Tesis Baru: Kebangkitan Nasionalisme Papua (Bagian 2/Habis)

0
1869

Oleh Bernadetha Rumwaropen)*

Sebelum membaca tulisan bagian ke dua ini, bagian pertama dapat anda baca di sini: Melihat Papua dari Kacamata Dialektika (Bagian 1)

Kebangkitan Nasionalisme Papua (Kepapuaan)

Kebangkitan nasionalisme Papua yang terealisasi melalui terbentuknya Foreri dan beberapa gerakan reformasi lainnya. Beberapa gerakan reformasi itu, yakni 1) serangkaian demonstrasi pelanggaran HAM, 2) demonstrasi status politik Papua, 3) Pembentukan Foreri, 4) Pembentukan tim pencari fakta oleh DPR RI, 5) Deklarasi Kebangkitan Papua 6) ,Dialog antara Rakyat Papua dan Presiden BJ Habibie (26 Februari 1999), 7) Pelaksanaan Mubes Rakyat Papua (23-26 Februari 2000) dan 8) Kongres Rakyat Papua (29 Mei-4 Juni 2000). 

Anti-Tesis : Integrasi Indonesia dengan berbagai Operasi Militer

ads

Untuk menanggapi itu semua, Indonesia melakukan beberapa hal yang mengarah kepada tuntutan referendum. Salah satunya dengan melalui tim pencari fakta oleh DPR RI. Hal ini dapat dilihat ketika Abdul Gafur (petinggi Golkar) sedang berbicara secarah langsung diinterupsi oleh Teys dan dengan tegas mengatakan untuk menolak otonomi (Alua, 2000:20)

Pemerintah Indonesia mengeluarkan Tap MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN yang berisi tentang pemberian otonomi khusus yang akan diatur oleh undang-undang. Kemudian, Presiden Gusdur dengan mengganti nama menjadi Papua sekaligus meminta maaf atas pelanggaran HAM. Selain itu, memberikan izin mengibarkan bendera bintang kejora di seluruh Papua (Pekey, 2018:20).

Tidak berhenti disini saja, NKRI melakukan Operasi Militer lagi dengan ‘menanggalkan’ maaf Gusdur, yakni Operasi Pengendalian pengibaran, dilakukan pada 1999-2002 Pengendalian Pengibaran Bintang Kejora, dipimpin oleh Mahidin Simbolon (Suara Papua, 12 Desember 2019), 2) Operasi Penyisiran di Wamena, dilakukan pada 2002 – 2004, dipimpin oleh Nurdin Zaenal, serta 3) Operasi Pengkondisian Wilayah dan Pengembangan Jaringan Komunikasi tahun 2000-2001 dengan tujuannya agar pemerintahannya berjalan kembali (Pekey, 2018:20).

Sintesis II, pengindonesiaan dalam Otonomi Khusus

Pergolakan ini, menghasilkan tindakan yang lebih melalui pendirian Foreri (Forum Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya) pada 24 Juli 1998. Mereka mengeluarkan 9 pernyataan Sikap. Hal itu ditanggapi oleh Pemerintah Indonesia secara berbeda dan sepihak dengan memberikan Otsus yang merupakan sintesis baru lagi. Berdasarkan berbagai kekangan, dengan Otsus diharapkan orang Papua mampu menentukan dirinya sendiri yang deterministik dalam kebijakan tertentu.

Pada tanggal 6 Desember 2001, Pemerintah dan DPR RI menetapkan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Sejak itu, Otsus menjadi daya tawar yang baik bagi Pemerintah Indonesia kepada Orang Papua. Untuk menghilangkan jejak perjuangan itu, tokoh-tokoh yang penting dalam perjalanan sejarah mati secara misterius. Tidak berhenti di situ, Operasi Militer masih berlanjut hingga saat ini.

Tesis III, Kemunculan Organisasi Aktivis

Pada tahun 2001, muncul sebuah gerakan Mahasiswa, yakni SONAMAPA (Solidaritas Nasional Mahasiswa Pemuda Papua) dan gerakan-gerakan lainnya kemudian. Puncaknya berbagai organisasi gerakan seperti AMP, Parlemen Jalanan (Parjal), FNMP, UKM Dehaling Uncen, FPMDPB, juga SONAMAPA membentuk Front Pepera (Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat) yang kemudian melakukan aksi pada 16 Maret 2006 (Ngelia, 2019).

