Melihat Papua dari Kacamata Dialektika (Bagian 1)

0
2013

Oleh: Bernadetha Rumwaropen)*

Pendahuluan

Pergolakan antara Papua dan Indonesia masih terjadi sejak sebelum penyatuaan hingga saat ini setelah. Setelah Papua di-integrasi (aneksasi dalam pandangan orang Papua) ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penyatuan belum berakhir. Setelah pemberian kewenangan Otonomi Khusus (Otsus) pada 2001 soal papua menjadi sintesis baru karena pergolakan-pergolakan yang terjadi di masa sebelumnya. Masa-masa pergolakan yang berdarah, belum mampu menghapus ingatan sejarah kebangsaan Orang Papua secara mendasar.

Pergolakan yang pada umumnya secara manipulatif dilakukan oleh Indonesia menjadi konsen LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dalam merumuskan empat akar persoalan Papua dan Indonesia. Salah satunya adalah perbedaan pandangan politik, dalam pembahasan ini digunakan dengan istilah perbedaan nasionalisme.

Apakah Pemberian Otsus ini bisa menyelesaikan persoalan nasionalisme? Jawabannya, tidak! Pemberian kewenangan melalui Otsus hanya sebatas di atas kertas. Tidak sampai menyentuh jiwa orang Papua yang berbeda pandangan mengenai penyatuan. Yakni jiwa berkebangsaan berakar dari geo-sosio-kultural. Maka itu, NKRI melalui kebijakannya masih kesulitan menyentuh hal yang mengakar di dalam Orang Papua. Sebagai jalan alternatif, salah satu solusi yang ditawarkan ialah dialog tentu saja akan berakhir pada suatu kompromi baru atau sintesis baru dalam bahasa Hegel dan Marx.

ads

Dengan demikian, penulis merasa perlu untuk melihat kembali sintesis apa saja yang terjadi sejak awal hingga saat ini. Caranya, dengan menelusuri perjalanan sejarah itu sendiri. Merekonstruksi kembali melalui kacamata dialektika: apa tesisnya, anti-tesisnya, dan sintesisnya berdasarkan perjalanan sejarah hingga batas kompromi antara kedua belah pihak yang dihasilkan hingga kini. 

Nasionalisme

Sebelum melangkah jauh, alangkah baiknya untuk mengenali apa itu nasionalisme. Nasionalisme berasal dari akar kata inggris nation yang artinya bangsa yang diserap menjadi nasional. Isme menunjukan suatu paham. Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa Nasionalisme adalah suatu paham akan kesadaran menjadi bagian dari kesatuan suatu bangsa.

Menjadi suatu bangsa secara umum, mengakar pada suatu keterikatan dalam relasi sosial, budaya (antropologis), bahkan geografis. Kesadaran kebangsaan selalu mengakar pada ketiga aspek ini. Mengenai nation state dalam hal ini adalah aspek politik adalah setelahnya. Entah itu melalui perebutan kekuasaan setelah terjadi peperangan ataupun karena pernah menjadi jajahan suatu bangsa.

Dalam berkebangsaan aspek politik tidak selalu terikat dengan ketat sekuat aspek sosial, budaya, dan geografis. Oleh karena itu, rentan terjadi pergolakan jika terjadi ketidakpercayaan pada yang berandil menyatukan. Bahkan, dapat berakibat pada pemisahan diri. Tentu saja hal itu, tidak terlepas dari berbagai kompromi yang panjang.

Nasionalisme Indonesia mengarah kepada nation-state, atau memiliki kesatuan dalam suatu bangsa-negara karena alasan politik. Walaupun para pakar Sejarah Indonesia berdalil karena alasan sejarah tapi itu tidak cukup kuat untuk menyatukan. Misalnya salah satunya adalah Muridan berusaha menggali lebih dalam dab menjelaskan  bahwa adanya ikatan historis yang erat antara Maluku dengan  daerah Pesisir Papua (Muridan, 2013:344). Namun itu tidak mencakup keseluruhan wilayah maupun orang-orang Papua. Namun itu tidak cukup mempan untuk merebut hati rakyat Papua. Maka, jalan satu-satunya yang selalu dilakukan oleh Indonesia adalah kompromi dengan perjanjian tertentu. Misalnya tahap awal setelah Papua di-integrasi adalah pemberian Otsus.

