Perjuangan Masyarakat Adat Mengakhiri Diskriminasi Rasial dan Mekanisme Internasional

0
1751

Sebuah catatan perjuangan dan mekanisme internasional

Oleh: Adrien Zoller, Nicolas Zoller & Wensislaus Fatubun)*
Tim kerja Geneva for Human Rights untuk Dewan HAM PBB

Beberapa hari terakhir ini, publik kembali memperbincangkan masalah rasisme di Amerika Serikat. Seorang warga kulit hitam keturunan Afrika-Amerika bernama George Floyd meninggal secara tragis di kaki seorang polisi, dan melahirkan sebuah gerakan protes yang masif di tiga puluh negara bagian. Beberapa aksi protes juga dilakukan di beberapa negara lain, seperti di Berlin (Jerman) dan New Zealand. Semua sepakat, kasus George Floyd itu kekerasan berbasis diskriminasi rasial. Jauh sebelum George Floyd, masyarakat adat di seluruh dunia sedang mengalami diskriminasi rasial sejak kolonialisme itu hidup di bumi. Tulisan ini memfokuskan pada perjuangan masyarakat adat melawan diskriminasi rasial hingga melahirkan sejumlah mekanisme internasional dalam mengakhiri diskriminasi rasial.

Akar perjuangan: Debat tentang Rasisme dan Diskriminasi Rasial

Masyarakat adat telah lama berpartisipasi dalam pengembangan komunitas internasional. Delegasi adat pertama melobi Liga Bangsa-Bangsa di Jenewa (Swiss) pada tahun 1923. Beberapa komunitasmasyarakat adat telah menandatangani perjanjian dengan para kolonial kulit putih (baca: Eropa), misalnya Perjanjian Waitangi antara masyarakat adat Maori dengan penjajah kulit putih yang ditandatangani pada tanggal 6 Februari 1840 di Waitangi, Selandia Baru. Karena perjanjian tidak dihormati, masyarakat adat menyerukan Liga Bangsa-Bangsa untuk menghormati kedaulatan masyarakat adat. Namun, tidak ada ruang di Liga Bangsa-Bangsa untuk partisipasi penuh bagi kelompok non-Negara.

ads

Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dibentuk dengan cara yang berbeda dari Liga Bangsa Bangsa. Pada akhir Perang Dunia II, untuk menghindari pengulangan pengalaman selama beberapa dekade terakhir, para “pengendali kekuatan” berusaha untuk membangun sistem perdamaian dan keamanan yang lebih berkelanjutan dimana memberlakukan persyaratan yang diciptakan sendiri (mis. Kekuasaan veto di Dewan Keamanan), tetapi sistem baru memiliki ketentuan penegakan hukum yang lebih jelas. Ditandatangani di San Francisco pada tanggal 26 Juni 1945, Piagam PBB memuat prinsip-prinsip dasar, khususnya non-agresi, penghormatan terhadap kedaulatan negara, integritas wilayah, tidak campur tangan dalam masalah-masalah domestik, dan kerja sama dengan PBB. Pada saat yang sama, tujuan utama untuk Organisasi PBB yang baru diproklamirkan adalah perdamaian dan keamanan, pembangunan, keadilan sosial dan hak asasi manusia. Piagam PBB merupakan kewajiban hukum bagi semua Negara anggota PBB untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia.

Bertentangan dengan sistem Liga Bangsa-Bangsa, PBB mulai dengan memproklamirkan hak asasi manusia sebagai salah satu tujuan utamanya (lihat Charter of the United Nations, Art.1, al. 2, 3, and Art. 55. Moreover, Article 76 states that one of the objectives of  the UN trusteeship system is to encourage the respect for rights and freedoms). Konsep perlindungan umum dan hak asasi manusia universal muncul. Piagam PBB memuat beberapa artikel tentang promosi dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya prinsip-prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi ‘tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama’. Ini memperkuat Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) untuk membuat Komisi Hak Asasi Manusia (Pasal 68), yang didirikan pada awal 1946. Pada tahun 1948 Komisi dan Majelis Umum mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR). Dan PBB mengembangkan tindakan prinsipil terhadap kebijakan diskriminasi rasial dan segregasi dan apartheid, dan mendukung dekolonisasi negara-negara dan wilayah-wilayah jajahan dan kolonial lainnya. PBB kemudian juga menjadi organisasi universal.

