Oleh: Devi)*
Ini sedikit sambungan dari tulisan saya “NKRI Mati Harga, Baru Papua Apa Kabar” karena ternyata dalam tulisan itu masih ada sedikit yang ingin saya jelaskan lagi tetapi kemarin terlewat. Tidak perlu ya ada yang iseng bertanya Belanda dengan Indonesia baik mana terhadap Papua. Jawabannya jelas, Indonesia dulu bisa merdeka karena pendiri-pendiri negaranya makan pendidikan Belanda. Dulu sedikit saja yang bisa tembus sekolah Belanda apalagi sekolah di Belanda pada zaman itu tapi toh nyatanya yang sedikit itu tidak diteriaki “Mony**!” ketika sekolah di sana, dan yang sedikit itu bisa mengorganisir perhimpunan yang mendorong kemerdekaan Indonesia. Tidak percaya? Tanya sendiri pada Bung Hatta sana! Orang Ambon, Kei, Kupang, Papua yang pernah mendapat pendidikan Belanda hingga sekarang, kualitas hidupnya berbeda dengan yang mendapat pendidikan SD Inpres. Coba tanya sendiri oma-opa, mama-bapa, deng tanta-oom masing-masing! Kapan-kapan sa akan cerita juga soal ini, tapi tidak sekarang.
Omong-omong, tautan tentang kisah Pengungsi Tim-Tim ada di sini 4.115 Eks Pejuang Timor-Timur Ancam Kembali ke Timor Leste. Sedangkan laporan tentang pembangunan geothermal di kabupaten yang ada binatang komodo ada di sini Ruang Hidup Orang Wae Sano Terancam Proyek Panas Bumi dan cuplikan videonya di sini Proyek Geothermal Wae Sano selain ini bisa dicari juga yang sejenis.
Tentang Tim-Tim, saya sudah cerita keadaan di perbatasan itu, yang hingga sekarang, 5 tahun kemudian, keadaan tetap tidak berubah. Otobis reot sarat muatan penumpang dan barang harus 4x masuk sungai karena tidak ada jembatan dan sopir harus lihai memegang setir kalau tidak mau terbawa arus, jadi sopir otobis di situ hanya orang-orang yang berpengalaman tiap hari bertaruh keselamatan. Bukan hanya otobis, sepeda motor juga harus masuk kali. Artinya, kalau musim hujan besar seperti Januari-Februari transportasi putus karena sungai banjir. Untuk masuk ke tempat itu harus penuh perjuangan. Padahal di balik gunung itu rakyat Timor Leste sedang bersyukur karena mereka lepas dari Indonesia dan mengalami hidup yang lebih baik. Sekarang saja orang-orang Kupang, ibukota provinsi NTT, tiap akhir pekan melihat mobil-mobil hilux & Strada dari Timor-Leste datang belanja di Kupang. Dengan dong pu nilai tukar USD yang OK punya, jelas belanja di Indonesia terasa sangat murah-meriah.
Tentang pembangunan geothermal saya sudah bertanya langsung beberapa orang via telepon dan mereka membenarkan adanya kasus itu, yang sekarang sedang hangat diperbincangkan karena sempat heboh seorang camat mengatakan warga setempat bodok. Padahal, bagi kita jelas bahwa yang bodok itu pejabat pemda, mengapa bisa mendukung proyek yang akan menghancurkan lingkungan dan menyengsarakan warganya sendiri. Itu bukan lahan kosong! Energi panas buminya besar itu besar, malah mungkin cukup untuk membangkitkan listrik se-Flores, namun cukup pula untuk membangkitkan kemarahan para pemilik lahan yang tidak mau digusur. Ya siapa yang mau mendapat kompensasi yang akan habis sehari bila dibandingkan lahan subur mereka yang kaya akan vanili, mente, kopi, dan padi? Lahan yang cukup menghidupi keturunan mereka hingga 10 generasi lagi?
Pejabat pemda maupun warga di pinggir danau sama-sama orang Manggarai, sama-sama berbahasa Manggarai, sama-sama Katolik, sama-sama punya kampung asal-muasal sebab tidak ada orang Manggarai yang tiba-tiba jadi orang asli kota Labuan Bajo sana. Baru, bedanya di mana? Perbedaannya ada pada akal sehat dan kewarasan, pada ingatan akan pesan leluhur, dan pada mata yang jadi hijau karena lihat uang.
