Kalau anak saya nakal, orang kampung di sini suka bilang, ”Eh, dasar anak ’kolong’ Ini bukan kamu punya daerah. Ini orang asli pu daerah.” Saya rasa malu sekali, tertekan, minder dan suka sendiri di rumah.
Sejak tahun 1971, pasukan TNI ditempatkan di sepanjang perbatasan internasional di antara Republik Indonesia dan Papua Nugini.
Catatan kesaksian perempuan Papua korban kekerasan dan pelanggaran HAM 1963-2009 berjudul Stop Sudah! mengungkap, pada tahun 2009, terdapat 50 pos TNI di wilayah perbatasan mulai dari Kampung Kondo, Distrik Naukenjerai, Kabupaten Merauke hingga wilayah Kabupaten Boven Digoel.
Di setiap pos biasanya ditempatkan 22 personel, dan pos induk dijaga 30 orang personel.
Kehadiran tentara di tengah masyarakat menimbulkan berbagai persoalan, seperti kasus kekerasan dan eksplotasi seksual terhadap perempuan muda yang ‘dipacari’ oleh anggota aparat keamanan, sebagaimana tercermin dalam sejumlah kesaksian korban di kedua kabupaten ini.
Baca Juga: Catatan Kelam: Tentara Perkosa Perempuan Buta di Manokwari (1)
Seorang perempuan, berinisial ”MO”, tinggal bersama tantenya di suatu kampung di wilayah perbatasan RI-PNG setelah orang tuanya meninggal. Di kampung ini, MO mengalami kekerasan seksual berulang kali dari aparat keamanan.
Pengalaman MO menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual dikenal dan berkali-kali mengalami kekerasan seksual yang sama. Ini sebuah pola yang ditemukan juga di wilayah konflik lainnya seperti, di Timor-Timur dan Aceh.
Kekerasan pertama dialami pada tahun 1997, sewaktu MO masih berumur 14 tahun. Waktu tantenya ke kebun, seorang anggota Yonif 509 masuk rumah, kunci pintu, lalu memperkosa MO di kamar tidur.
Baca Juga: Catatan Kelam: Kekerasan Seksual dan Operasi Militer di Biak (2)
Pada sorenya, ia kembali dan menyuruh MO minum ”obat” yang dibawa dalam sebuah cangkir. Dua hari kemudian MO kaget dengan ”pendarahan lancar” selama seminggu.
Beberapa tahun kemudian, MO diserang lagi oleh anggota tentara lain yang menguntitnya ke mana-mana. Waktu ke kebun, MO dicegat, ditodong di pinggang dengan senjata, dan diperkosa ”dari pagi sampai sore, sampai saya pingsan.”
MO merasa diperlakukan seperti binatang, sampai ia hamil. Tentara ini juga datang dengan senjata dan ”obat”, memaksakan korban meminumnya.
Ketika hubungan ini diketahui oleh tante, MO menduga bahwa ada orang yang melaporkannya kepada tante. Korban ini ditikam dengan guntig di leher oleh tantenya dan diusir keluar dari kampung. Ia pindah ke kawasan perkebunan sawit.
Baca Juga: Catatan Kelam: Polisi Tahan Perempuan dan Lakukan Kekerasan Seksual di Wamena (3)
Sekitar tahun 2004, setelah menikah, MO membawa dua anaknya untuk berlibur di kampung di mana pos keamanan terletak, sekitar 500 meter dari rumah tantenya. Suatu hari, ketika tantenya ke luar, ada anggota Yonif 534 datang ke rumah. Dengan alasan membawa kue, ia masuk rumah, kemudian memperkosa MO, dan keluar cepat sebab tidak mau dilihat warga.
Perempuan itu tidak bisa berteriak sebab pistol dimasukkan ke dalam mulutnya. Waktu itu, MO sudah dua bulan hamil dengan anak yang ketiga.
Waktu melahirkan anaknya yang ketiga, MO memberitahukan kepada suami, apa yang dialaminya. Suaminya sangat marah dan menceraikan MO.
Kejadian keempat terjadi pada Desember 2008, ketika MO lagi pulang berlibur pada akhir tahun. Pada malam tahun baru, ada pesta perpisahan dengan pasukan Kopassus. Waktu MO menunggu kendaraan di pinggir jalan untuk pulang, seorang anggota Kopassus dari Biak yang MO kenal datang dengan motor dan mengajak MO untuk naik motor.
Tiba di tempat sepi, MO ditarik masuk hutan dan diperkosa. Pelaku mengancam: ”Kalau kamu tidak mau melayani saya, saya kasih tinggal di sini.”