Pada 2 November 1972, Majelis Umum PBB mendeklarasikan Dekade untuk Memerangi Rasisme dan Diskriminasi Rasial (1973 – 1983) (lihat Resolution 3057 (XXVIII) of 2 November 1972). Sebagai bagian dari Dekade 1973 – 1983, PBB mengadakan Konferensi Dunia pertama untuk Memerangi Rasisme dan Diskriminasi Rasial di Jenewa (Swiss), pada tanggal 14 hingga 25 Agustus 1978. Dalam proses mempersiapkan konferensi, sebuah inisiatif besar mengenai masyarakat adat yang diorganisir oleh Konferensi LSM (CONGO), yaitu organisasi Konferensi Internasional pertama tentang Diskriminasi Terhadap Penduduk Asli (Jenewa, 20 hingga 23 September 1977. Lebih dari 200 delegasi berpartisipasi, termasuk perwakilan masyarakat adat dari seluruh dunia. Dewan Gereja Se-Dunia (World Council of Churches) berperan penting dalam merealisasikan konferensi ini.

Konferensi non-pemerintah kedua diadakan pada 1981 tentang masalah masyarakat adat dan hak atas tanah. PBB mengadakan Konferensi Dunia Kedua untuk Memerangi Rasisme dan Diskriminasi Rasial di Jenewa (Swiss) pada tanggal 1 – 12 Agustus 1983. Majelis Umum menyatakan Dekade Kedua untuk Memerangi Rasisme dan Diskriminasi Rasial (1983 – 1993) (lihat Resolution 38/14 of 22 November 1983).

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Laporan Martinez Cobo (1973 – 1985)

Tidak sampai awal 1970-an istilah ‘pribumi’ mulai digunakan. Pada tahun 1971, Dewan ECOSOC memberi wewenang kepada Sub-Komisi untuk Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas (‘Sub-Komisi’) untuk membuat studi komprehensif tentang masalah diskriminasi terhadap penduduk asli (baca: masyarakat adat) dan untuk menyarankan langkah-langkah nasional dan internasional untuk menghilangkan diskriminasi tersebut (ECOSOC resolution 1589 (L) of 21 May 1971). Sub-Komisi menunjuk salah satu anggotanya, José Martinez Cobo (Ekuador), sebagai Pelapor Khusus. Sejak 1973 dan seterusnya, dengan bantuan substansial dari Sekretariat PBB, khususnya Tn. Diaz Willemsen (Guatemala), Tn. Martinez Cobo menghasilkan serangkaian laporan terperinci yang dibahas oleh rekan-rekannya selama sesi tahunan Sub-Komisi. Laporan terakhirnya diadopsi oleh Sub-Komisi pada tahun 1984 dan oleh Dewan ECOSOC pada tahun 1985 (lihat The reports are issued in five volumes as E/CN.4/Sub.2/1986/7).

Kelompok Kerja untuk Penduduk Asli (1982 – 2005)

Dengan dua Konferensi Dunia Menentang Rasisme, dengan diskusi tentang laporan Martinez Cobo, dan dengan dukungan kuat oleh Sekretariat PBB yang dipimpin oleh Theo Van Boven, Sub-Komisi memperoleh pada Mei 1982 otorisasi dari Dewan ECOSOC untuk membentuk Kelompok Kerja tentang Penduduk Asli / Masyarakat Adat (WGIP), yang terdiri dari lima anggotanya, ‘untuk meninjau perkembangan yang berkaitan dengan promosi dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan mendasar penduduk asli, dan untuk memberikan perhatian khusus pada evolusi standar mengenai hak-hak populasi tersebut’ (lihat ECOSOC resolution 1892/34 of 7 May 1982). Ketua pertamanya adalah Prof. Asbjorn Eide (Norwegia). Dia diganti oleh Ibu Erica-Irene Daes (Yunani), yang memimpin Grup selama bertahun-tahun.

