Operasi Militer Kolonial Indonesia di Papua

0
1920

Oleh: Immount de Djthem)*

Banyak sekali ibu dan anak dibawah umur di daerah operasi militer di Papua, mengungsi ke hutan belantara, pegunungan dan lainnya. Ada yang melarikan diri sebelum dan ada pula yang mengungsi di tengah ancaman Virus Corona di depan mata. Hingga saat ini sebagian besar warga sipil masih berada di lokasi persembunyian yang jauh dari pemukiman (rumah) mereka, kebun dan ternak mereka, pelayanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan masyarakat.

Pengungsi Operasi Militer

Pengungsi Operasi Militer sangat beragam. Ada ibu hamil, bayi, anak dibawah umur, anak sekolah, lansia, dan lain sebagainya. Di tempat pengungsian, mereka tinggal dalam keterbatasan. Tinggal dengan kelaparan karena kebutuhan makan minum terbatadms. Tidur dibawah pohon-pohon, gua-gua kecil, dan pondok-pondok (kemah) darurat dengan alas daun-daun pohon, rumput, pakaian kotor, karung bekas dan lain seterusnya.

Pendidikan dan Kesehatan Pengungsi Operasi Militer

ads

Anak sekolah tidak lagi sekolah karena mereka kehilangan sekolah dan guru-guru mereka di kampung halaman. Ibu hamil, anak usia dini dan orang sakit menderita penyakit selama berhari-hari hingga berbulan-bulan. Banyak yang tak dapat melakukan pengobatan lantaran tidak ada pos pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan di tempat persembunyian.

Sejumlah ibu-ibu hamil dilaporkan melahirkan di hutan belantara. Ada yang melahirkan normal. Tapi ada juga yang gugur. Bahkan sedikit pula yang dilaporkan meninggal dunia. Itu tak hanya ibu hamil. Tapi juga anak dibawah umur, lansia dan lainnya akibat kelaparan dan serangan ragam penyakit biologis.

Pemerintah Minta Pulang Ke Kampung

Pemerintah kolonial Indonesia meminta warga sipil yang bukan termasuk kelompok bersenjata kembali ke kampung halamannya. Namun masyarakat sipil di kawasan operasi militer, antara lain; Nduga, Intan Jaya, Tembagapura (Timika), Serambakon (Pegunungan Bintang ( dan lainnya enggan kembali.

Tolak Tawaran Pemerintah

Mereka menolak karena 2 hal. Pertama, mereka masih ingat akan pengalaman trauma dan ketakutan dari masa lalu hingga saat ini. Di sejumlah tempat, seperti dalam peristiwa Operasi Militer Mampenduma (1996), aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia menggunaka label PMI, keselamatan (Unisef) dan lainnya. Kemudian, mereka menyuruh masyarakat sipil kembali ke kampung halamannya. Setelah itu mereka membantai habis-habisan.

Kedua, karena hingga saat ini Oerasi Militer Kolonial Indonesia di Papua (kabupaten Nduga, Intan Jaya, Timika, Pegunungan Bintang dan lainnya) sedang berlangsung. Aparat TNI/POLRI menguasai pemukiman warga sipil, termasuk gereja, sekolah dan pos rumah sakit. Selama status Daerah Operasi Militer masih aktif, selama itu masyarakat sipil enggan kembali.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Ketidakpercayaan Masyarakat Sipil

Mereka tidak percaya pemerintah maupun aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia. Tidak percaya bahwa pemerintah bersama TNI-POLRI, juga semulah tokoh masyarakat yang sering meminta mereka pulang ke kampung, (tidak yakin) bisa menjamin keamanan, ketertiban, kedamaian, pendidikan, kesehatan dan keselamatan nyawa mereka selama operasi militer itu berlangsung. Mereka tidak mau kehilangan nasib dan masa depan di kampung halaman yang sama sekali belum kondusif.

