Evaluasi Otsus Papua: Tinjauan Bab Per Bab (Bagian III/Habis)

0
1403

Oleh: Dr. Agus Sumule)*
Dosen Universitas Papua (Unipa) Manokwari

Bagian Pertama dan Kedua tulisan ini dapat di baca di sini: Evaluasi Otsus Papua: Tinjauan Bab Per Bab (bagian I) dan Evaluasi Otsus Papua: Tinjauan Bab Per Bab (Bagian II)

13. Kepolisian Daerah (Bab XIII)

Salah satu kemajuan penting dalam pelaksanaan Otsus di Tanah Papua dalam bidang kepolisian adalah semakin banyaknya putra-putri asli Papua yang menduduki jabatan pimpinan kepolisian – baik di tingkat polsek dan polres.  Yang membanggakan adalah Kapolda Papua dan Kapolda Papua Barat telah dijabat oleh jenderal polisi putra asli Papua.

Selain itu, melalui kerjasama dengan Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat pada tahun 2008 telah direkrut para pemuda Papua untuk dilatih menjadi bintara kepolisian.  Pemerintah daerah menyediakan biaya tertentu pelatihan, sementara penggajian dan biaya-biaya lainnya sesudah mereka selesai dilatih menjadi tanggung jawab Kepolisian Republik Indonesia.

ads

Walaupun begitu, hingga kini masih belum jelas sejauh mana kurikulum pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi bintara kepolisian telah mengakomodir berbagai kearifan lokal di Tanah Papua.

14. Kekuasaan Peradilan (Bab XIV)

Peradilan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat adalah bagian dari sistem peradilan nasional yang merupakan kewenangan pusat.  Dalam pada itu, Otonomi Khusus Papua mengakui dan mendorong peradilan adat berfungsi secara optimal.  Walaupun begitu. ‘hubungan’ antara  peradilan adat dan badan peradilan Negara belum diatur secara jelas dan tegas di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.  Padahal, dengan semakin jelas dan erat hubungan kerja antara peradilan negara dan peradilan adat di Tanah Papua, rasa keadilan yang hakiki akan semakin dirasakan oleh masyarakat Papua.

Secara umum dapat dikatakan bahwa peradilan adat, sebagaimana yang diharapkan dalam UU Otsus Papua, tetap memiliki peranan penting di dalam menciptakan keharmonisan dan keadilan di kalangan masyarakat adat Papua.  Hal itu tidak saja terjadi di kalangan masyarakat Papua di perdesaaan, tetapi juga di kalangan OAP yang bermukim di perkotaan.

Dalam hal sumber daya OAP, sejak penerapan Otsus, jumlah OAP yang memilih/direkrut menjadi jaksa terus meningkat.  Demikian pula dalam profesi sebagai hakim.  Sekarang ini, Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, yang membawahi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, adalah OAP.  Demikian pula hakim perempuan Papua ada yang menduduki jabatan Ketua Pengadilan Negeri.  Kakanwil Hukum dan HAM di salah satu provinsi di Tanah Papua juga adalah OAP.

15. Keagamaan (Bab XV)

Di dalam UU Otsus Papua, agama tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat.  Walaupun begitu, Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat berkewajiban untuk memastikan agar setiap penduduk di provinsi masing-masing dapat melaksanakan “…hak dan kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing”, dan berkewajiban untuk “… menghormati nilai-nilai agama, memelihara kerukunan antar umat beragama, serta mencegah upaya memecah belah persatuan dan kesatuan dalam masyarakat di Provinsi Papua dan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.”  Selama pelaksanaan Otsus Papua pemerintah kedua provinsi telah melaksanakan tugas-tugas tersebut dengan baik.  Tanah Papua adalah salah satu wilayah yang paling toleran di Indonesia, di mana hubungan antarumat beragama berlangsung harmonis.

 Selain hal-hal yang disebutkan di atas, pemerintah provinsi-provinsi di Tanah Papua mengalokasikan pendanaan Otsus yang signifikan bagi pembangunan bidang keagamaan.  Pendanaan tersebut, selain disalurkan dalam bentuk bantuan pembangunan rumah-rumah ibadah, juga diberikan untuk kegiatan-kegiatan pembinaan iman dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Di sisi lain, pendelegasian sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga asing bidang keagamaan di kedua provinsi belum dilakukan oleh Pemerintah pusat kepada pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.  Padahal dalam banyak hal para tenaga asing bidang keagamaan juga melakukan tugas-tugas sosial dalam membantu masyarakat Papua, khususnya di kawasan-kawasan terpencil dan dalam bidang-bidang kesehatan. pendidikan dan ekonomi kerakyatan.