Otsus telah gagal. Pada tahun 2005, Orang Papua bersama MRP mengevaluasi Otsus dan hasilnya Otsus dinyatakan gagal, sehingga dikeluarkanlah pernyataan pengembalian Otsus kepada NKRI (dalam hal ini Pemerintah Pusat). Namun, hal itu tidak ditanggapi oleh Pemerintah Pusat dengan serius. Oleh karena itu, pada tanggal 16-19 Oktober 2011, Orang Papua menyelenggarakan Kongres Papua II di Abepura, yang langsung mendeklarasikan pendirian Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) dengan struktur presiden dan perdana menterinya. Peristiwa itu (Kongres II), langsung ditanggapi dengan penembakan terhadap peserta kongres yang memakan korban 3 orang dan 6 orang pimpinan kongres ditahan, diproses hukum dan dipenjara.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Selain itu Orang Papua juga membentuk WPNCL pada tahun 2008. Kemudian, pembentukan kembali Komite Nasional Papua (1961) menjadi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) pada tahun 2009. Upaya lainnya adalah membentuk PNWP, WPNCL, hingga ULMWP. Di luar Papua, AMP terus berjaya untuk menyuarakan pelanggaran HAM, menuntut keadilan atas manipulasi sejarah sejak PEPERA hingga pemberian Otsus (yang gagal).

TPNPB pun terus berjaya di belantara Papua sejak awal terbentuknya Papua Barat, mereka adalah puncak Pertahanan Nasionalisme Papua, sebagaimana seorang Militer sebagai Pertahanan Nasional (sejatinya) yang memiliki nilai nasionalis yang tinggi di berbagai negara. Namun ruang kerja mereka berbeda dengan beberapa yang telah diuraikan. Berbagai Operasi Militer melibatkan mereka, namun kebijakan Sosial Politik mengarah kepada organ-organ yang lainnya. Proses tesis-antitesis terjadi pada warga sipil. Akibatnya, di rana keamanan, terkadang merekalah yang menghadapi. Tidak dimungkiri bahwa, warga sipil menjadi sasaran oleh TNI.

Berbagai pergolakan terus terjadi secara dingin. Hingga hadir pembicaraan mengenai dialog melalui Jaringan Damai Papua (JDP) yang dibentuk Januari 2010. Bekerja sama dengan LIPI, merumuskan suatu konsep dialog yang akan mempertemukan kedua belah pihak, Orang Papua dan Pemerintah Pusat, demi penyelesaian perselisihan. Mereka hanya sebagai pemberi ruang. Namun, tidak berlangsung lama, menjadi redup karena tidak ada tanggapan serius.

Kasus Rasisme menjadi “tombol power” untuk meluapkan Nasionalisme Papua yang telah terbendung karena berbagai penekanan negatif (memoria passionis) sepanjang sejarah, terutama generasi Milenial Papua. Tidak berhenti di situ, kata “monyet” menjadi suatu semangat nasionalisme yang didasari oleh pandangan rasa kemanusiaan. Dibalik, upaya brutal keamanan, Orang Papua masih menyempatkan diri untuk lebih humanis menghadapi kebiadaban itu. Walaupun ada oknum tertentu yang bertindak brutal tetapi, selalu ada sebabnya di belakang. Hal itu, berbeda dengan tindakan Pemerintah Indonesia atas nama NKRI yang merupakan simbol abstrak.

Anti-tesis III, pengabaian JDP, Pemekaran, Menteri, hingga Wamen dan Staf Khusus Presiden

Terbentuknya organ-organ yang menyatu di dalam Front Pepera, pada awalnya dibubarkan dengan aksi yang menimbulkan peristiwa AB Berdarah[1]. Aksi itu berhasil dipecahkan dengan penciptaan konflik yang kemudian menjadi bentrokan dan akhirnya menjadi konflik berdarah. Tidak berhenti di situ, perpecahan itu masuk hingga tubuh gerakan dengan adanya pembedaan gunung vs pantai yang akhirnya membuat beberapa gerakan tidak aktif lagi, salah satunya adalah FNMPP (Ngelia, 2019).

Di luar Papua, Mahasiswa Papua melalui berbagai organisasi jatuh bangun untuk menyuburkan kepapuaan. Mereka sebagai Alarm bagi Orang Papua yang sedang tertidur di dalam ruang perpolitikan keindonesiaan. Berbagai aksi kekerasan mereka alami. Mulai dari Pembubaran diskusi hingga Pengepungan Asrama (tahun 2016 di Jogja dan 2019 di Surabaya). Begitu banyak hal yang dialami oleh mereka. Namun yang lebih terlihat untuk melakukan kompromi secara publik adalah JDP. Namun digagalkan!