Nasionalisme Papua berakar pada aspek sosial, antropologis, dan geografi. Secara sosial, rasa kebangsaan telah tumbuh bersama sejarah ketertindasan. Kesejarahan itu tumbuh sejak awal Papua sebelum dimerdekakan dan setelahnya. Berbagai interaksi antar-suku, menumbuhkan suatu kesadaran bahwa orang Papua memiliki suatu perjuangan untuk Merdeka. Melalui sejarah, orang Papua semakin sadar akan kesatuan. Melalui kekerasan yang dilakukan oleh agen atas nama NKRI, orang Papua secara kelompok dan individu yang mendiami suatu pulau dengan warna kulit yang sama merasa disingkirkan oleh orang yang berbeda letak geografis, budaya, etnis dari mereka. Di sanalah kesadaran kebangsaan itu tumbuh dengan subur.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Namun, karena akar kebangsaan Kepapuaan itu kuat, Indonesia harus terus mengkoyak kesatuan yang terbentuk. Terlepas dari kepentingan ekonomi oknum elit, NKRI terus berusaha untuk mematahkan kesatuan tersebut. Oleh karena hal ini juga, NKRI mengalami suatu pergolakan yang dapat disebut kepala makan ekor atau pun sebaliknya. Bahkan, hal ini mengganggu suatu proses integrasi yang seharusnya dilakukan oleh pihak agensi yang bernama Pemerintah Indonesia.

Secara sederhana, telah disinggung bahwa ada tesis Papua adalah ‘kepapuaan’ dan antitesisnya bagian dari NKRI atau ‘pengindonesiaan’, namun sintesisnya sulit untuk dilihat arahnya ke mana. Hal inilah yang akan diuraikan di sini. Pertama, selama pemberian Otsus sebagai sintesisnya, orang Papua sebagian menjadi bagian dari NKRI secara terang-terangan dan sebagian secara diam-diam. Dari pihak indonesia, pemerintah berusaha untuk integrasi tetapi oknum berusaha menggoyangkan integrasi tersebut.

Berkacamata dari Dialektika Hegel dan Marx

Dialektika berasal dari kata (sifat) Yunani, he dialektike. Kata ini dibendakan dari kata kerja dialegomai yang berakar dari dia yang artinya lewat, melalui, dan legein yang artinya berbicara. Secara keseluruhan, dapat diartikan dekat dengan dialog (bercakap). Tidak semua percakapan adalah dialektika. Dialektika merupakan suatu keterampilan dan pengetahuan. Terlalu abstrak!

Sederhananya, dialektika adalah suatu pertentangan antara dua tesis (tesis dan anti-tesis) yang akan menghasilkan tesis baru (sintesis). Jika berdasar pada tesis, yang jelas akan langsung mengarah kepada suatu logika yang ketat. Artinya, tesis itu dihasilkan dari suatu pergumulan yang panjang dan menjadi suatu keterampilan atau pengetahuan. Masih membingungkan?

Kontekstualnya akan diuraikan dalam beberapa poin berikut ini. Tesis pertama, adalah keinginan orang Papua untuk Merdeka (kepapuaan). Tesis kedua, Indonesia mau Papua menjadi bagian dari NKRI (pengindonesiaan). Hal itu menjadi sejarah kehidupan yang panjang, bagi orang Papua selama 60-an tahun  dan NKRI dalam upaya integrasi melalui kebijakan-kebijakannya, hingga saat ini. Pergolakan panjang, entah itu melalui kontak senjata, Operasi Militer, Pepera, penjarahan, petrus (penembakan misterius), dan dialog dengan tim 100 merupakan proses dialektika. Sintesisnya adalah pemberian Otsus. Semoga jelas.

Dialektika yang diusung oleh Hegel kemudian dibalik oleh Marx dengan anti-tesisnya untuk memenangkan sosialisme. Menurut Hegel, kenyataan adalah sebuah proses dialektis. Hal ini sebagai dasar bagi pemikirannya yang berdasar pada pengalaman sehari-hari dalam dialog. Ia merumuskan tiga tahap yakni, tesis, anti-tesis (penolakan tesis), dan diperdamaikan oleh sintesis atau tesis baru (Hardiman, 2019:176).

Pemikiran Hegel ditafsir secara berbeda oleh Hegelian sayap kanan dan Hegelian sayap kiri. Sayap Kanan menafsir dengan kacamata teisme. Sedangkan Yang sayap kiri, membacanya bersifat panteis bahkan lebih radikal yakni, naturalisme, materialisme, dan bahkan ateisme. (Hardiman, 2019)

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Marx adalah tokoh yang merupakan hegelian sayap kiri yang mendasarkan diri pada materialisme. Marx berpandangan terbalik dengan Hegel. Baginya, sintesis sebagai perdamaian. Berlawanan dengan pemikiran Hegel yang menurut Marx bersifat kontemplatif dan membenarkan penindasan yang berlangsung dalam penindasan. Oleh karena itu, Marx mengusung dialektika yang dapat membuat penindasan itu berakhir. 