16. Pendidikan dan Kebudayaan (Bab XVI)

Salah satu ukuran keberhasilan pembangunan pendidikan di suatu wilayah adalah dengan menganalisis komponen Harapan Lama Sekolah (HLS) maupun Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM).  Tabel berikut ini menggambarkan HLS dan RLS pada tahun 2018 di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Tabel 3.2  Harapan Lama Sekolah dan Rata-rata Lama Sekolah di Tingkat Provinsi. Kabupaten dan Kota se-Tanah Papua. tahun 2018

Provinsi/ Kabupaten/Kota Harapan Lama Seko-lah (tahun) Rata-2 Lama Se-kolah (thn) Provinsi/ Kabupaten/Kota Harapam Lama Seko-lah (tahun) Rata-2 Lama Se-kolah (thn)
PAPUA 10.83 6.52 Lanny Jaya 8.01 3.18
Merauke 13.24 8.49 Mamberamo Tengah 8.33 2.78
Jayawijaya 11.58 5.17 Yalimo 8.46 2.44
Jayapura 14.17 9.60 Puncak 4.93 1.95
Nabire 11.14 9.53 Dogiyai 10.13 4.91
Kepulauan Yapen 12.24 9.07 Intan Jaya 7.11 2.51
Biak Numfor 13.94 10.00 Deiyai 9.79 2.99
Paniai 10.47 4.20 Kota Jayapura 14.99 11.30
Puncak Jaya 6.59 3.51 PAPUA BARAT 12.53 7.27
Mimika 11.77 9.76 Fakfak 13.85 8.51
Boven Digoel 10.99 8.32 Kaimana 11.76 8.09
Mappi 10.53 6.29 Teluk Wondama 11.05 11.05
Asmat 8.47 4.74 Teluk Bintuni 11.94 7.77
Yahukimo 7.59 4.01 Manokwari 13.63 8.04
Pegunungan Bintang 5.79 2.49 Sorong Selatan 12.56 7.15
Tolikara 8.04 3.62 Raja Ampat 11.80 7.63
Sarmi 11.55 8.52 Tambrauw 11.32 4.94
Keerom 12.14 7.83 Maybrat 12.67 6.53
Waropen 12.77 8.87 Manokwari Selatan 12.32 6.48
Supiori 12.72 8.39 Pegunungan Arfak 11.33 4.97
Mamberamo Raya 11.30 5.46 Kota Sorong 14.21 10.93
Nduga 2.95 0.85      

Sumber: Indeks Pembangunan Manusia 2018.  Biro Pusat Statistik.

Tabel 3.2 di atas menunjukkan  bahwa angka HLS maupun RLS untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat masih rendah.  RLS Provinsi Papua adalah sebesar 6.52 tahun. sementara di Provinsi Papua Barat hanya 7.27 tahun.  Artinya rata-rata pendidikan penduduk usia 25 tahun ke atas hanya drop-out SMP.  Selain itu, hanya 22% dari lulusan SD di Provinsi Papua yang meneruskan sekolah sampai ke tingkat SMA/SMK; dan hanya 30.6% di Provinsi Papua Barat.

Situasi ini menunjukkan bahwa penguasaan ilmu dan teknologi penduduk di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat masih terbatas.  Otomatis ketrampilan mereka pun terbatas.  Andaikata tersedia kesempatan kerja yang besar di Tanah Papua dalam waktu dekat, rata-rata pencari kerja yang berasla dari Tanah Papua akan sulit diterima karena rendahnya pendidikan dan ketrampilan mereka.

Keadaan ini menjadi lebih parah apabila yang disorot adalah kabupaten-kabupaten yang penduduknya dominan OAP.  Kabupaten-kabupaten ini umumnya terletak di daerah pedalaman/pegunungan.  Khusus mengenai hal ini akan dibahas dalam Bab 5.