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Selain kematian tokoh-tokoh penting dalam perjuangan Papua, dari Teys (11 November 2001)[2], Agus Alua (7 Maret 2011)[3], P. Nato Gobai (1 Februari 2015)[4], dst secara misterius, kematian tokoh JDP dapat dilihat juga sebagai upaya antitesis dari untuk mengaburkan ingatan akan pergolakan sejarah yang telah berjalan. Pada, 7 Maret 2014, Muridan yang menjabat sebagai koordinator JDP meninggal dunia dengan penyakit komplikasi (Tempo, 7 Maret 2014). Lima tahun kemudian, disusul pula dengan kematian koordinator berikutnya, yakni Pastor Neles Tebay, Pr., pada bulan yang sama namun tahun dan tanggal yang berbeda, pada tanggal 14 Maret 2019 (Jubi, 14 April 2019). Ada semacam upaya baru setelah melihat pengalaman protes atas kematian Teys. Salah satunya Nato dan Alua yang mati secara tiba-tiba di rumahnya sendiri. Namun, berbeda pula dengan yang terjadi pada P. Neles Tebay, terlihat lebih sulit untuk diungkap.

Pemerintah Pusat juga tidak ada habisnya untuk memunculkan antitesis baru. Yakni dengan menawarkan jabatan Menteri di Pusat dan pemekaran-pemekaran baru di Papua. Padahal, hal itu, bertentangan dengan UU Otsus. Pasca kasus rasisme (terhadap Mahasiswa Papua Surabaya 2019), pemerintah menawarkan 5 provinsi baru melalui “tokoh-tokoh abal-abal”[5] yang dibentuk BIN[6], rupanya mereka mengabaikan UU Otsus yang mengatur bahwa pembentukan provinsi harus melalui persetujuan DPR dan MRP. Itulah jalan kompromi mereka (pengindonesiaan). Kemudian, berkurang menjadi tawaran pemekaran provinsi Papua Selatan dan provinsi Papua Tengah[7], dan Pada akhirnya diputuskan akan diberikan pemekaran provinsi Papua Tengah walaupun tidak melalui prosedur Otsus[8]. Walaupun terlihat kebijakan kegagapan, namun itulah yang mereka laklukan demi menenangkan “singa yang telah bangun” dari tidur yang panjang (sejak tahun 2005 sampai 2019).

Operasi Militer tidak berhenti di sana, berlanjut terus. Sejak Desember 2018 di beberapa kabupaten, seperti Nduga, kemudian 2019 di Puncak Papua, Deiyai, Jayapura, Wamena, Fakfak, dalam menghadapi demo rasisme. Hingga kini tahun 2020, masih dilakukan Operasi Militer di Nduga dan Intan Jaya, di (akan) Timika dan Pegunungan Bintang. Itulah upaya NKRI untuk merontokkan Nasionalisme Papua yang sejak dahulu tidak berubah hingga di abad yang beradab ini.

Ada pula upaya penyelesaian dengan menggunakan kata Papua. Presiden pun merekrut tokoh Orang Papua untuk melakukan mediasi “asal-asalan” melalui 70 tokoh Papua “abal-abal”. Namun, hal itu berhasil dibendung melalui wacana media sosial oleh tokoh-tokoh Papua yang bukan “abal-abal”. Tetapi, pemerintah terus mencari gagasan (tesis) baru. Akhirnya, mereka hadir melalui Kapolda di Papua[9] dan di daerah lain[10], Wamen PUPR[11], dan juga Staf Khusus Presiden[12] yang terasa dekat dengan bagian dari Negara.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Berbagai iven pun dilakukan di Papua. Hal itu, melalui pembangunan Gedung Olahraga bertaraf Internasional di Jayapura yang akan direncanakan melakukan PON pada September 2020 mendatang. Iven ini baik untuk menunjukan integrasi Indonesia kepada dunia luar bahwa Papua adalah bagian darinya. Yang jelas tindakan ini tidak mempengaruhi Nasionalisme Papua yang tumbuh terus. Kemungkinan, akan berdampak kepada persiapan akan berakhirnya Otsus pada 2021 nanti. 

Apa (sintesis) selanjutnya?

Dari pembahasan ini, sepintas dapat kita lihat bahwa, antitesis yang dilakukan oleh Indonesia tidak pernah berubah. Tidak jauh dari Operasi Militer, memanipulasi Kebijakan, pengontradiksian opini publik, yang berdampak kepada konflik internal. Operasi Militer, pembubaran paksa unjuk rasa dan diskusi, sebagai suatu antitesis yang terlihat di atas. Namun, manipulasi/penipuan kebijakan, dan kontradiksi opini, adalah suatu tindakan diam.