Dari 1982 hingga 2005, WGIP telah menjadi badan utama di PBB untuk menerima dan meninjau informasi tentang situasi hak asasi manusia masyarakat adat, untuk menyiapkan studi tentang pola utama masalah dan pelanggaran, dan untuk menyusun standar internasional. Sesi tahunan 1 minggu selama Musim Panas di Jenewa menjadi pertemuan tahunan terbesar perwakilan adat dari seluruh dunia. Bekerja sama dengan perwakilan masyarakat adat, pekerjaan WGIP sangat penting dalam bidang penetapan standar. Butuh lebih dari 20 tahun untuk mengadopsi rancangan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.

Masyarakat Adat dalam Agenda PBB

Resolusi Sub-Komisi yang mendukung laporan dan rekomendasi WGIP memasukkannya dalam agenda Komisi Hak Asasi Manusia di Dewan ECOSOC dan, pada akhirnya di Majelis Umum.

Pada 1993 merupakan titik balik dalam musyawarah PBB tentang masalah adat. Pada tanggal 18 Desember 1990, Majelis Umum menyatakan tahun 1993 sebagai Tahun Internasional Masyarakat Adat Dunia. Pada Juni 1993, isu-isu adat menjadi pusat pembicaraan di Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Wina, Austria. Sementara hasil akhir berisi batasan-batasan serius (yaitu menghilangkan ‘s’ dalam ‘indigenous peoples’, sehingga menolak karakter kolektif hak-hak mereka), Deklarasi Wina dan Program Aksi (VDPA) menyerukan adopsi rancangan Deklarasi yang disiapkan oleh WGIP, proklamasi Dekade Internasional dan, selama Dekade itu, pembentukan forum permanen PBB untuk masyarakat adat.

Segera setelah Wina, WGIP dan Sub-Komisi menyelesaikan rancangan Deklarasi yang secara resmi diadopsi oleh Kelompok Kerja dan Sub-Komisi pada tahun 1994. Majelis Umum memproklamasikan Dasawarsa Internasional Masyarakat Adat Dunia (1995-2004) dan menyatakan dukungan untuk proposal mengenai forum permanen (lihat General Assembly resolution 48/163 of 21 December 1993).

Komisi menambahkan item khusus pada masalah pribumi ke dalam agendanya. Itu menciptakan Kelompok Kerja untuk menegosiasikan rancangan Deklarasi yang diajukan oleh Sub-Komisi, dan Kelompok lain untuk mempersiapkan pembuatan forum permanen. Satu Dekade Internasional Kedua untuk Masyarakat Adat Dunia dideklarasikan oleh Majelis Umum pada tahun 2005.

Forum Permanen tentang Masalah Pribumi

Dokumen Wina menyerukan pembentukan Forum Permanen sebelum akhir Dekade pertama ini. Kelompok Komisi pada forum permanen mengadakan sesi pertamanya dari 15 hingga 19 Februari 1999 di bawah kepemimpinan Mr. Richard Van Rijssen (Belanda). Usulannya diadopsi pada tahun 2000 oleh Komisi dan Dewan ECOSOC, dan, pada bulan Juli 2000, Forum Permanen PBB untuk Masalah-Masalah Pribumi (UNPFII) dibentuk sebagai badan penasihat untuk ECOSOC (lihat ECOSOC resolution 2000/22 of 28 July 2000).