Lepas dari gambaran suram seperti yang dikemukakan di atas, terdapat beberapa pencapaian penting dari pelaksanaan Otsus Papua.  Ada banyak fasilitas pendidikan (khususnya gedung) yang dibangun di lebih banyak lokasi dibandingkan pada masa sebelum Otsus Papua.  Asrama-asrama mahasiswa marak dibangun di lebih banyak kota studi – baik di Tanah Papua (khususnya Manokwari dari Jayapura) maupun di luar Papua (Manado, Makassar, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan lain-lain).

Sejumlah siswa berprestasi asal Tanah Papua telah dikirim untuk pendidikan sarjana dan pasca sarjana ke luar negeri.  Banyak di antara mereka yang telah kembali.

Belanja pendidikan yang dikelola oleh Dinas Pendidikan di Provinsi Papua 3.7% dan di Provinsi Papua Barat 6.5%.  Artinya. anggaran pendidikan dikelola juga oleh OPD-OPD lain.

17. Kesehatan (Bab XVII)

Salah satu perkembangan penting selama pelaksanaan Otsus Papua adalah bertambahnya jumlah kabupaten di Tanah Papua.  Dari yang dahulu hanya  9 (sembilan) kabupaten di zaman orde baru, yaitu: Jayapura, Teluk Cenderasih, Yapen Waropen, Nabire, Manokwari, Sorong, Fakfak, Merauke, dan Jayawijaya, kini Tanah Papua telah terdiri dari dua provinsi, dua kota. dan 40 kabupaten (lihat Tabel 3.2).  Bertambahnya jumlah kabupaten ini seyogyanya berbanding lurus dengan bertambahnya fasilitas kesehatan (SDM dan non-SDM), meluasnya cakupan pelayanan kesehatan – khususnya bagi OAP yang bermukim di wilayah-wilayah yang terpencil, dan membaiknya mutu pelayanan kesehatan.  Walaupun hal-hal yang disebutkan tersebut telah menunjukkan perkembangan yang berarti, tetapi dampak yang dihasilkannya masih belum mencapai harapan.  Salah satu indikator yang bisa digunakan adalah Usia Harapan Hidup (UHH).  UHH Provinsi Papua pada tahun 2018 adalah 65.36 tahun, sementara untuk Provinsi Papua Barat sedikit lebih tinggi, yaitu 65.55 tahun.  Angka ini masih jauh di bawah rata-rata UHH nasional Indonesia yang telah mencapai 71.20 tahun, namun sedikit di atas negara tetangga PNG (64.15 tahun),

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Secara konseptual masih rendahnya UHH Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, khususnya di kabupaten-kabupaten yang terletak di pedalaman/pegunungan mengindikasikan bahwa akses OAP ke fasilitas dan pelayanan kesehatan yang bermutu masih terbatas, atau bahkan sangat terbatas seperti pada kasus suku Korowai[1] dan suku-suku lain yang bermukim di kawasan adat terpencil (KAT).

Lepas dari masih rendahnya UHH penduduk di Tanah Papua, beberapa kemajuan penting telah dicapai dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan yang menjangkau sebanyak mungkin OAP, khususnya terkait dengan pemanfaatan dana Otsus Papua.  Di Provinsi Papua telah diberlakukannya Jaminan Kesehatan Papua dalam lebih dari 5 (lima) tahun terakhir ini,  Gubernur Papua telah mengeluarkan aturan yang menjamin setiap orang asli Papua dibebaskan dari semua biaya pelayanan dan perawatan kesehatan sampai dengan kualitas Kelas III di rumah sakit pemerintah.  Di Provinsi Papua Barat pemerintah menyediakan dana pelayanan kesehatan masyarakat sehingga menjadikan Provinsi Papua Barat sebagai provinsi ke-4 di Indonesia yang telah memiliki universal health coverage pada tahun 2019.

18. Kependudukan dan Ketenagakerjaan (Bab XVIII)

Salah satu masalah yang paling banyak dikeluhkan oleh OAP sebagai dampak dari pemberlakuan Otsus Papua adalah migrasi masuk yang meningkat dengan luar biasa dalam 15 tahun terakhir.  Bahkan banyak pihak yang menyebut masuknya dana Otsus dan dana-dana lain ke Papua serta pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) sebagai salah satu pemicu utama tingginya angka migrasi masuk tersebut (sekitar 5.2%).