Tahun 2021, Otsus akan berakhir. Sebagai sintesis baru yang III, Pemerintah pusat terus menawarkan untuk memperpanjang Otsus dengan syarat atau melalui RUU Otsus. Itu sama saja dengan memperpanjang sintesis ke-II, yang artinya tidak menghasilkan sintesis baru yang diluar dari otsus. Bila kita mengamati sejak awal, kebijakan pemerintah selalu lebih awal dan lebih kuat memenangkan opini publik dengan melahirkan kebijakan-kebijakan baru. Namun, saat ini rakyat papua belum mengambil suatu kebijakan umum yang sebagaimana pernah terjadi pada tahun 1998 hingga 2001. Terutama dengan melakukan mubes, kongres, atau pun deklarasi. Dengan adanya kegiatan ini, dalam hal kebijakan politik antitesis yang selalu menang. Walaupun berbagai organ telah terbentuk namun belum ada pembahasan secara khusus. Hal ini menunjukan tesis dalam hal kebijakan belum menyiapkan diri secara terbuka.

Hal yang sama juga telah dimulai. Yang paling nampak adalah menyibukkan orang Papua dalam PON 2020 yang akan dilaksanakan. Yang berikut adalah tawaran-tawaran yang berkaitan dengan Freeport. Misalnya yang terlihat adalah penunjukan orang Papua di Direksi Freeport (CNBC, 17 Februari 2020)[13]. Tidak jauh dari kebiasaan, permainan opini publik. Tujuannya agar menimbulkan ‘kesadaran palsu’ bahwa orang Papua diperhatikan. Selain itu juga yang terlihat juga adalah langsung dari Stafsus membuat kebijakan ekonomi digital yang targetnya adalah Milenial Papua. Dan begitu banyak hal yang akan dilakukan untuk mengaburkan kepapuaan.

Oleh karena itu, pertanyaan ini perlu direnungkan oleh berbagai kalangan orang Papua. Apa tesisnya? dan untuk berwaspada apa  antitesis yang sedang akan dibuat? Dan yang paling penting adalah apa sintesisnya yang diharapkan orang Papua di luar dari Otsus maupun RUU Otsus? Semoga menjadi renungan bagi Bangsa Papua untuk memperjuangkan kepapuaannya kembali seeperti semula. Terlebih urgent lagi adalah melepas diri dari penindasan yang akan berimbas pada kepunahan bangsa (genosida) jika diabaikan.

)* Penulis adalah Pengangguran yang sedang berdomisili di Sorong

Referensi

[1] https://suarapapua.com/2020/03/16/uncen-berdarah-16-maret-2006/

[2] https://suarapapua.com/2014/11/11/melawan-lupa-penculikan-dan-pembunuhan-theys-h-eluay-oleh-kopassus-bermotif-politik-bagian-ii/

[3] https://regional.kompas.com/read/2011/04/08/19322075/kematian.agus.alue.dinilai.tak.wajar

[4] https://suarapapua.com/2015/05/20/pater-nato-gobay-wafat-duka-bagi-umat-dan-pekerja-ham-di-tanah-papua/

[5] https://nasional.kompas.com/read/2019/09/10/12224861/bertemu-jokowi-di-istana-tokoh-tokoh-papua-ajukan-9-permintaan

[6] https://tirto.id/kontroversi-61-tokoh-papua-bentukan-bin-yang-dialog-dengan-jokowi-eifn

[7] https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01324013/pemekaran-papua-selatan-dan-tengah-ini-penjelasan-presiden-jokowi

[8] https://regional.kompas.com/read/2019/11/07/11194471/sekda-papua-tegaskan-pemekaran-provinsi-harus-sesuai-uu-otsus

[9] https://rmol.id/read/2019/09/27/404511/putra-papua-kembali-dipercaya-memimpin-polda-papua

[10] https://kabarpapua.co/pertama-kalinya-putra-asli-papua-jadi-kapolda-sumatera-utara/

[11] https://www.pu.go.id/berita/view/17583/wakil-menteri-pupr-putera-asli-papua-ditugaskan-untuk-mengawal-pembangunan-infrastruktur-wilayah-indonesia-timur

[12] https://www.tagar.id/gracia-billy-milenial-papua-staf-khusus-jokowi

[13] https://www.cnbcindonesia.com/news/20200219150426-8-139044/cerita-putra-papua-yang-ditunjuk-erick-jadi-direksi-freeport

Artikel sebelumnyaVictor Yeimo: Polda Papua Stop Kriminalisasi KNPB
Artikel berikutnyaTiga Orang OTG Covid-19 di Pegunungan Bintang