Mandat Forum adalah untuk membahas isu-isu adat terkait dengan pembangunan ekonomi dan sosial, budaya, lingkungan, pendidikan, kesehatan dan hak asasi manusia. Ini memberikan Dewan ECOSOC dan program-program PBB, dana dan saran pakar lembaga dan rekomendasi tentang masalah adat. Forum ini meningkatkan kesadaran dan mempromosikan integrasi dan koordinasi kegiatan yang terkait dengan masalah adat dalam sistem PBB. Ini terdiri dari 16 ahli, delapan dicalonkan oleh pemerintah dan delapan oleh organisasi adat di wilayah mereka.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat

Pada tahun 2001, Komisi Hak Asasi Manusia menciptakan mandat Pelapor Khusus untuk hak-hak masyarakat adat. Pemegang mandat pertama adalah Dr. Rodolfo Stavenhagen (Meksiko, 2001 – 2008), diikuti oleh Prof. James Anaya (AS, 2008 – 2014), dan saat ini oleh Ibu Victoria Lucia Tauli Corpuz (Filipina). Prosedur khusus ini telah dikonfirmasi dan diperpanjang oleh Dewan HAM PBB.

Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat

Negosiasi tentang Deklarasi dalam Kelompok Kerja Komisi memakan waktu bertahun-tahun. Grup akhirnya mengadopsi konsepnya selama sesi 2005. Pada bulan Maret 2006, Majelis Umum menggantikan Komisi Hak Asasi Manusia oleh Dewan Hak Asasi Manusia (‘Dewan HAM). Dengan demikian, Dewan HAMlah yang mengadopsi rancangan tersebut pada sesi pertamanya pada bulan Juni 2006. Pada tahun yang sama, dengan resolusi 61/178 tanggal 20 Desember 2006, Majelis Umum menunda pertimbangan rancangan untuk memungkinkan lebih banyak konsultasi. Deklarasi tentang Hak-Hak Masyarakat Adat pada akhirnya diadopsi oleh Majelis Umum pada bulan September 2007 (lihat General Assembly resolution 61/295 of 13 September 2007).

Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat bukanlah perjanjian (mengikat). Namun, ini adalah instrumen hukum paling komprehensif yang merinci hak-hak masyarakat adat dalam hukum dan kebijakan internasional, yang memuat standar minimum untuk pengakuan, perlindungan, dan promosi hak-hak ini. Ini menegaskan prinsip non-diskriminasi dan hak untuk menentukan nasib sendiri: masyarakat adat memiliki hak untuk secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka. Hak politik utama adalah hak mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam hal-hal yang mempengaruhi mereka, dan kewajiban Negara untuk berkonsultasi dan bekerja sama dengan mereka untuk mendapatkan persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan sebelum mengadopsi dan menerapkan langkah-langkah legislatif atau administratif yang dapat mempengaruhi mereka. (Pasal 18).

Deklarasi ini juga mengakui hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya mereka, termasuk yang secara tradisional dipegang oleh mereka tetapi sekarang dikendalikan oleh orang lain sebagai fakta dan juga hukum. Hak-hak masyarakat adat, menurut definisi, adalah hak kolektif.

Badan PBB lainnya, Program PBB, Dana dan Agensi

Dalam proses-proses tersebut di atas, badan-badan pengawas perjanjian PBB memainkan peran penting, terutama Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD). Dalam pemeriksaan banyak laporan Negara, Komite-Komite memasukkan dalam ketetapan pengamatan kesimpulan mereka mengenai masyarakat adat di negara-negara yang bersangkutan. Selain itu, beberapa Komite mengadopsi Komentar Umum tentang masalah ini, seperti Komentar Umum No. 23 dari CERD tentang tanah dan sumber daya alam, persetujuan bebas dan terinformasi dari masyarakat adat, Komentar Umum No. 11 CRC (Komite Hak Anak) tentang anak-anak asli.