Baca Juga: Catatan Kelam: Pengamanan Tambang dan Kekerasan Seksual di Timika (4)
Perempuan itu Diperkosa oleh empat orang tentara berbeda, dipaksakan untuk minum ”obat” untuk mencegah kehamilan. Ia dipanggil lonte oleh masyarakat, kemudian diusir oleh tantenya dan akhirnya juga ditinggalkan oleh suaminya.
Sekarang ia tinggal dengan suaminya yang kedua. Ia menuturkan bahwa ”Saya dapat pukul terlalu banyak, dapat sepak (ditendang), kadangkadang saya menangis, karena di pukul terus.”
Melalui penelitian lapangan, telah ditemukan oleh Tim Dokumentasi bahwa kasus eksploitasi seksual sangat dominan di salah satu kampung di Kabupaten Merauke di mana paling sedikit 17 perempuan setempat pernah menjadi korban, kemudian ditinggalkan begitu saja oleh aparat yang bertugas di kampungnya.
Di antara 16 perempuan yang masih hidup, 13 telah melahirkan anak akibat relasi eksploitasi tersebut, sedangkan salah satunya hamil anak kedua pada saat penelitian lapangan dilakukan.
Baca Juga: Catatan Kelam: Operasi Militer Disertai Penyiksaan dan Kekerasan Seksual di Jayapura (5)
Pada bulan April tahun 2003, seorang perempuan suku asli berumur 21 tahun mengunjungi pamannya yang istrinya berasal dari Jawa. Tante tersebut biasanya memanggil tentara pada saat ada anak-anak perempuan di rumahnya. Ia suka menawarkan kepada anggota untuk ’pakai’ anak perempuan di situ.”
Waktu di rumah paman, perempuan muda ini pergi memancing, ketika itu seorang anggota Yonif 623 muncul dan mengatakan, ”Saya disuruh oleh mama untuk ikut kalian pancing. Saya sudah bayar mama, jadi saya boleh pakai dirimu dengan bebas.”
Korban ditodong dengan sangkur dan senjata, kemudian diperkosa. Walaupun tentara kemudian mendekati keluarga dengan makanan, keluarga korban tetap melapor kepada komandan pos.
Pelaku dikenakan denda sebesar 4,5 juta rupiah tanpa proses hukum atau pun sanksi disipliner lainnya. Pada akhirnya, korban hamil dan melahirkan seorang anak, sedangkan pelaku bersama pasukannya tidak lagi bertugas di tempat.
Korban menceritakan mengenai diskriminasi yang dialaminya: Kalau anak saya nakal, orang kampung di sini suka bilang, ”Eh, dasar anak ’kolong’ Ini bukan kamu punya daerah. Ini orang asli pu daerah. ”Saya rasa malu sekali, tertekan, minder dan suka sendiri di rumah. Saya dan anak saya sering diusir dari rumah orang tua. Kami pindah dan tinggal di rumah saudara yang lain, tapi juga diusir. Kami sering tinggal pindah-pindah rumah. Keluarga saya sering marah saya dan anak saya, Kamu berdua harus keluar dari rumah ini. Jangan bikin rumah ini haram.” Ungkapnya dalam laporan itu.
Baca Juga: Catatan Kelam: Perempuan Amungme di Wilayah Freeport Hidup dalam Kekerasan (6)
Lima tahun kemudian, kejadian serupa terulang kembali. Seorang tentara, anggota Yonif 752 Sorong, Papua Barat, mendekati korban dan keluarganya, meminta izin untuk pacaran dan berjanji akan bertanggung jawab. Namun, setelah berpacaran selama dua bulan, korban dipaksa bersetubuh berkali-kali, dan akhirnya menjadi hamil.
Pelaku masih berada di tempat, tetapi tidak lagi mengacuhkan pacarnya. Sampai dengan sekarang perempuan ini takut melaporkan kasus ini di Korem karena takut keluarganya akan diintimidasi.
Pada tahun 2008, eksploitasi seksual serupa dialami seorang perempuan suku asli yang lain. Anggota dari Yonif 320, membuat pendekatan pada seorang perempuan dan keluarganya. Proses berpacaran berlanjut sampai dengan terjadi hubungan seksual secara paksa. Pemerkosaan berlanjut sampai akhirnya si perempuan hamil, kemudian ditinggalkan pelaku. (BY)
Sumber: Laporan Komnas Perempuan berjudul Stop Sudah!, Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan & Pelanggaran HAM, 1963-2009. Hasil pendokumentasian bersama kelompok kerja Pendokumentasian kekerasan & pelanggaran ham perempuan papua, 2009-2010