Evaluasi Otsus Papua: Tinjauan Bab Per Bab (bagian I)

0
1957

Oleh: Dr. Agus Sumule)*

  1. Pengantar

Otsus Papua sebagai penyelesaian masalah Papua diamanatkan oleh rakyat melalui MPR-RI melalui Ketetapan Nomor: IV/MPR/1999 tentang GBHN.  MPR RI memerintahkan untuk “… [mempertahankan] integrasi bangsa … di dalam wadah NKRI dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah otonomi  khusus  yang  diatur dengan undang-undang…”.

Pada tanggal 21 November 2011. UU 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua disahkan oleh DPR RI.  Provinsi Papua Barat memperoleh status Otonomi Khusus Papua melalui UU 35 Tahun 2008.

Otsus Papua mengandung pengaturan atas berbagai aspek pembangunan. kemanusiaan. dan kehidupan berbangsa dan bernegara.  Oleh karena itu, evaluasi terhadap pelaksanaan Otsus Papua perlu dilakukan secara menyeluruh – bukan hanya atas aspek-aspek tertentu saja.  Sayangnya, evaluasi yang menyeluruh tersebut, belum dilakukan secara optimal.  Kebanyakan evaluasi hanya bersifat parsial untuk bidang tertentu.

Bab ini memuat evaluasi penulis atas pelaksanaan amanat Otsus Papua, sebagaimana terkandung dalam setiap bab di dalam UU 21/2001.  Bab-bab yang dimaksud dimulai dengan Bab II tentang Lambang-lambang, dan berakhir pada Bab XXIV.  Untuk memudahkan pembaca mengikuti uraian dalam sub-sub bab di dalam bab ini, pembaca dipersilakan untuk menyimak hal-hal apa saja yang dimuat dan diatur dalam setiap bab dari UU tersebut.  UU Otsus dimaksud dapat dibaca pada bagian Lampiran buku ini.

ads

Mudah-mudahan tulisan pada bab ini bisa mendorong para pihak terkait agar melakukan evaluasi yang lebih mendalam dan menyeluruh.

  1. Lambang-lambang (Bab II)

Hingga saat ini belum ada Perdasus yang dihasilkan oleh pemerintah Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat yang mengatur tentang lambang daerah.  UU Otsus Papua mengatur  tentang lambang-lambang daerah sebagai berikut: “… Provinsi Papua [dan Provinsi Papua Barat] dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.”

Di satu sisi ada sejumlah anggota masyarakat yang berpendapat bahwa seyogyanya bendera Bintang Kejora dan lagu Hai Tanahku Papua yang disahkan sebagai lambang-lambang daerah, karena kedua lambang itulah yang menjadi masalah selama ini.  Dengan memasukkan kedua lambang itu ke dalam Otsus Papua, maka sudah barang tentu arti dan penggunaannya harus tunduk kepada pengaturan di dalam UU Otsus itu sendiri.  Di lain sisi ada pihak yang tidak setuju dengan pemahaman tersebut dan menyatakan bahwa agar Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dapat memiliki lambang-lambang sebagaimana diatur dalam UU Otsus Papua, maka perlu ada pembicaraan terlebih dahulu, dan lambang-lambang yang selama ini bermasalah tidak cocok untuk digunakan sebagai lambang daerah.

Tidak heran, aparat keamanan hingga sekarang masih bereaksi keras terhadap setiap dan segala bentuk pengibaran/penggunaan  bendera yang dinilai sebagai lambang separatisme. Padahal bendera eks GAM (Gerakan Aceh Merdeka) telah ditetapkan sebagai Bendera Aceh sesuai dengan Qanun Nomor 3/2013.  Bahkan, lebih dari pada itu, baru-baru ini, tepatnya tanggal 4 Desember 2019, seorang anggota DPD RI dari Daerah Pemilihan Aceh, Fachrul Razi, mendesak agar Pemerintah segera menerima bendera tersebut sebagai lambang daerah Aceh.  Hal ini tampaknya diperlukan karena Pemerintah telah mengeluarkan PP 77/2007 yang intinya melarang penggunaan lambang-lambang gerakan separatis sebagai lambang daerah.

