Lamban Cegah Covid-19

0
1851

KENYATAAN memilukan harus dihadapi seluruh rakyat Indonesia ketika ancaman Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) sulit ditanggulangi. Dari awal pemerintah pusat terkesan adem ayem terhadap wabah virus mematikan ini. Bergerak setelah sudah ada korban. Ironis!.

Seharusnya dari awal pemerintah sigap dengan tanpa menunggu korban berjatuhan. Sebab, Indonesia termasuk salah satu negara dengan laju epidemi yang amat signifikan. Terutama selama dua bulan sejak Januari 2020 lalu.

Di Indonesia, virus ini terkuak setelah 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo umumkan dua pasien positif Covid-19. Dua pekan kemudian, tepatnya 14 Maret, 96 kasus positif Covid-19. Empat diantaranya meninggal dunia, dan delapan lainnya dinyatakan sembuh. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, salah satu diantaranya.

Dalam sebulan terakhir jumlah kasus terus bertambah tiap hari. Tingkat penyebarannya kian meluas dan masif. Hanya provinsi Gorontalo yang dikabarkan “bersih”. Sedangkan provinsi lain sudah tak luput dari pandemi Covid-19.

Jika demikian faktanya, penilaian Australia terhadap Indonesia bisa dibenarkan. Negara ini dikategorikan sangat rawan dengan penyebaran pandemi Covid-19. Australia bahkan ragukan Indonesia dengan deteksi Covid-19. Keraguannya tanpa tendensi tertentu. Itu murni fakta, karena Australia menilai adanya underdetection case setelah salah satu warganya menderita Covid-19 usai bepergian ke Indonesia.

ads

Selain dugaan tadi, kita tahu Indonesia memilih jumlah penduduk terbanyak keempat dunia. Para pakar Epidemiologi sudah tegaskan bahwa tidak ada negara yang bisa luput dari serangan Covid-19.

Berbagai sumber menyebutkan virus ini akan mengalami puncak pada 60-80 hari setelah adanya konfirmasi kasus atau sejak diumumkan kasus pertama. China sendiri sukses melewati masa puncak yang ditandai penurunan jumlah pasien baru positif Covid-19. Dari awalnya 2000-an pasien baru per hari hingga kurang dari 10 pasien baru per hari.

Tentu saja ini karena kerja keras pemerintah China dengan berbagai upayanya. Mulai dari pemberlakuan lockdown daerah kasus terkonfirmasi, pembangunan rumah sakit darurat dalam waktu singkat, termasuk di dalamnya fasilitas kesehatan meliputi alat pelindung diri (APD), ventilator, dan lain sebagainya.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Hebatnya lagi, selama masa isolasi atau karantina, pemerintah China mampu menjamin ketersediaan pangan bagi warga negaranya.

Ini yang tidak dilakukan pemerintah Indonesia. Tidak ada kebijakan ekstrim dari pemerintah. Padahal, sudah jelas-jelas negara ini sangat minim fasilitas medis. Resikonya, sudah terbukti dalam sebulan sejak kasus pertama diumumkan, virus Corona melejit ke seantero Nusantara.

Intinya karena tiada intervensi untuk sesegera mungkin mencegah mewabahnya virus ini. Pemerintah dibawah kepemimpinan Joko Widodo-Ma’ruf Amin tampaknya masih santai meski ada upaya tertentu dalam menghadapi jahatnya Covid-19.

Anehnya, beberapa menteri suka “bicara sembarang” sampai ancam Gubernur Papua Lukas Enembe mencabut surat kesepakatan bersama para bupati dan walikota serta Forkopimda dan berbagai pihak terkait yang dibuat dalam pertemuan di Gedung Negara, Dok V Atas, Kota Jayapura, Selasa, 24 Maret 2020. Beberapa hal penting diambil dan dituangkan dalam surat kesepakatan dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19 di provinsi Papua.

Harap dipahami baik, tegas Gubernur Lukas Enembe, kesepakatan bersama itu bukan lockdown, tetapi bagian dari pembatasan sosial.

Kebijakan ini sejatinya sangat baik untuk menangkal masuknya virus Corona ke Papua melalui kedatangan orang-orang dari daerah terkonfirmasi Covid-19. Tetapi, pemerintah pusat sepertinya tidak mau ini diberlakukan pemerintah daerah di Tanah Papua.

Papua bertanya, mengapa Jakarta bersikap demikian?. Apa maksud menteri desak pemerintah daerah batalkan surat kesepakatan bersama?. Dan masih banyak pertanyaan lagi yang pada intinya mempersoalkan itikad pemerintah pusat.

Upaya pencegahan mesti dilakukan pemerintah. Dan, pemerintah di provinsi Papua telah memulainya mengingat sudah teridentifikasi Orang Dalam Pemantauan (ODP), bahkan Pasien Dalam Pengawasan (PDP).