Membaca Dialektika Nasionalis Papua [kePAPUAan] dan Nasionalis Indonesia [pengINDONESIAan]

 Catatan Penjelas:

Tesis: kesadaran bahwa papua adalah suatu bangsa yang pernah merdeka yang merupakan suatu bangsa yang terpisah dari NKRI. DI sini penulis akan menggunakan nama yakni kepapuaan agar lebih mudah dan singkat dalam memahami.

Anti-tesis: Perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut Wilayah Papua menjadi bagian dari Indonesia. Penulis akan menyebutnya dengan kata pengindonesiaan.

Sintesis: Integrasi Papua ke dalam NKRI atau yang disebut dengan pengindonesiaan orang Papua.

Awal Indonesia merdeka membentuk suatu bangsa

Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945. Pada Oktober 1945 (setelah Indonesia Merdeka), mereka menetapkan 8 provinsi baru, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Kepulauan Sunda Kecil (Papua tidak termasuk di dalamnya) (Drooglever, 2010:112).

Papua dibahas dalam BPUPKI namun dalam Pembahasannya tidak ada satu pun orang Papua (perwakilan) yang masuk di dalam keanggotaan BPUPKI. Dengan sedikit alasan sejarah dan lebih banyak alasan sumber kekayaan, Yamin berusaha meyakinkan mereka. Hatta  menolak ajuan itu, dengan tegas ia menggambarkan bahwa itu usaha mencaplok Papua ke dalam Indonesia. Tetapi pendapat Hatta kalah voting, sehingga dalam pembicaraan Papua diklaim sebagai bagian dari Indonesia (Drooglever, 2010:126-129). 

Sintesis I, integrasi (pengindonesiaan) melalui Penentuan pendapat Rakyat (Pepera)

Berdasarkan kenyataan, bahwa secara langsung Papua tidak bersama Indonesia, maka Papua mendeklarasikan Kemerdekaan pada 1 Desember 1961. Pada tahap pertama, sintesisnya adalah integrasi melalui Penentuan pendapat Rakyat (Pepera). Namun, Pepera tidak berhasil mengintegrasi nasionalisme Papua (Kepapuaan) sehingga Pemerintah Indonesia melakukan berbagai Operasi Militer. Hal ini merupakan antitesis baru demi memenangkan nasionalisme itu sendiri. Mereka melakukan lebih 13 kali Operasi Militer dengan penekanan negatif dalam bahasa Psikologi. Sedangkan dalam bahasa HAM dikatakan dengan menggunakan kekerasan.

Walaupun sebelum pelaksanaan Pepera, Papua telah menjadi Provinsi (dalam kacamata NKRI) yang dipimpin oleh Zainal Abidin Syah (1956-1961), R. Pamoedji (1961-1962), Elias Jan Bonai (1963-1964). Namun, itu merupakan salah satu antitesis yang dilakukan oleh mereka untuk menggagalkan usaha Pemerintah Belanda untuk dalam hal persiapan Kemerdekaan Papua Barat. Antitesis ini lebih jelas terlihat setelah 18 hari deklarasi kemerdekaan Papua  (1 Desember 1961), NKRI mulai melakukan operasi militer melalui TRIKORA pada 19 Desember 1961 (Alua, 2006:37).