  1. Pembagian Daerah (Bab III)

Sejak pemberlakuan UU Otsus Papua, proses pembentukan provinsi, kabupaten/kota, distrik dan kampung baru terus dilakukan.   Pada tahun 2003 Presiden RI menerbitkan Inpres Nomor 1 Tahun 2003 Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.  Inpres ini merupakan dasar hukum dan politik bagi pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat.  Pada tahun 2008 dilakukan amandemen terhadap UU No 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yaitu dengan diterbitkannya UU Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.  Dengan UU 35 Tahun 2008 resmi dua provinsi di Tanah Papua, yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat menjadi provinsi dengan status Otonomi Khusus dengan kewenangan, hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam UU 21 Tahun 2001.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Semangat untuk memekarkan daerah-daerah otonom di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) menjadi daerah-daerah otonom baru terus muncul hingga sekarang.  Tidak jarang dorongan itu justru berasal dari pusat.  Yang terbaru, yaitu pada tanggal 11 Desember 2019, adalah dukungan Komisi II DPR RI atas pembentukan Provinsi Papua Selatan.[1]  Sebelumnya komisi yang sama juga menyatakan mendukung pembentukan Provinsi Papua Tengah.[2]

Yang menjadi masalah adalah hingga saat ini belum belum ada grand design yang disepakati bersama tentang berapa provinsi selayaknya dibentuk di Tanah Papua, demikian pula berapa kabupaten/kota, distrik dan kampung.  Selain itu, efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan pada daerah otonom maupun distrik dan kampung yang baru tersebut belum diukur dengan baik sebagai salah satu landasan dalam membentuk grand design sebagaimana dimaksud di atas.  Akibatnya, bisa saja pembentukan daerah-daerah otonom baru ini tidak optimal dalam mempercepat pembangunan dan memperpendek rantai kendali – retorika yang banyak digunakan oleh mereka yang mendukung dilakukannya pemekaran/pembentukan daerah otonom baru di Tanah Papua.

Bab III UU Otsus Papua juga mengatur tentang kawasan-kawasan dengan kepentingan khusus.  Sesudah hampir 20 tahun pelaksanaan Otsus Papua, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat belum mengusulkan kawasan dengan kepentingan khusus untuk diatur oleh Pemerintah dalam rangka optimalisasi pelaksanaan pembangunan dan/atau pelestarian sumber daya hutan, atau kepentingan strategis lainnya, di Tanah Papua.

  1. Kewenangan Daerah (Bab IV)

Sesudah Otsus Papua berlangsung hampir 20 tahun, masih belum tampak dengan jelas bagaimana pembangunan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat bisa dikelola dengan lebih baik atas dasar kewenangan yang lebih besar yang diserahkan dan/atau dilimpahkan kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sebagai suatu daerah otonomi khusus, khususnya apabila dibandingkan dengan daerah-daerah otonom lainnya di Indonesia.   Penyelenggaraan semua sektor pembangunan pada umumnya masih sama – dalam pengertian tidak ada perbedaaan yang prinsip antara sebelum dan sesudah UU Otsus diberlakukan di Tanah Papua.  Tidak heran, banyak pihak yang menilai bahwa tidak ada perbedaan kewenangan di Tanah Papua, misalnya dalam pengelolaan sumber daya alam. antara sebelum dan sesudah Otsus Papua diberlakukan.

Masalah pokok adalah hingga sekarang belum ada inisiatif Pemerintah dan/atau kementerian/lembaga teknis untuk mewujudkan secara nyata pendelegasian kewenangan ke provinsi Papua dalam rangka mengejawantahkan pengaturan dalam Pasal ini.  Selain itu, Perdasus dan Perdasi untuk mengejawantahkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) masih sangat terbatas dan/atau belum disusun.

  1. Bentuk dan Susunan Pemerintahan (Bab V)

Di dalam bab ini diatur, bahwa pemerintahan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat terdiri dari tiga unsur: (1) Dewan Perwakilan Rakyat; (2) Gubernur; dan (3) Majelis Rakyat Papua.  Inilah keunikan dari pemerintahan otsus Papua dibandingkan dengan banyak provinsi lain di Indonesia.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Nama parlemen di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat berbeda dengan nama parleme di banyak provinsi di Indonesia yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).  Di Provinsi Papua disebut Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan di Provinsi Papua Barat disebut Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPRPB).  Nomenklatur ini sama dengan di Provinsi Aceh yang juga adalah daerah otonomi khusus, yang disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sejak pemberlakukan UU Otsus adalah orang asli Papua (OAP).  Definisi OAP yang digunakan adalah yang diberikan oleh UU Otsus Papua, yaitu “… orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi  Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.”

Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat masing-masing telah memiliki Majelis Rakyat Papua.   MRP pertama kali dibentuk pada tahun 2005 – 4 tahun sesudah UU Otsus Papua disahkan.  MRP tersebut berlaku untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.  Di dalam perkembangannya, sesudah UU 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua diamandemen menjadi UU 35 Tahun 2008, Provinsi Papua Barat telah memiliki MRP-nya sendiri yang disebut dengan Majelis Rakyat Papua di Provinsi Papua Barat.

DPRP dan DPRPB yang merupakan wakil rakyat hasil pemilihan legislatif di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat pada dasarnya telah berfungsi dengan baik.   Selain itu, sesuai hasil putusan MK mengenai representasi masyarakat adat di DPRP dan di DPRPB, sejumlah orang asli Papua, pria dan wanita, telah menjadi anggota DPRP dan DPRPB melalui proses konsultasi.  Di Provinsi Papua Barat mereka membentuk fraksi tersendiri yang disebut Fraksi Otsus, sementara di DPRP para anggota DPRP yang merepresentasi masyarakat adat Papua tersebut bergabung dengan fraksi-fraksi partai politik yang telah ada sebelumnya di DPRP.

  1. Perangkat dan Kepegawaian (Bab VI)

Ruang yang diberikan oleh UU Otsus Papua untuk membentuk/ menyesuaikan perangkat pemerintahan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dengan kebutuhan dan situasi daerah belum dimanfaatkan sama sekali oleh Pemerintah Provinsi Papua maupun Pemerintah Provinsi Papua Barat.  Kecenderungan mereka adalah mengikuti praktek-praktek yang berlaku secara nasional.

Paling tidak ada 3 (tiga) akibat yang tidak kondusif bagi perkembangan daerah karena peluang ini terabaikan atau tidak dimanfaatkan oleh pemerintah daerah di Tanah Papua:

  • Tidak jarang kabupaten DOB (daerah otonom baru) di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat memiliki organisasi perangkat daerah (OPD) yang berdiri sendiri namun tidak berfungsi optimal – hanya karena di daerah-daerah lain di Indonesia ada OPD tersebut.
  • Hal-hal yang seharusnya dapat dilakukan untuk perlindungan, pemihakan dan pemberdayaan OAP, khususnya mereka yang bekerja sebagai ASN (aparatur sipil negara) tidak terakomodir/terlembagakan dengan baik.
  • Pengaturan kepegawaian secara khusus agar sesuai dengan kebutuhan riil pembangunan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat tidak dapat dilakukan dengan baik. Misalnya, di banyak tempat masih terdapat kekurangan tenaga paramedis, pendidikan, dan penyuluh pembangunan.  Seharusnya pelatihan dan pengangkatan tenaga-tenaga tersebut menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah. sehingga kekurangan tenaga sebagaimana dimaksud bisa segera terisi.

Salah satu faktor penyebab tidak termanfaatkannya peluang sebagaimana yang disebutkan di atas adalah belum disusunnya Perdasi yang mengatur tentang perihal perangkat dan kepegawaian sebagai akibat diberlakukannya Otsus di Povinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

  1. Partai Politik (Bab VII)
Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Berbeda dengan pemahaman cukup banyak orang, yang dimaksud dengan partai politik seperti yang termaktub dalam Bab VII Undang-undang Otsus Papua adalah partai politik (parpol) lokal sebagai tandingan dari partai politik nasional.  Parpol lokal diberikan ruang oleh UU Otsus Papua untuk dibentuk di Tanah Papua terutama agar OAP dapat berpartisipasi sebesar-besarnya dalam pengambilan keputusan politik bagi kemajuan kaumnya dan Tanah Papua pada umumnya.  Dengan demikian, Parpol lokal ini eksklusif hanya untuk OAP.