Saya jadi ingat perkataan ini: “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mammon!” Kalau orang ingat Allah, otomatis dia pasti mengusahakan kebaikan dunia dan sesama manusia. Nah, kalau sudah dirasuki Mammon Dan keserakahan, biar hari-hari sembayang juga tetap sibuk merampas dan menindas. Terbukti toh Mammon membuat orang jadi tidak bisa melihat sesamanya sebagai sesama manusia? Mammon membuat orang jadi gelap mata dan melihat sesama manusia hanya sebagai sesuatu yang bisa dieksploitasi untuk keuntungannya sendiri. Dari 3000 tahun lalu zaman Nabi Yesaya, kejahatan demikian sudah menjadi sumber kemurkaan Allah.
Ketika saya bercerita pada teman tentang geothermal itu, dia malah balik menceritakan kisah sedihnya terpaksa bekerja di tambang di Sulawesi Tengah. Perusahaan memperkerjakan 43 ribu orang Indonesia yang tentunya hampir semua dari luar daerah itu serta 8000 orang WNA Cina. Orang asli dijanjikan akan bekerja bila mereka mau menjual lahan. Setelah mereka bekerja sebagai satpam, dengan sengaja dibuat segala sesuatu supaya tidak betah lalu dipecat. Perusahaan berbuat seenaknya pada pekerja, bahkan yang sakit pun upahnya dipotong. Belum lagi soal gaji dan fasilitas yang hanya begitu saja lalu harus tinggal, hidup, dan bekerja di lingkungan yang tercemari limbah dan gas berbahaya buangan perusahaan sendiri. Para transmigran, merasa lahan itu milik mereka, mereka berlaku seolah-olah mereka pemilik. Selain itu para transmigran memanfaatkan banjirnya pendatang dengan membuat kos-kosan dan toko-toko serta kepala desa meminta tarif mahal until pengurusan surat-surat bagi pekerja luar.
Lagi-lagi cerita itu mengingatkan saya kembali pada kisah Papua. Di kota-kota Papua juga pemilik kos-kosan dan toko-toko kebanyakan bukan punya OAP [Orang Asli Papua]. Itu fakta. Yang punya tanah siapa yang menguasai siapa.
Dalam tulisan ini saya tidak ingin berkelahi dengan pemilik kos-kosan, dengan pemilik toko, dengan orang-orang yang mungkin sudah beberapa generasi juga tinggal di situ. Ini hanya cerita saja karena saya jadi ingat tentang pengalaman di kampung. Seorang satpam perusahaan, OAP yang juga anggota pemilik hak ulayat ,dipecat karena menuntut haknya sebagai PHU. Lain kali saja saya mendongeng tentang oom satpam ini karena alur ceritanya panjang dan menyebalkan. Bukankah semua yang tidak adil memang menyebalkan?
Kisah itu menjadi tidak ada apa-apanya bila dibandingkan kasus penyerangan aparat yang membuat penduduk kampung di Ayfat mengungsi ke hutan-hutan, atau kasus penganiayaan tuan kebun oleh aparat di Merauke, apalagi dibandingkan kasus Nduga. Ini fakta. Negara kaskado ini tidak bisa melindungi rakyat, apalagi melayani rakyat, sebagaimana semestinya sebuah konsep negara kesejahteraan. Di tempat-tempat yang bukan Papua saja dong buat jahat seperti itu, selama puluhan tahun, sampai semua orang terbiasa tidak bisa mengekspresikan pendapat soal politik, soal kemerdekaan, soal pelayanan negara. Akhirnya orang-orang ini hidup di Indonesia tapi sibuk menonton drama Korea sampai lebih tahu segala hal tentang Korea daripada tentang kejahatan negara di Papua.
Kalau su tau ada negara yang 75 tahun merdeka dan selama itu pula puluhan juta orang (mungkin sesungguhnya lebih dari seratus juta) hidup miskin, puluhan juta orang hanya jadi kelas menengah ngehe, puluhan juta orang hanya jadi PNS dan ASN yang menghabiskan uang negara tanpa membuat birokrasi yang cerdas dan bermanfaat untuk kemudahan hidup rakyat, puluhan juta orang kuliah jadi sarjana tapi tidak punya kepedulian pada sesama warga negara (kasus corona su jadi bukti paling gampang, ada yang sibuk menyelamatkan nyawa ada juga yang sibuk jalan ke sini ke sana), maka jangan pernah mau bergabung dengan negara macam itu. Dosa-dosa negara kaskado satu itu su terlalu banyak. Ditulis sejuta halaman juga tidak akan habis untuk dikisahkan. Sa hanya mau bilang, jang pernah ada pikiran di testa untuk pro integrasi ala-ala pengungsi Tim-Tim jaman 1999. Sesal kemudian tiada berguna. Merdeka sekarang! Merdeka Papua semuanya!
)* Penulis adalah pekerja sosial independen yang khusus bergerak dalam pengembangan masyarakat di wilayah lndonesia Timur