Sikap pengungsi operasi militer ini bukan berarti mereka semata-mata bagian dari kelompok bersenjata nasionalis Papua. Tidak juga melawan pemerintah kolonial Indonesia. Sikap mereka cenderung dusebabkan dengan pengalaman masa silam, ingatan, trauma dan ketakutan masa lalu hingga saat ini.

Berharap Kepada Pihak Ketiga (Netral)

Mereka justru percaya kalau yang meminta mereka kembali ke kampung adalah bukan pemerintah kolonial Indonesia; aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia; tokoh gereja, tokoh adat, intelektual; juga TPNPB/OPM. Tapi pihak ketiga yang netral. Barangkali itu termasuk PBB yang bisa membuat kedua kelompok bersenjata yang berseberangan bisa denga dan duduk sama tinggi sama rendah guna mencapai kesepakatan bersama secara damai dan bermartabat.

Belum Tentu PBB Dengar

Pertanyaan: apakah PBB atau pihak ketiga yang netral akan (cepat) mendengarkan suara pengungsi operasi militer di tengah situasi kritis dan krisis dunia akibat dampak Virus Corona saat ini? Apakah pihak ketiga akan mengabulkan harapan pengungsi operasi militer kolonial Indonesia?

Bisa saja. Tapi sayang itu tidak muda. Pertama, karena akses komunikasi, informasi, media masa, jurnalis, peneliti, pegiat HAM, pelapor khusus PBB dan lainnya untuk menembus di tempat persembunyian mereka sangat sulit, terbatas dan tertutup sekali. Kedua
Sebenarnya, tidak masalah. Kedua, karena saat ini semua orang, termasuk PBB sibuk mengurus dan mengatur strategi guna menekan layu penyebaran Virus Corona.

Sehingga, besar kemungkinan, pihak ketiga yang netral atau semua pihak yang diharapkan sulit mengambil langkah darurat guna menangani pengungsi operasi militer kolonial Indonesia di kabupaten Nduga, Intan Jaya, kawasan eksploitasi sumber alam Papua (Tembagapura/PT. Freeport McMoRan), Pegunungan Bintang dan lainnya.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Perkembangan Operasi Militer Terakhir

Kalau begitu keberadaan mereka semakin terancam. Tak hanya karena operasi militer kolonial Indonesia atau perang antara TPNPB/OPM melawan TNI/POLRI. Tapi juga bahaya karena ancaman Virus Corona di Papua yang saat ini, per akhir Maret mengantongi 9 orang yang berstatus sebagai positif (terjangkit virus biologis itu).

Bukan tidak mungkin atau kita tidak bisa bilang: Ahk, yang kena Virus Corona itu di kota. Mereka yang di pedalaman, termasuk pengungsi operasi militer ini aman karena mereka jauh atau tak pernah kontak langsung dengan masyarakat sipil disana. Kita tidak bisa pastikan apakah, semua orang (dari luar/orang baru( yang pernah berkunjung ke tempat pengungsian dan sekitarnya sehat atau tidak.

Kita tidak bisa pastikan itu. Bahkan tidak lagi memikirkan nasi para pengungsi Operasi Militer kolonial Indonesia seperti di waktu-waktu normal. Situasi dunia hari ini justru membuat orang hanya untuk memikirkan diri sendiri dan membatasi ruang gerak semua orang.

Barang tentu ini bukan soal egoisme atau kita tidak mau menolong mereka. Namun memang hari ini menuntut kita untuk mematuhi sosial dinstancing. Barangkali ini juga solusi. Mematuhi anjuran pemerintah untuk selamatkan diri dan selamatkan orang lain. Kita tidak punya banyak waktu untuk bebas memantau perkembangan pengungsi operasi militer kolonial Indonesia di Papua.