Salah satu akibat penting dari tingginya migrasi masuk tersebut adalah OAP kehilangan tanah-tanah adat mereka.  Keadaan ini bisa terjadi karena situasi kemiskinan masyarakat setempat yang membuat mereka tidak berpikir panjang ketika menjual tanah ulayat mereka.

Mengenai pembatasan migrasi masuk, Pemerintah Provinsi Papua sebenarnya telah menerbitkan Perdasi pada tahun 2008 tentang Kependudukan yang salah satunya bertujuan untuk mengontrol migrasi masuk.  Tetapi Perdasi ini tidak pernah bisa diterapkan dengan efektif. Pertama, tidak ada endorsement dari Pemerintah pusat tentang pentingnya membatasi banjir migrasi masuk ke Papua dari berbagai pulau Nusantara ini.  Kedua, tidak ada kemampuan yang dimiliki dan sistem yang telah diciptakan oleh pemerintah provinsi Papua untuk membendung para migran, dan melindungi OAP.

Terkait masalah ketenagakerjaan, banyak kritik yang dilancarkan kepada sektor swasta yang kurang memberikan perhatian untuk melatih dan merekrut para pencari kerja OAP.  Seringkali para penanam modal membawa tenaga kerjanya sendiri, khususnya tenaga-tenaga trampil, sementara tenaga-tenaga lepas dan berkualitas rendah direkrut di Tanah Papua.  Itu sebabnya, Gubernur Papua Barat berinisiatif membangun Balai Latihan Kerja (BLK) Papua Barat yang terletak di Kabupaten Manokwari Selatan.  BLK ini menjadi wadah pelatihan bagi OAP yang sementara mencari kerja – terutama di industri minyak dan gas bumi.

Pada saat yang sama, hingga sekarang, belum disusun regulasi dalam bentuk peraturan daerah atau peraturan gubernur untuk mengoperasionalkan ketentuan di dalam pasal 62 ayat (2) UU Otsus Papua, bahwa … “Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua [dan Papua Barat]berdasarkan pendidikan dan keahliannya.”

19. Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup (Bab XIX)

Salah satu persyaratan penting bagi terselenggaranya pembangunan berkelanjutan adalah perlunya suatu wilayah pemerintahan memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah.  RTRW bagi Tanah Papua penting, karena merupakan dasar memformulasi kebijakan dan strategi penataan ruang; memberikan arah bagi penyusunan indikasi program utama; dan sebagai dasar dalam penetapan arahan pengendalian pemanfaatan ruang.

Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah – namun masih belum jelas bagaimana ruang yang dirancang itu memberikan tempat yang memadai bagi tumbuh dan berkembangnya OAP, khususnya masyarakat hukum adat.

Dalam rangka menjamin tetap terselenggaranya pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan jangka panjang dari penduduk dan generasi-generasi mendatang di Provinsi Papua Barat, pemerintah Provinsi Papua Barat telah memiliki Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat tentang Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 2019.  Nama Perdasi ini lebih dikenal oleh masyarakat dengan nama Papua Barat Provinsi Konservasi.  Perdasi ini memuat sejumlah pengaturan untuk mewujudkan “… pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.”

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Otonomi Khusus Papua mengakibatkan kawasan-kawasan lindung di Provinsi Papua Barat bisa lebih diberdayakan.  Di Raja Ampat, misalnya, praktek penggunaan bom ikan telah jauh berkurang sehingga sumber daya terumbu karang telah berhasil direstorasi.  Pada saat yang sama, pembentukan berbagai DOB yang beberapa di antaranya memiliki wilayah yang hampir 100 persen adalah kawasan lindung, sesungguhnya mengandung ancaman bagi keberlangsungan fungsi dari kawasan-kawasan tersebut.

20. Sosial (Bab XX)

UU Otsus Papua secara spesifik memberikan tanggung jawab kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Provinsi Papua Barat untuk mengurus kesejahteraan dari para penyandang masalah sosial dan suku-suku yang terisolasi, terpencil, dan terabaikan.

Dalam batas-batas tertentu, OPD yang menangani kelompok masyarakat yang disebutkan di atas (para penyandang masalah sosial dan suku-suku terasing/terisolasi) telah melaksanakan tugas-tugasnya.  Berbagai program yang telah dibuat untuk memberikan bantuan kepada para penyandang sosial maupun suku-suku terasing/terisolasi.

