Evaluasi Otsus Papua: Tinjauan Bab Per Bab (Bagian II)

0
1506

Oleh: Dr. Agus Sumule)*
Dosen Universitas Papua (Unipa) Manokwari

9. Keuangan (Bab IX)

Sejak tahun 2002, pemerintah pusat telah mengucurkan dana setiap tahun dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Papua yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon DAU nasional.  Setelah Provinsi Papua Barat menjadi Provinsi Otonomi Khusus sesuai dengan UU 35/2008, maka Dana 2% tersebut dibagi antara Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sebesar 70% dan 30%.

Bagian pertama dari tulisan ini dapat anda baca di sini: Evaluasi Otsus Papua: Tinjauan Bab Per Bab (bagian I)

Selain itu, beberapa tahun kemudian Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga menerima dana infrastruktur yang besarnya diputuskan bersama antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dan DPR RI.  Dalam kaitannya dengan pertambangan minyak dan gas bumi, pemerintah Provinsi Papua Barat juga telah menerima tambahan dana bagi hasil migas.  Total dana yang telah diterima sejak tahun 2002 sampai tahun 2018 oleh kedua provinsi di Tanah Papua sehubungan dengan pelaksanaan Otonomi Khusus adalah seperti pada Tabel 3.1 berikut ini.

ads

Tabel 3.1  Jumlah alokasi dana dari pemerintah pusat dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus sampai tahun 2018

Jenis Dana Papua (Rp) Papua Barat (Rp)
Dana setara dengan 2% dari plafon DAU nasional Otsus 59.103.996.277.550 18.413.585.950
Dana bagi hasil pertambangan minyak dan gas alam 0 3.528.551.530.000
Dana tambahan Otsus untuk pembangunan infrastruktur 16.215.357.144.000 7.924.642.858.000
Total 75.319.353.421.550 29.866.779.846.950

Dengan demikian, total dana yang telah dialokasikan oleh Pemerintah Pusat kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sampai dengan tahun 2018 terkait dengan pelaksanaan Otsus Papua adalah Rp 105.186.133.268.500.

Sebagaimana tampak pada Tabel 3.1 di atas, salah satu sumber pendanaan Otsus Papua adalah pengalokasian dari pemerintah pusat yang besarnya setara dengan 2% plafon DAU nasional.  Peruntukan dana ini dan pengalokasiannya kepada pemerintah kabupaten/kota diatur dalam peraturan daerah, baik perdasus maupun pergub.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat tidak banyak mengalami perubahan yang berarti, terutama apabila diletakkan dalam konteks akan berakhirnya Dana Otsus Papua pada tahun 2021.  Perbandingan PAD terhadap total APBD sangat timpang.  Pada tahun 2017, PAD Provinsi Papua hanya 7.8% dari APBD; Provinsi Papua Barat hanya 6.6% dari APBD.  Masih ada 9 Kabupaten di Provinsi Papua dan 6 kabupaten di Provinsi Papua Barat yang PAD-nya lebih kecil dari 1% APBD.  Bandingkan dengan PAD Provinsi Aceh yang telah mencapai 15.9%. Bali 55.9% atau Jawa Barat 71% dari APBD mereka masing-masing.  Hal ini bisa terjadi karena Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat belum memanfaatkan peluang-peluang bisnis di daerah, khususnya dalam hal pengelolaan Sumber Daya Alam, untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah, misalnya melalui keterlibatan BUMD dalam pengelolaan SDA tersebut.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Hal terakhir yang perlu dikemukakan pada bagian ini adalah, bahwa kontribusi Dana Otsus bagi APBD Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah mencapai lebih dari 50%. Dana Alokasi Umum di tingkat provinsi dan kota hampir seluruhnya digunakan untuk untuk membiayai gaji dan belanja rutin pemerintah lainnya.   Artinya, berakhirnya Dana Otsus Papua pada tahun 2021 akan memiliki dampak yang sangat besar bagi penyelenggaraan pembangunan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.  Hal yang tidak kalah pentingnya adalah hingga sekarang  Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat tidak membentuk Dana Abadi sebagaimana yang diperintahkan oleh UU Otsus Papua.