Pada tahun 1985, PBB menciptakan Dana Sukarela untuk Penduduk Asli. Dana tersebut membantu membiayai partisipasi perwakilan masyarakat adat (masyarakat dan organisasi) dalam musyawarah WGIP dan kemudian dalam Kelompok Kerja Komisi tentang Rancangan Deklarasi. Kontribusi sukarela diterima dari pemerintah, organisasi non-pemerintah dan entitas swasta atau publik lainnya.

Hak-hak masyarakat adat juga terbukti menjadi isu yang serius dibahas di Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (KTT Bumi), yang berlangsung di Rio de Janeiro (3 – 14 Juni 1992). Deklarasi tentang Lingkungan dan Pembangunan yang diadopsi oleh KTT berisi 27 prinsip, yang banyak di antaranya menyangkut masalah adat. Hal yang sama berlaku untuk Program Aksi Rio untuk Pembangunan Berkelanjutan (Agenda 21), khususnya Bab 10, 15 dan 26 tentang ‘pengakuan dan penguatan peran populasi penduduk asli dan komunitas mereka’, dan untuk pekerjaan Komisi Pembangunan Berkelanjutan.

Program PBB, seperti UNDP dan UNICEF, mengelaborasi program khusus untuk masyarakat adat, sedangkan Konferensi Dunia PBB lainnya mengadopsi ketentuan konkret mengenai masyarakat adat, termasuk Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (Kairo, 1994), KTT Sosial (Kopenhagen, 1995) dan Konferensi Dunia tentang Perempuan (Bejing, 1995).

ILO (Organisasi Perburuhan International) dan Organisasi Antar-Pemerintah lainnya

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) adalah organisasi antar pemerintah (IGO) pertama yang menangani hak-hak masyarakat adat. Pada Juni 1957, Konferensi ILO mengadopsi Konvensi mengenai perlindungan dan integrasi penduduk asli dan suku-suku lain atau semi-suku di negara-negara independen (Konvensi 107), yang mulai berlaku pada 2 Juni 1959. Konvensi ini dilengkapi oleh Konvensi mengenai masyarakat adat dan suku di negara-negara independen (Konvensi 169), yang disetujui oleh Konferensi ILO pada Juni 1989, dan mulai berlaku pada 5 September 1991.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

IGO (Organisasi antar Pemerintah lain semakin terlibat dalam masalah adat, khususnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) dan UNESCO.

Mekanisme Pakar tentang Hak-Hak Masyarakat Adat

Resolusi Majelis Umum 60/251 tanggal 15 Maret 2006 menggantikan Komisi Hak Asasi Manusia oleh Dewan HAM mengamanatkan Dewan untuk ‘mengambil, meninjau dan, jika perlu, meningkatkan dan merasionalisasi semua mandat, mekanisme, fungsi dan tanggung jawab Komisi untuk memelihara sistem prosedur khusus, saran ahli dan prosedur pengaduan ‘(OP-6). Butuh badan PBB yang baru ini satu tahun untuk bernegosiasi dan mengadopsi ‘paket pembangunan institusi’ nya.

Dewan pada tahun 2007 menciptakan Mekanisme Pakar baru tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (EMRIP). Mandatnya adalah untuk memberikan keahlian tematis kepada Dewan HAM tentang hak-hak masyarakat adat, dengan cara dan bentuk yang diminta oleh Dewan, dan untuk berfokus terutama pada studi dan saran berbasis penelitian. EMRIP tidak secara tepat menggantikan Kelompok Kerja sebelumnya tentang Penduduk Asli, karena ia tidak dapat memutuskan tema-tema penelitiannya. Itu tidak bisa meninjau situasi masyarakat adat, atau mengadopsi resolusi. EMRIP terdiri dari tujuh ahli independen. Anggotanya adalah: Ms. Kristen Carpenter (Amerika Serikat), Ms. Megan Davis (Australia), Mr. Belkacem Lounes (Algeria), Mr. Edtami Mansayagan (Filipina), Mr. Rodion Sulyandziga (Federasi Rusia), Ms. Laila Vars (Norwegia), Ibu Erika M. Yamada (Brasil). Mereka ditunjuk oleh Dewan-SDM mengikuti prosedur yang sama seperti untuk Pelapor Khusus.