Yang masih belum dilakukan hingga kini adalah menyusun Perdasi yang berisi dukungan bagi penduduk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang menyandang masalah sosial.  Demikian pula Perdasus tentang penanganan khusus bagi suku-suku yang terisolasi, terpencil dan terabaikan belum disusun.  Sebagai akibatnya, amanat UU Otsus tentang pembangunan bidang Sosial ini masih belum dikerjakan secara fokus dan berhasil guna.  Padahal, suku-suku yang terisolasi, terpencil dan terabaikan ini seluruhnya adalah OAP.

21. Pengawasan (Bab XXI)

Pengawasan adalah faktor penting dalam menjamin keberhasilan dan integritas penyelenggaraan program pembangunan.  Tanpa pengawasan maka selalu terbuka peluang tidak tercapainya tujuan dan sasaran program.  Bahkan, lebih dari pada itu, ketiadanya pengawasan bisa mengakibatkan penyelewengan kekuasaan dan sumber daya pembangunan – termasuk dana.  Pengawasan dalam konteks UU Otsus Papua tidak saja terkait dengan pengawasan oleh kelembagaan pemerintah pusat dan daerah terhadap pelaksanaan Otsus.  Yang tidak kalah pentingnya adalah pengawasan oleh masyarakat luas, khususnya OAP yang adalah subjek dari kebijakan Otsus Papua tersebut.

Pengawasan penyelenggaraan Otsus Papua selama ini dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait – termasuk di dalamnya yang dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga-lembaganya seperti LSM maupun lembaga-lembaga keagamaan.  Yang menjadi masalah, pengawasan yang berlangsung selama ini belum cukup ampuh untuk mendorong perubahan – khususnya di tingkat penyelenggara pembangunan.

22. Kerjasama dan Penyelesaian Perselisihan (Bab XXII)

Kerjasama antarpemerintah provinsi, pemerintah kabupaten maupun pemerintah kota banyak dilakukan oleh pemerintah provinsi, kabupaten/kota di Tanah Papua.  Salah satunya adalah melalui sejumlah asosiasi pemerintah, seperti Asosiasi Pemerintah Kabupaten se-Indonesia, Asosiasi Pemerintah Provinsi, dan sebagainya.

23. Ketentuan Peralihan (Bab XXIII)

Kecuali pada sejumlah kecil peraturan perundang-undangan, hampir semua peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak secara spesifik mengakui keberadaan UU Otsus Papua.  Sebagai akibatnya, UU Otsus Papua sebagai suatu “lex spesialis” tidak begitu tampak, bahkan kurang dikenal.  Keadaan ini sering kali mengakibatkan terciptanya situasi ambivalen di daerah.  Yang paling sering adalah ketidakjelasan kewenangan antara instansi pusat dan instansi di daerah atas pengelolaan sektor pembangunan tertentu.

24. Ketentuan Penutup (Bab XXIV)

Salah satu hal yang diatur dalam Bab ini adalah tentang perlunya meminta persetujuan DPRP (DPRPB) dan MRP (MRPB) apabila dipandang perlu untuk melakukan pemekaran atas Provinsi Papua dan/atau Provinsi Papua Barat menjadi provinsi-provinsi baru.  Hingga sekarang hal persetujuan tersebut belum diatur dalam suatu peraturan daerah provinsi, padahal perihal pemekaran ini tidak diwacanakan – baik di tingkat pusat maupun oleh kelompok-kelompok tertentu di daerah.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya yang diatur dalam Bab ini adalah mengenai evaluasi pelaksanaan Otsus Papua yang seharusnya dilakukan secara berkala, yaitu setiap tahun,  Evaluasi ini sudah barang tentu harus melibatkan subjek dari Otsus Papua. yaitu OAP.  Selama 18 tahun perjalanan Otsus Papua, harus dikemukakan bahwa evaluasi sebagaimana yang dimaksud tidak rutin dilakukan. (*)

Referensi:

[1] https://papua.antaranews.com/berita/464702/upaya-dinkes-kemenkes-layani-kesehatan-suku-korowai

Artikel sebelumnyaLP3BH Manokwari Beri Catatan Pasca Divonisnya Aliknoe Dkk
Artikel berikutnyaAliansi Mahasiswa Papua: Rakyat Papua Tidak Butuh Otsus