Antitesis politik yang nampak adalah berbagai Operasi Militer oleh NKRI. Yakni; 1) Operasi Wisnumurti I dan II, Operasi ini dilakukan pada Mei 1963 hingga April 1964. Pimpinan operasi ini adalah Brigjen U Rukman. Tidak diketahui tujuan operasinya. 2) Operasi Wisnumurti III dan IV, Operasi Giat, Operasi Tangkas dan Operasi Sadar, Operasi ini dilakukan pada 1964 hingga 1966 dengan dipimpin oleh Brigjen Kartidjo. Tidak diketahui tujuan dari operasi itu. 3) Operasi Baratayudha , Operasi ini dilakukan pada Maret 1966 dengan tujuan operasinya untuk menghancurkan OPM dan memenangkan PEPERA. Operasi ini dipimpin oleh Brigjen R. Bintoro. 4) Operasi Sadar, Bratayudha dan Operasi Wibawa, Operasi ini dilakukan pada 25 Juni 1968 dipimpin oleh Sarwo Edhie Wibowo dengan tujuan operasi untuk persiapan penyelenggaraan ’Pepera’. 5) Operasi Pamungkas, Operasi ini dilakukan antara 1970 – 1974 dengan dipimpin oleh Brigjen Acub Zainal. Tidak diketahui tujuan operasinya. 6) Operasi Kikis, Operasi ini dilakukan pada 1977 hingga 1978 dan dipimpin oleh Jenderal Imam Munandar dengan tujuan operasi di sepanjang perbatasan RI-PNG. 7) Operasi Sapu Bersih, Operasi ini dilakukan pada tahun 1978 – 1982, dipimpin oleh Jenderal C.I Santoso dengan tujuan operasi untuk mengejar OPM di Biak dan penjagaan perbatasan RI-PNG. 8) Operasi Sate, Dilakukan pada tahun 1984, dipimpin oleh R.K. Sembiring Meliala. Tujuan operasi di Jayapura dan perbatasan RI-PNG. Operasi ini mengakibatkan puluhan ribu orang Papua mengungsi ke PNG. 9) Operasi Galak I, dilakukan pada 1985-1986 dengan dipimpin oleh Mayjen Simanjuntak 10) Operasi Galak II, dilakukan pada 1986 – 1987, dipimpin oleh Setiana. 11) Operasi Kasuari I dan II, dilakukan pada tahun 1987-1989, dipimpin oleh Wismoyo Arismunandar. 12) Operasi Rajawali I dan II, dilakukan pada 1989-1991, dipimpin oleh Abinowo. 13) Operasi pengamanan daerah rawan, dilakukan pada 1998 – 1999, dipimpin oleh Amir Sembiring. (Suara Papua, 12 Desember 2019)

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Di bawah tekanan yang begitu keras hanya ada satu jalan yakni ungkapan melalui jalan seni. Para seniman yang berusaha menyuburkan kembali nasionalisme Orang Papua (kepapuaan) melalui jalan seni namun juga menjadi korban. Misalnya Arnold Ap yang ditembak mati. Eddy Mofu yang meninggal dalam pelarian. Banyak juga group musik dibubarkan semasa itu (dekade 1980an). Sebut saja Mambesak, Apuse, Tune Mana, dst untuk lagu Rakyat (folk) dan Black Brothers untuk Band yang paling populer pada zaman itu (hingga saat ini untuk beberapa kalangan) menjadi korban pembubaran. Pemimpin Apuse Chris Padwa (1984) pimpinan dituding dengan lagu “Irian Sup Mambesak” (Aditjondro, 2000). Pimpinan Tune Mana (1985) dituding menyanyikan lagu perjuangan karena satu kata dalam rekaman mereka, yakni ‘kaipapuangga’ yang terdengar seakan terpisah menjadi ‘kai-Papua-ngga’, yang kenyataannya merupakan lagu rohani. Semua ini adalah proses antitesis yang dilakukan dalam rangka pengindonesiaan.

Namun, nasionalisme Papua (kepapuaan) tidak padam. Puncaknya dapat dilihat melalui kebangkitan orang Papua selama tahun 1998 melalui aksi pengibaran bendera di beberapa tempat, yakni Jayapura (1 Juli), Wamena (7 Juli), Manokwari (2 Oktober), Sorong, Yapen Waropen, Fak-fak, Mimika, Nabire, Paniai, Puncak Jaya, Merauke, dan Jakarta (20 Juli) oleh Mahasiswa Papua melalui AMP (Aliansi Mahasiswa Papua). Kebangkitan ini berlanjut pada peristiwa Biak Berdarah di mana terjadi penangkapan terhadap Filep Karma seorang tokoh pengibar bendera Bintang Kejora pada Juli dan operasi militer yang memakan banyak korban nyawa oleh militer Indonesia, kita kenal dengan peristiwa nama Biak Berdarah. Ini adalah bentuk tuntutan Orang Papua untuk kemerdekaan, kebebasan dan keadilan atas kebrutalan yang dilakukan atas nama Nasionalisme Indonesia melalui berbagai operasi militer tersebut di atas.

Bersambung….

)* Penulis adalah Pengangguran yang sedang berdomisili di Sorong

Artikel sebelumnyaCovid-19 Papua 15 April, 75 Positif, 53 Dirawat, 7 Meninggal dan 15 Sembuh
Artikel berikutnya30 Anggota DPRD Jayawijaya Siap Salurkan Beras ke Semua Dapil