Sebenarnya sudah ada upaya yang dilakukan oleh masyarakat sipil di Tanah Papua untuk membentuk partai politik (lokal), namun hingga kini belum berwujud.  Upaya yang sementara berproses di Mahkamah Konstitusi RI adalah permohonan yang diajukan oleh Ketua dan Sekretaris Jenderal Partai Papua Bersatu, dengan perkara nomor 41/PUU-XVII/2019.  Bagian dari UU 21 Tahun 2001 yang diuji adalah Pasal 28 ayat (1) yang berbunyi “Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik.”  Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua menolak melakukan verifikasi dan mengikutsertakan Partai Papua Bersatu dalam Pemilu karena belum ada ketentuan hukum yang mengatur tentang partai politik lokal di Provinsi Papua, walaupun telah ada di dalam UU Otsus Papua.

Pada saat yang sama, tidak ada upaya serius yang ditunjukkan oleh pemerintah daerah maupun Pemerintah untuk mengadvokasi dan memfasilitasi dilaksanakannya ketentuan ini, sebagaimana halnya yang berlaku di Aceh.

Yang tidak kalah pentingnya adalah belum semua partai politik di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat bersungguh-sungguh memprioritaskan orang asli Papua dalam rekrutmen politik yang dilakukannya – baik dalam bentuk memberikan kesempatan kepada orang-orang asli Papua untuk memimpin di infrastruktur partai maupun dalam hal menjadi pimpinan dan anggota parlemen di tingkat provinsi/kabupaten kota. Sebagai akibatnya, di sejumlah kabupaten/kota di Tanah Papua, OAP menjadi minoritas di DPRD.  Kabupaten/kota dimaksud adalah Sarmi, Boven Digoel, Fakfak, Raja Ampat, Kota Sorong, Teluk Wondama, Merauke, Sorong Selatan, Kabupaten Sorong, Kota Jayapura, Keerom, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua Barat, dan mungkin masih ada di kabupaten-kabupaten lain.[3]

  1. Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi), Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Keputusan Gubernur

Undang-undang Otsus Papua mensyarakat perlunya pembentukan perdasi, perdasus dan peraturan gubernur untuk mengefektifkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan di dalam undang-undang tersebut, khususnya yang menyangkut perlindungan, pemihakan dan pemberdayaan OAP.  Perdasus, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang dibentuk dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam UU Otsus Papua – khususnya yang menyangkut perlindungan, pemihakan dan pemberdayaan OAP, sementara Perdasi, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang dibentuk dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa Provinsi Papua telah lebih banyak membentuk Perdasus dan Perdasi dalam rangka pelaksanaan UU Otsus Papua dibandingkan dengan Provinsi Papua Barat.  Walaupun begitu, tidak semua perdasi dan perdasus itu dapat dilaksanakan dengan efektif.  Misalnya, perdasi tentang kependudukan di Provinsi Papua yang isinya berupaya untuk membendung masuknya kaum migran dari luar sama sekali tidak dapat dilaksanakan.

Selain itu. upaya pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat untuk mempercepat pembentukan perdasi dan perdasus masih belum optimal.  Provinsi Papua Barat, misalnya, belum memiliki Perda Pendidikan hingga sekarang.  Selain itu, Komisi Hukum Ad Hoc hingga saat ini belum dibentuk – walaupun perannya sangat besar untuk mempercepat pembentuk produk-produk hukum yang merupakan pelaksana berbagai ketentuan dalam UU Otsus Papua.

)* Penulis adalah Dosen Universitas Papua (Unipa) di Manokwari

Referensi:

[1] https://news.detik.com/berita/d-4818567/pimpinan-komisi-ii-semua-anggota-dukung-usul-provinsi-baru-papua-selatan

[2] https://nasional.tempo.co/read/1274445/komisi-ii-dpr-mendukung-pembentukan-provinsi-papua-tengah/full&view=ok

[3] http://papuainside.com/oap-minoritas-di-legislatif-2019-2024-jalur-pengangkatan-diwacanakan/

Artikel sebelumnyaNegara Diminta Bertanggungjawab Terhadap 243 Korban Jiwa Warga Nduga
Artikel berikutnya22 Mei: 568 Kasus, 18 Sembuh, 1 Meninggal dan 30 Pasien Baru Corona di Papua