Studi pertama EMRIP berfokus pada hak masyarakat adat atas pendidikan (2009) dan pada hak mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (2011). Sejak itu, EMRIP telah menyerahkan laporan tentang peran bahasa dan budaya dalam melindungi hak dan identitas masyarakat adat, tentang akses terhadap keadilan, tentang hak mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (dengan fokus pada industri ekstraktif) dan tentang praktik terbaik terkait implementasi Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.

Konfrensi Dunia tentang Masyarakat Adat

Pada bulan Desember 2010, Majelis Umum PBB memutuskan untuk mengadakan, pertemuan pleno tingkat tinggi Majelis, yang dikenal sebagai Konferensi Dunia tentang Masyarakat Adat, untuk berbagi perspektif dan praktik terbaik tentang realisasi hak-hak masyarakat adat yang dinyatakan dalam Deklarasi PBB (resolusi 65/198).

Untuk menentukan modalitas untuk Konferensi, Majelis meminta Presidennya untuk melakukan konsultasi dengan Negara-negara Anggota, perwakilan masyarakat adat (dalam kerangka Forum Permanen), EMRIP dan Pelapor Khusus. Pada 2011 dan 2012, Forum Permanen melakukan diskusi pleno tentang pandangan masyarakat adat. EMRIP dan Pelapor Khusus juga berkontribusi pada proses brainstorming.

Presiden Majelis ke-66 menunjuk Duta Besar Luis Alfonso de Alba (Meksiko) dan Bapak John Henriksen (Perwakilan Parlemen Sami Norwegia) untuk memfasilitasi modalitas dan pengaturan untuk Konferensi Dunia. Kedua fasilitator menegosiasikan proposal yang diadopsi oleh Majelis. Dalam resolusi 66/296 tanggal 17 September 2012, Majelis memutuskan bahwa Konferensi akan diadakan pada September 2014 di New York dan akan menghasilkan dokumen hasil yang berorientasi pada tindakan singkat. Resolusi itu juga menangani masalah organisasi.

Organisasi, jaringan, dan koalisi masyarakat adat mengorganisasikan diri mereka untuk terlibat dalam proses tersebut. Pada Januari 2012, sebuah Pertemuan Curah Pendapat Penduduk Asli tentang Konferensi Dunia (diadakan di Kopenhagen) membentuk Kelompok Koordinasi Global (GCG) yang terdiri dari tujuh wilayah sosial dan budaya yang diidentifikasi oleh penduduk asli di dunia dan oleh kaukus pemuda adat dan perempuan adat. Masyarakat adat mengadakan Persiapan Konferensi Pribumi Global mereka di Alta, Norwegia (10 – 12 Juni 2013). Dalam perjalanan tujuh pertemuan regional dan satu pertemuan global untuk mempersiapkan Konferensi, organisasi-organisasi pribumi menunjuk John Henriksen sebagai co-fasilitator untuk melanjutkan praktik yang ditetapkan selama Majelis ke-66.

Pada awal 2014, sejumlah pertanyaan masih belum terjawab. Beberapa Negara, khususnya Rusia dan Negara-negara Asia, menentang penunjukan co-fasilitator. Presiden Majelis mengambil beberapa keputusan terbatas, yang oleh banyak organisasi adat dianggap tidak dapat diterima. Pada akhirnya, dua Negara Anggota dan dua penasihat pribumi ditunjuk untuk mendukung Presiden dalam persiapan dokumen hasil. Pendekatan itu membantu memastikan peluang bagi masyarakat adat untuk berkontribusi dalam proses. (*)

Artikel sebelumnyaVictor Yeimo: Jokowi Segera Minta Maaf Kepada Rakyat Papua dan Bebaskan Tapol Papua
Artikel berikutnyaDekolonisasi yang Gagal: Akar Rasisme Terhadap Orang Papua