ELSHAM Papua Tagih Janji Pemerintah untuk Korban Pengungsi di Timika

0
1629

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua menagih janji pemeritah terhadap para korban pengungsi di Timika, Papua.

Dalam siaran pers yang diterima suarapapua.com pada Selasa (31/3/2020) di Kota Jayapura, Direktur ELSHAM Papua, Pdt. Matheus Adadikam mendesak berbagai pihak yang berkepentingan yang tidak membiarkan persoalan pengungsi di Timika dan menyelesaikannya.

Konflik Bersenjata Yang Tak Kunjung Selesai

Dalam beberapa tahun terakhir situasi HAM di Papua semakin buruk, beberapa hal menonjol diantaranya, negara masih mengabaikan perlindungan keamanan warga dan ketiadaan supremasi hukum di Papua. Akibatnya kesejahteraan dan keadilan makin jauh dirasakan oleh orang Papua. Kekerasan makin meluas, bahkan korbannya tidak hanya warga sipil, namun anggota TNI hingga Polisi.

Sementara kriminalisasi yang terjadi terhadap masyarakat sipil di Papua kerap terjadi dengan alasan pengibaran bendera, Aspirasi Politik, dan yang baru terjadi ditahun 2019 adalah Tindakan Rasisme kepada mahasiswa Papua di Malang, Surabaya yang disikapi secara spontan dengan melakukan aksi anti rasisme diseluruh tanah Papua dan beberapa kota besar di Indonesia lainnya merupakan Gerakan HAM yang dijamin secara internasional dan nasional Indonesia diakhiri dengan penangkapan sewenang – wenang, penetapan tersangka massa aksi anti rasis, kriminalisasi pasal makar,  dan pemindahan TAPOL Papua secara sewenang –wenang.

ads

Disisi lain isu separatisme memang sengaja dihidupkan dan dijadikan “alasan” untuk beragam gaya kebijakan Negara menggelar operasi A hingga Z di Papua dengan dalih mengamankan objek vital Negara. Semua seragam ada di Papua, TNI, Polri hingga yang tak berseragam seperti Intelijen. Semua mengklaim, bahwa Papua adalah simbol integritas Indonesia dari intervensi asing.

Jurnalis yang bekerja untuk media asing dibatasi aksesnya ke Papua. Indonesia, pemerintahnya takut dengan pertanyaan soal Papua di wilayah internasional. Anehnya pendekatan keamanan yang berakibat hilangnya rasa aman malah meningkat. Jumlah operasi keamanan meningkat, angka kekerasan juga meningkat, rasa aman justru hadir bagi perusahaan – perusahaan asing, bukan warga sipil di Papua. dengan berbagai peristiwa yang terjadi di Ndunga, Intan Jaya, Tembagapura/Timika ditahun 2020 ini.

Baca Juga:  Kadis PUPR Sorsel Diduga Terlibat Politik Praktis, Obaja: Harus Dinonaktifkan

Peristiwa konflik mengakibatkan banyak korban jiwa dan kerugian materil, ribuan manusia telah menjadi korban baik dari Militer TNI – Polri dengan Kelompok Prokemerdekaan Papua atau TPNPB,  konflik di Tembagapura mengakibatkan masyarakat sipil  terpaksa mengungsi ke kota Timika, menurut data BBC News tanggal 10 Maret 2020 dengan judul “PAPUA:

Konflik Bersenjata di Tembagapura Warga Sebut ‘Anak – anak dan Ibu – ibu bisa jadi gila” memuat tentang 1. 500 warga yang tinggal di distrik sekitar areal PT Freeport Indonesia beroperasi,  menyelamatkan diri ke kota Timika tanpa membawa harta bendanya karena takut dan trauma.

Pada tanggal 8 Maret 2020 sekitar 917 warga diusingkan ke Kota Timika oleh gabungan aparat TNI – Polri dengan menggunakan kendaraan TNI (VOA), Senin 9/3/2020 karena takut dengan aksi teror yang dilakukan oleh KSB atau yang menamakan diri mereka TPNPB /OPM kelompok Prokemerdekaan Papua yang disampaikan oleh juru bicaranya Sebby Sambon. Pengungsi diusingkan oleh petugas gabungan TNI – Polri ke kota Timika dan selanjutnya diantar kerumah sanak saudaranya dikota Timika.

Akibat konflik bersenjata yang berkepanjangan menimbulkan berbagai masalah hukum dan HAM antara masyarakat sipil, dan TNI/Polri dan TPNPB. Situasi ketegangan seperti ini menambah sederet Pelanggaran hukum dan HAM yang notabene menjadi PR di periode II kepemimpinan Presiden Joko Widodo, terutama dalam menangani berbagai gejolak di Tanah Papua.

Nasib Ribuan Warga yang Diungsikan

Menurut Pasal 1 angka 12, PP No.7 Tahun 2019 “Yang dikatakan pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk dari bencana atau konflik.

Bagaimana penanganan terhadap para pengungsi dari kelompok masyarakat sipil dari Tembagapura ke Kota Timika di tahun 2020 ? menarik ke belakang tahun 2019 Pengungsi  Intan Jaya? 2018 Pengungsi di Ndunga ? menambah sejumlah daftar pengungsi  hingga mencapai jumlah yang sangat signifikan akibat dari konflik yang berkepanjangan.

