JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Enam dari sembilan orang yang ditangkap polisi saat aksi anti rasis berujung ricuh di halaman kantor bupati Deiyai pada 28 Agustus 2019, akan dibebaskan pada pekan depan, sesuai putusan majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Nabire, Kamis (19/3/2020).
Hakim ketua PN Nabire Erenst Jannes Ulaen dalam sidang putusan memvonis Melianus Mote, Alex Pakage, Simon Petrus Ukago, Stefanus Goo, Andreas Douw, dan Yuven Pekei penjara enam bulan 20 hari dengan dikurangi masa tahanan. Para terdakwa dijerat pidana Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 12 tahun 1951 dan Pasal 212 KUHP.
Putusan ini jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang meminta vonis satu tahun kurungan dikurangi masa tahanan.
Menanggapi putusan tersebut, Emanuel Gobay, penasehat hukum terdakwa yang tergabung dalam Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua, mengaku sedikit kecewa lantaran dasar pertimbangan hukum dari hakim sependapat dengan argumentasi JPU dalam tuntutannya.
Eman menjelaskan kekecewaan didasarkan atas fakta persidangan yang membuktikan bahwa tak semua unsur dalam pasal yang didakwakan terpenuhi. Salah satunya, kepemilikan anak panah sebagai simbol budaya Papua.
“Laki-laki Papua memiliki dan membawa anak panah tidak wajib bahkan tidak perlu mendapat ijin dari pihak berwenang. Itu sudah berlaku jauh sebelum Undang-undang Darurat nomor 12 tahun 1951 sampai saat ini,” ujarnya saat dihubungi suarapapua.com melalui telepon seluler, Kamis (19/3/2020).
Baca Juga: Sembilan Tersangka Insiden Deiyai Dikenakan Pasal Berbeda
Selain itu, tegas Eman, tak ada fakta persidangan yang menunjukan enam kliennya sebagai pelaku kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap petugas. Sebaliknya, kata dia, justru enam orang ini korban kekerasan aparat keamanan baik dianiaya maupun ditembak.
“Sewajibnya enam aktivis anti rasis ini dibebaskan dari segala tuntutan JPU,” ujarnya.
Baca Juga: Bupati Deiyai Minta Sembilan Tahanan Dibebaskan
Eman menyebut dari fakta persidangan terbukti kliennya adalah korban penganiayaan dan penyalahgunaan senjata api yang dilakukan aparat keamanan. Karena itu, pemerintah daerah khususnya wakil rakyat kabupaten Deiyai disarankan mengambil langkah hukum untuk menuntut oknum aparat yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum kepada masyarakat Deiyai khususnya enam orang itu.
“Ini supaya tidak terjadi diskriminasi dalam penegakan hukum. Karena agak aneh ketika enam orang aktivis ditangkap dan diproses sebagai pelaku kekerasan terhadap petugas, sementara para pelaku kekerasan terhadap para aktivis itu malah tidak diproses,” tandasnya.
Baca Juga: KNPB Meepago Bantah Tudingan Danramil Paniai Soal Insiden Deiyai
Terpisah, Petrus Badokapa, ketua sementara DPRD kabupaten Deiyai, menjelaskan, dari sembilan aktivis anti rasis Deiyai yang ditahan dan disidangkan, tiga orang (Steven Pigai, Mikael Bukega, dan Yos Iyai) telah dibebaskan pekan lalu.
“Enam orang lagi akan dibebaskan pekan depan, pada hari Rabu tanggal 25 Maret 2020,” kata Badokapa.
Ia merasa bersyukur karena semua sudah dan akan dibebaskan pekan depan.
“Kami sangat berterimakasih dan mengucapkan syukur kepada Tuhan, juga kepada semua pihak yang telah mendukung proses persidangan selama empat bulan ini sejak November 2019,” ucapnya.
Baca Juga: Bupati Deiyai Minta Sembilan Tahanan Dibebaskan
Pembacaan putusan digelar setelah sebelumnya, Selasa (17/3/2020) sidang dengan agenda penyampaian pembelaan (pledoi) terhadap tuntutan JPU. Hadir memberi keterangan dalam sidang itu saksi meringankan: Yos Iyai, Petrus Badokapa, dan Alfred Pakage, mantan anggota DPRD kabupaten Deiyai.
Pewarta: Yance Agapa
Editor: Markus You