Kebijakan ini patut diapresiasi karena bagian dari upaya mengantisipasi lonjakan kasus virus Corona. Kita simak pendapat dari dr. Eka Fatem, dosen pada Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih (FK Uncen) Jayapura. “Masa puncak Covid-19 di Indonesia, diperkirakan akan terjadi pada Mei 2020, dimana jika tidak dilakukan antisipasi dini, maka diprediksi akan ada 4.000 kasus baru per harinya,” tulis dokter Eka dalam artikelnya.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Lantas, bagaimana dengan kita di Tanah Papua?. Apakah kita siap melalui puncak wabah Covid-19?. Menurut dokter Eka, karena belum ada pengobatan definitif untuk infeksi Covid-19, kita harus melakukan pencegahan dini secara maksimal, antara lain dengan rajin mencuci tangan secara berkala, menjaga imunitas tubuh dengan makanan bergizi, berolahraga dan tidur yang cukup, tidak bersalaman, jaga jarak, dan sebagainya.

Upaya pencegahan dini dari setiap orang memang sangat perlu dilakukan. Termasuk karantina mandiri atau isolasi di rumah sendiri. Tidak banyak berharap ke pemerintah.

Pemerintah pusat seharusnya mengambil kebijakan nyata untuk memperlambat penyebarannya. Opsi ekstrim mestinya segera diambil. Antara lain tidak izinkan maskapai penerbangan beroperasi, termasuk kapal laut melayari lautan nusantara, juga transportasi darat antar daerah.

Kita bersyukur, pemerintah daerah di provinsi Papua mengambil kesepakatan bersama dalam rangka mencegah penyebaran pandemi Covid-19. Beberapa poin ditetapkan bersama. Semua tanda tangan. Baik Gubernur, para Bupati dan Wali Kota, Forkopimda dan para pihak terkait lainnya.

“Penutupan penerbangan dan pelayaran kapal penumpang di pintu-pintu masuk wilayah Papua, yaitu Bandar Udara, Pelabuhan Laut dan Pos Lintas Batas Darat Negara (PBLN)”. Itu bunyi salah satu poin dari kesepakatan bersama. Larangan akses transportasi itu berlaku sejak 26 Maret 2020 hingga 9 April 2020.

Pemerintah Indonesia di Jakarta kebakaran jenggot. Beberapa menteri angkat bicara, bahkan minta batalkan surat kesepakatan bersama ini. Suara bernada ancaman itu mengejutkan semua orang yang tinggal dan hidup di atas Tanah Papua.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Salahnya apa?. Apakah salah prosedur?. Apakah melangkahi kewenangan pemerintah pusat?. Jika itu, seharusnya diarahkan, bukan desak batalkan kebijakan menyelamatkan banyak rakyat Indonesia di Tanah Papua.

Di saat bersamaan kini kasus terkonfirmasi di Papua terus bertambah. Banyak pasien dengan komplikasi Pneumonia yang membutuhkan ventilator. Sementara ketersediaan ventilator di rumah sakit belum cukup memadai untuk menghadapi Covid-19.

Belum lagi jika anak-anak yang menjadi korban. Ini jelas akan menyulitkan. Sebab, menurut dokter Eka, kita di Papua belum siap untuk menghadapi wabah ini dengan segala keterbatasan.

Karena itulah pemerintah daerah baik Provinsi Papua maupun Kabupaten/Kota memikirkan opsi isolasi atau karantina mandiri selama dua pekan. Ini solusi terbaik di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan di Tanah Papua. Tentu sambil terus menerus mengingatkan masyarakat akan ancaman virus Corona. Dengan perbanyak kegiatan sosialisasi melalui selebaran, dan sejenis lainnya.

Upaya ini dilakukan tanpa harus menunggu Jakarta. Ini darurat! Tidak bisa ditunda untuk menghadapi situasi genting yang tidak pernah diduga sebelumnya.

Lantaran telatnya kebijakan pemerintah pusat, resiko fatal sudah terjadi di negeri emas ini. Lihat buktinya hingga kemarin, Jumat (24/4/2020) sore, sesuai data resmi Gugus Tugas Covid-19 Provinsi Papua, total 137 kasus positif Covid-19. Pasien yang sedang dirawat 92 orang, 38 orang sembuh, dan tujuh lainnya meninggal. Kasus kematian terakhir 10 April 2020. Sementara, jumlah ODP di Papua sebanyak 3.855 orang, dan 184 PDP.

Data secara nasional pada Jumat (24/4/2020) kemarin, tercatat 8.211 kasus. Dirawat 6.520 orang, pasien sembuh 1.002 orang. Sedangkan 689 pasien Covid-19 meninggal dunia sejak pertama kali diumumkan 2 Maret 2020.

Inilah akibat berjayanya makhluk buta mata hati yang lamban responsif terhadap virus paling jahat di seluruh dunia ini. ***

Artikel sebelumnyaMambesak: Membangun Nasionalisme dan Identitas Papua
Artikel berikutnyaPemkab Maybrat Didesak Bantu Mahasiswa di Jogja