10. Perekonomian (Bab X)

Secara umum, telah terjadi penurunan angka kemiskinan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sebagai akibat dari berbagai kegiatan ekonomi secara keseluruhan yang relatif berkembang.  Hanya saja, angka kemiskinan tersebut  masih jauh di atas rata-rata angka kemiskinan di tingkat nasional.  Pada tahun 2018 angka kemiskinan di Provinsi Papua adalah sebesar 27.3%; Papua Barat 22.7%, sementara di tingkat Nasional sudah berada di bawah 10%, tepatnya sebesar 9.82%.

Pemanfaatan sumber daya alam di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat selama pemberlakuan Otonomi Khusus terus meningkat.  Misalnya, di Provinsi Papua Barat telah dilakukan pembangunan train 3 LNG di kabupaten Teluk Bintuni. pembangunan pabrik semen di Manokwari, pembangunan pariwisata di Raja Ampat, perkembangan industri perikanan di Sorong, eksplorasi sejumlah perusahaan migas di Teluk Bintuni dan Fakfak, dan berbagai kegiatan lain.

Yang menjadi masalah adalah pengolahan lanjutan (pembangunan industri hilir) atas hasil yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam ini masih sangat terbatas (pasal 39).  Akibatnya, manfaat dari nilai tambah SDA di Tanah Papua masih kurang dinikmati.  Walaupun begitu, patut dilaporkan di sini tentang perkembangan di sub-sektor perikanan, khususnya dalam bentuk pembangunan industri pengalengan ikan di Kota Sorong.

UU Otsus Papua mengatur bahwa pemanfaatan sumberdaya alam seyogyanya dilakukan dengan memberikan penghormatan dan pengakuan yang memadai kepada masyarakat hukum adat sebagai pemilik sumber daya alam.  Walaupun begitu, selama hampir 20 tahun pelaksanaan Otonomi Khusus Papua, pengakuan atas hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alam masih terbatas.  Rencana pengembangan lahan-lahan pertanian modern dan perkebunan di berbagai tempat di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat masih belum mengakomodir dengan baik hak-hak masyarakat hukum adat, walaupun telah ada putusan mahkamah konsitusi atas permohonan Nomor 35 tahun 2012.  Selain itu, perekonomian berbasis kerakyatan yang melibatkan masyarakat adat dengan seluas-luasnya dalam memanfaatkan kesempatan usaha yang tersedia akibat penyelenggaraan Otsus masih terbatas.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Beberapa upaya telah diberikan oleh pemerintah pusat untuk membuka lebih banyak kesempatan kepada pengusaha asli Papua terlibat dalam proyek-proyek pemerintah.  Sayangnya, hingga saat ini sama sekali belum ada legislasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Papua maupun Pemerintah Provinsi Papua Barat untuk memberikan kesempatan pertama kepada pengusaha asli Papua melaksanakan proyek-proyek yang dibiayai oleh Dana Otsus Papua (lihat Pasal 62 ayat (2) UU Otsus Papua).

11. Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (Bab XI)

Otsus Papua diintroduksi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia agar:

  • “… integrasi bangsa dipertahankan di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya [Papua] …” (Tap MPR No. IV/MPR/1999); dan
  • “…keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua [baca: Orang Asli Papua]…” bisa dicapai, (Penjelasan UU Otsus Papua — OAP).

OAP, dalam banyak hal, identik dengan sebutan masyarakat adat Papua atau masyarakat hukum adat Papua.  Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.  Masyarakat hukum adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.

UU Otsus Papua sesungguhnya sarat dengan istilah-istilah yang terkait dengan masyarakat adat Papua.  Berikut ini contohnya: kata “adat” 109 kali disebut dalam teks UU Otsus Papua; “adat istiadat” disebut 4 kali; “masyarakat hukum adat” disebut 32 kali; “masyarakat adat” disebut 30 kali; “hak ulayat” disebut 18 kali; dan “kultural” disebut 5 kali.  Hal tersebut wajar, karena pada intinya UU Otsus bertujuan untuk memberikan perlindungan, pemihakan dan pemberdayaan terhadap OAP.  Wujudnya, misalnya, dalam hal-hal berikut ini:

  • Terwakili di dalam Majelis Rakyat Papua (Ps.5 ay.(2));
  • Menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur (Ps.12 huruf a);
  • Dihormati dalam setiap usaha perekonomian yang memanfaatkan sumber daya alam (Ps.38 ay.(2); Ps. 42 ay.(2)-(4));
  • Terlibat aktif dalam setiap usaha ekonomi kerakyatan (Ps.42 ay.(1));
  • Dilindungi hak-haknya (Bab IX: Ps.43 ay.(1-5)). di antaranya:
    • Hak ulayat (Ps.43 ay.(1)
    • Hak perorangan masyarakat hukum adat (Ps.43 ay.(1)).
  • Dilindungi hak-hak intelektualnya (Ps.44);
  • Menyelenggarakan peradilan adat (Ps.51);
  • Kebudayaannya dilindungi. dibina dan dikembangkan oleh pemerintah (Ps.57 ay.(1));
  • Keragaman bahasa dan sastranya dibina. dikembangkan dan dilestarikan oleh pemerintah (Ps.58 ay.1));
  • Dilindungi hak-haknya oleh pemerintah dalam pengelolaan tata ruang; perlindungan/konservasi SDA hayati, non-hayati, dan buatan; dan upaya mitigasi perubahan iklim;
  • Suku-suku terisolasi, terpencil dan terabaikan memperoleh perhatian dan penanganan khusus
Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Selain itu, ada hak-hak lain seperti hak atas pendidikan (Ps.56). kesehatan (Ps.59. 60), kependudukan dan ketenagakerjaan (Ps. 61. 62), jaminan hidup bagi yang menyandang masalah sosial (Ps. 65), melakukan pengawasan sosial (Ps.67 ay.2). dll.

Di dalam kenyataannya, pemberlakuan UU Otsus Papua masih belum secara riil membuat masyarakat hukum adat di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat menjadi pemilik atas sumber daya alam dan/atau tanah adat.  Misalnya, pada tahun 2013, MK telah mengeluarkan putusan atas permohonan Nomor 35 tahun 2012, yang intinya menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan yang terdapat dalam wilayah masyarakat hukum adat (bukan lagi “hutan Negara yang terdapat dalam wilayah masyarakat hukum adat).  Edaran Menteri Kehutanan RI yang pada intinya mendorong pemerintah daerah untuk mendukung upaya masyarakat hukum adat di Tanah Papua melakukan pemetaan atas hutan adat mereka dan mengesahkannya dalam bentuk Peraturan Daerah hingga sekarang belum dilaksanakan sama sekali, kecuali di Kabupaten Sorong, dan dalam batas tertentu di Kabupaten Jayapura.

12. Hak Azasi Manusia – HAM (Bab XII)

Apabila kita bertanya kepada masyarakat pada umumnya, dan khususnya para pekerja HAM di Provinsi Papua maupun di tingkat nasional, tentang situasi penghormatan dan perlindungan atas HAM di Tanah Papua selama pemberlakuan status Otsus di Tanah Papua, maka hampir pasti jawaban mereka adalah bahwa situasinya tidak banyak berubah.  Pelanggaran HAM jarang yang telah tuntas diselesaikan.  Bahkan, tidak jarang yang mengklaim bahwa selama Otsus Papua berlangsung pelanggaran HAM masih tetap terjadi.

Secara kelembagaan, persoalan pelanggaran HAM di Tanah Papua seyogyanya diselesaikan melalui pembentukan dan beroperasinya 3 (tiga) lembaga yang harus dibentuk oleh Pemerintah Pusat, yaitu: (1) perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; (2) Pengadilan Hak Asasi Manusia; dan (3) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).  Lembaga (KKR) berfungsi untuk: (a) melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (b) merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.  Dari ke-3 lembaga tersebut. baru satu lembaga yang dibentuk, yaitu perwakilan Komnas HAM yang tugasnya mencakup Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sementara Pengadilan HAM dan KKR belum dibentuk hingga sekarang.  Tidak heran kekecewaan kepada pemerintah atas tidak tuntasnya penyelasaian atas kasus-kasus pelanggaran HAM masih terus terdengar hingga sekarang. (*)

Artikel sebelumnyaPengembalian Berkas Penyelidikan Paniai Kedua Kali, Bukti Nyata Negara Tidak Memiliki Komitmen HAM
Artikel berikutnyaSiswa Mapnduma dan Kagayem Diharapkan Untuk Terus Belajar