Namun tidak terlalu sulit untuk mendapatkan informasi. Tapi juga mengkhawatirkan keadaan pengungsi yang notabene korban operasi militer. Kita bisa mengikuti perkembangan operasi militer kolonial Indonesia atau perang ideologi politik antara TNI- POlRI dengan TPNPB/OPM dari rumah kita masing-masing. Karena media masa cukup membantu kita untuk mengikuti perkembangan operasi militer dari jarak jauh

Kita bisa bahkan sudah mengikuti perkembangan operasi militer kolonial Indonesia di kabupaten Nduga, Intan Jaya, Timika, Pegunungan Bintang dan lainnya. TNI-POlRI dan TPNPB/OPM sedang perang di tengah ancaman Virus Corona.

Akibatnya jelas. Operasi militer kolonial Indonesia yang sama telah mengakibatkan masyarakat sipil di kawasan operasi militer mengungsi ke hutan, pegunungan dan sekitarnya di tengah ancaman pandemi Corona Virus.

Ini sangat membahayakan keselamatan semua orang, baik TNI-POLRI, TPNPB/OPM dan masyarakat sipil. Mungkin saja, bagi TNI/POLRI maupun TPNPB/OPM, gugur atau terjangkit virus Corona dalam Medan pertempuran adalah suatu kehormatan tertinggi. Namun itu tidak bisa disamakan dengan masyarakat sipil yang menjadi korban akibat operasi militer.

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Jika TNI/POLRI dan TPNPB/OPM mau kontak senjata sampai berjumpa dengan virus Corona silahkan. Karena bagi aparat keamanan dan militer yang gugur, anak istrinya bisa dijamin oleh negara. Mungkin kelompok gerilyawan nasionalis tidak seperti begitu karena belum merdeka. Namun sejarah mereka akan dicatat sebagai pahlawan revolusiner. Bakalan kalau Papua merdeka, keluarga mereka bisa saja mendapatkan penghargaan atau jaminan tertentu.

Namun bagaimana dengan nasib masyarakat sipil yang menjadi korban dari operasi militer kolonial Indonesia? Sejarah tidak akan menghargai pelarian atau pengungsian mereka di hutan-hutan. Masa depan mereka penuh misteri. Sehingga, mereka perlu diperhatikan dan diselamatkan. Mereka membutuhkan kepedulian dan solidaritas yabg tinggi atas nama masyarakat sipil dan kemanusiaan.

Dalam situasi kritis dan krisis dunia saat ini, tak hanya kita yang di kota-kota, mereka di pedalaman atau hutan-hutan membutuhkan pertolongan dan perlindungan dari semua pihak. Dalam situasi seperti ini, suara orang atau organisasi sipil di dunia tidak mempan. Mereka harus diperhatikan oleh pihak ketiga yang netral.

PBB harus dan segera mengingatkan kolonial Indonesia untuk menghentikan operasi militer atau menarik pasukan TNI/POLRI dari pemukiman warga sipil di daerah yang saat ini tengah melakukan operasi militer. Karena operasi militer kolonial Indonesia saat ini merupakan sebuah antinomi dalam ancaman Virus Corona di dunia, termasuk wilayah koloni, tanah Papua.

Tak hanya itu. Jika pemerintah kolonial Indonesia menarik pasukan atau menghentikan operasi militer di tengah situasi kritis ini, baiknya TPNPB/OPM juga bisa menahan diri – tak melancarkan serangan sampai semua pihak benar-benar membumi hanguskan Corona Virus dari permukaan planet ini.

Tujuannya, satu: menciptakan perdamaian dunia, termasuk menciptakan suasana kondusif di pemukiman warga sipil. Kedua, biar seluruh dunia fokus melakukan perlawanan kolektif terhadap ancaman global, Virus Corona. Ketiga, pengungsi operasi militer bisa pulang kampung dan pemerintah kolonial Indonesia memperlihatkan hak-hak dasar mereka sebagai WNI, termasuk juga selamatkan mereka dari ancaman Corona Virus ini.

)* Penulis adalah warga Papua di Jayapura

Artikel sebelumnyaPWI PB Minta Wartawan Gunakan Alat Pelindung Saat Liputan
Artikel berikutnyaPemkab Intan Jaya Siaga Covid-19