara RI dengan sendirinya tenggelam.
Wacana kriminalisasi dan anarkisme mampu tenggelamkan nilai kemanusia, nilai kesetaraan orang Papua ditambahkan dengan pengalihan wacana diskriminasi-rasime ke ranah politik disintegrasi bangsa. Pernyataan Menpolhukam, Mahmud M.D menyebutkan ada intervensi Beny Wenda di luar negri, Polda Papua menangkapan Buktar Tabuni, stef itlay cs, ada menahanan pentolan distruktur elite KNPB.
Awal terjadinya kasus rasis dan adanya Kasus eksodus mahasiswa telah menjadi isu nasional. Semua media nasiona (cetak dan online) mengupdatel berita tiap saat, bersamaan dengan itu di negara indonesia menjelang penetapan kabinet Jokowi jilid II, hampir semua kementerian terkait bicara. Isu Papua menjadi wacana yang para elite nasional, isu ini menjadi jembatan bagaimana sejumlah menteri tampil bicara menuangkan gagasaan dan hadir di media-media publik. Seolah menjadi pahlawan, terkesan menjadi orang yang paham tentang gerakan ini.
Menjelang penetapan kabinet banyak telah dilakukan seperti kepala Bin mengkoordinir 61 orang Papua ke istana bertemu Presiden Jokowi meminta pemekaraan beberapa provinsi, beberapa kabupaten, beberapa posisi kementerian, beberapa posisi di BUMN, isu revisi otsus, Pembangunan istana presiden sampai dengan isu PON XX.
Kasus rasisme mulai padam di tingkat nasiona ketika ada penetapan nama-nama menteri final. Adanya nama orang Papua disebut seperti Jhon Wempi Wetipo (JWW) menjadi wakil mentri (WAMEN) PUPR. Dan Bahlil Dahlan mewakili orang Papua menduduki kepala badan investasi dan permodalan setingkat menteri. Kebijakan negara atas kedua orang dianggap sebagai gerakan pemadam kasus rasisme tadi.
Ada juga kelompok yang menuai kekecewaan seperti kelompok 61 orang Papua sodorkan nama-nama calon mentri tidak diakomodir, pememekran dikabulkan. Orang Papua kalangan orangtua (elite) melahirkan produk pemahaman berintegrasi dengan gerakan pembangunan dan gerakan mahasiswa ikut menolak semua kebijakan negara di Tanah Papua. Sampai sekarang kita lihat bahwa ada segmen yang menarik. Tim 61 cs dan gerakan meminta jabatan kelompok lain redam, gerakan inipun muncul melihat momentum nasional dikaitkan denang eksistensi OAP dalam negara.
Lain halnya dengan eksistensi mahasiswaa eksodus gerakan mereka melawan ketidakadilan negara (diskrimnasi) terhadap kesetaraan nilai. Gerakan ini justru makin kuat dan membasis di sejumlah orang Papua masih berlanjut sebgai wacana sosial.
Selain itu, ada gerakan baru seperti pemerintah daerah melalui Gubernur Provinsi Papua menganggarkan dana untuk biaya transportasi pulang mahasiswa eksodus untuk kembali ke daerah studi masing-masing. Gerakan ini pun didukung oleh Kepolisian Daerah (POLDA) Papua dan lembaga bantuan hukum Papua (Paham) bentukan Matius Murib.
Aksi masih berlanjut hingga penodongan mahasiswa eksodus menolak sejumlah gerakan kepulangan mahasiswa dilakukan kelompok lembaga sosial( PAHAM) secara terselubung.
Gerakan protes mahasiswa ke MRP menuntut janji pertemuan dengan Gubernur Provinsi Papua. Dan ada mahasiswa lain dibiayai oleh orangtua secara mandiri pulang kembali ke kota study untuk segera selesaikan perkuliahan.
Eksistensi Mahasiswa Eksodus yang Hilang
Gerakan kepulangan mahasiswa eksodus di beberapa waktu lalu tahun 2019 silam tidak dilakukan gerakan untuk transfer (pindah kampus) ke sejumlah universitas di Papua. Hal ini menyebabkan mahasiswa eksodus ada yang balik, kembali ke daerah kota study yang ditinggalkan. Dengan meredam wacana rasisme ikut mendidika nurani bangsa ini untuk tidak mengungkit lagi tetang kasus ini ataukah akan tetap ada.
Posko umum gerakan eksodus mahasiswa belum merilis tentang berapa mahasiswa yang telah kembali melanjutkan studynya di nusantara ini. Mahasiwa eksodus sudah mengorbankan 2 semesternya sebagai mahasiswa aktif, lama kelamaan mahasiswa ini akan dikenakan sangsi akademik. Mahasiswa eksodus bisa menjadi pemuda yang menganggur di Tanah Papua.
Tidak ada gerakan forum temu mahasiswa eksodus secara nasional Papua untuk bermusyarawah secara terbuka, merangakai gagasan-gagasan baik bagaimana mereka mentapkan langkah baru yang harus dilakukan. Mereka makin tenggelam dengan gerakan perlawanan rasisme seprti sidang-sidang rekan mereka di sejumlah daerah sedang menjalani proses hukum.
Gerakan eksodus kembalik menjadi milik mahasiswa itu sendiri, tidak ada wacana kebersamaan lagi seperti wacana awal bahwa mahasiwa eksodus menjadi ageda gerakan nasional Papua untuk membangkitkan gerakan orang Papua menuju persatuan. Hal-hal tentang integrasi persatuan nasioanal ini harus dibicarakan kembali lagi.
Catatan saya, posko umum mestinya menetapkan agenda-agenda pertemuan kembali evaluasi gerakan mahasiswa eksodus. Gerakan pendataan mahasiswa eksodus yang ada di semua daerah bukan hanya yang pulang tetapi juga yang kembali. Apakah gerakan selanjutnya mahasiswsa eksodus, akan kembali ke nusantara Indonesia ataukah menetap di Papua.
Wacana eksistensi status eksodus harus jelas di publik sehingga elemen-elmen sosial ketahui dengan pasti. Lama kelamaan isu rasisme di Papua akan tenggelam dengan adanya kegiatan operasi militer di Nduga, Timika dan Intan jaya. Wacan PON XX di Tanah Papua. Prolegnas status otonomi khusus Papua, pemekaran provinsi disejumlah wilayah adat dan berbagai persoalan lain yang akan menyebabkan terabaikannya nasib mahasiswa eksodus di Tanah Papua.
Akankah mahasiswa eksodus bertahan dengan situasinya ataukah tengelam dalam situasi dinamika sosial di Tanah Papua?
Bersambung….
)* Penulis seorang aktivis pasar mama-mama Papua di Papua