Baca Juga:  ULMWP Mengutuk Tindakan TNI Tak Berperikemanusiaan di Puncak Papua

Data Media Online yang memuat jumlah Pengungsi :

  1. Media Online Tirto.id dalam beritanya yang berjudul “Nestapa Ndunga” kurun waktu 2019 ada 37.000 orang mengungsi dan 241 orang Tewas (30/12/2019)
  2. Media Online radarpagi.com dalam beritanya yang berjudul “Ribuan Pengungsi terima bantuan dari Pemkab Intan Jaya dan Gereja Katolik menyebutkan 1.237 orang pengungsi.
  3. Menurut Media BBC News Indonesia dalam beritanya 10 Maret 2020 ‘Papua: Konflik bersenjata di Tembagapura, warga sebut “anak – anak dan Ibu – ibu bisa trauma, bisa jadi gila” menyebutkan ada 1.500 warga yang tinggal di daerah itu untuk menyelematkan diri ke Timika.
  4. Menurut VOA tanggal 8 Maret 2020 berita rilisnya tanggal 9/3/2020 dan “Akibat Gangguan KSB, Ratusan Warga Tembagapura Mengungsi ke Timika” disebutkan ada sekitar 917 warga yang berada di Distrik Tembagapura terpaksa mengungsi ke Kota Timika.

Negara Acuh Terhadap Pengungsi Papua?

Elsham Papua mencermati, bahwa pengungsi rakyat sipil yang terjadi baik di Kabupaten Ndunga, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Mimika terjadi karena kebijakan Negara melalui TNI/Polri dalam mengamankan wilayah –wilayah tersebut dari gangguan keamanan dari pihak KKB. Sebagai bagian dari kebijakan Negara, maka Pengungsian yang terjadi di wilayah tersebut patutlah menjadi tanggung jawab Negara.

ELSHAM Papua dalam melihat kondisi pengungsi tidak ditangani secara baik oleh Lembaga atau Organisasi Kemanusiaan yang diberi mandat oleh Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2018 Tentang KEPALANGMERAHAN (UU Kepalangmerahan) Undang – undang ini menjadi instrumen hukum yang penting bagi Indonesia, terutama dalam melaksanakan kegiatan Kepalangmerahan, baik ditingkat lokal, nasional maupun internasional.

Berdasarkan Undang – undang tersebut yang dimaksud Kepalangmerahan adalah hal – hal yang berkaitan dengan kegiatan kemanusian, lambang palang merah atau hal lain yang diatur berdasarkan Konvensi Jenewa 1949. Diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksana Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Kepalangmerahan.

Baca Juga:  Mahasiswa Papua di Sulut Desak Komnas HAM RI Investigasi Kasus Penganiayaan di Puncak

Setelah ada UU Kepalangmerahan PP ini untuk menguatkan secara teknis Kelembagaan PMI, Peraturan Pemerintah (PP) merupakan aturan pelaksana UU Nomor 1 Tahun 2018. Perauran Pemerintah ini sebagai landasan hukum secara teknis, agar PMI dapat maksimal bersama pemerintah dan lembaga terkait seperti BPBD, Dinkes, dan stakeholder lainya dapat memberikan pelayanan kepada para masyarakat sipil yang mengungsi karena bencana atau konflik diwilayahnya. Demikian juga pengungsi dari kabupaten Ndunga, Intan Jaya dan Mimika, sepatutnya mendapat pelayanan kemanusiaan dari lembaga – lembaga yang oleh Negara memiliki mandate dalam penanganan pengungsi akibat bencana atau konflik.

Berdasarkan kondisi seperti diatas, maka Elsham Papua menyatakan :

  1. Mendesak Pemerintah Pusat,Provinsi Papua dan Kabupaten menugaskan Palang Merah Indonesia dan lembaga – lembaga terkait agar segera menyelenggarakan pelayanan kemanusiaan bagi pengungsi di Kabupaten Ndunga, Kabupaten Intan Jaya dan Kabupaten Mimika/Timika, sebagai bentuk tanggung jawab terhadap warga Negara. (Pembukaan UUD 1945,
  2. Meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah (Pasal 28 I ayat 4) UUD 1945;
  3. Mendesak Pemerintah Pusat, menepati janji segera mengundang Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa – Bangsa untuk mengunjungi Indonesia dan hadir di Papua dan Papua Barat ;
  4. Mendesak Pemerintah membuka akses kepada Pers local, Nasional dan Internasional untuk masuk ke wilayah konflik sebagai media yang punya fungsi sosial berperan untuk menggerakan masyarakat untuk terlibat dalam upaya penyelesaian konflik dan penanganan konflik serta korban – korban konflik yang terus berjatuhan di banyak tempat.

Demikian hal ini kami sampaikan demi menjunjung dan menghormati Hak Asasi Manusia

Jayapura 24 Maret 2020

Pdt. Matheus Adadikam. S.Th
         Direktur

Artikel sebelumnyaCatatan Kelam: Kekerasan Seksual Berulang Kali di Perbatasan (7)
Artikel berikutnyaUpdate Pandemi Covid-19 PDP dan OPD di Papua Barat 30 Maret .