Kata Siapa OAP tra tahu Matematika? (Bagian 2/Habis)

0
2512

Oleh: Devi)*
Penyadur adalah pekerja sosial

Penjelasan dari 5 Implikasi Penggantian Pelajaran tentang Sejarah Angka

  1. Jika sejarah bilangan diajarkan dalam lingkungan sekolah, maka hal itu akan menghilangkan stigma bahwa kiblat matematika adalah Indo-Asia Barat-Eropa. Matematika tidak akan lagi dilihat sebagai ilmu yang dikembangkan di Asia Barat dan Eropa lalu diimpor dari Barat sana ke tempat kita. Hingga saat ini ada anggapan bahwa sistem bilangan basis 10 adalah satu-satunya sistem bilangan yang ada di dunia. Padahal jika sejarah bilangan diajarkan, maka murid-murid akan paham bahwa ada aneka ragam kontribusi suku bangsa terhadap sistem bilangan, bukan hanya Barat saja yang menyumbang pemikirannya. Jadi jika sistem bilangan bukan berbasis 10 diperkenalkan, maka murid juga akan lebih menghargai perbedaan-perbedaan tersebut.
  2. Jika sejarah bilangan diajarkan, maka hal itu akan menunjukkan tren dan potensi evolusi budaya. Tiap kebudayaan memiliki potensi untuk berevolusi dan berkembang karena menjawab perubahan dan paparan dari ide-ide dan praktek-praktek yang baru. Sistem bilangan dari suatu kebudayaan muncul sebagai upaya yang masuk akal atas keadaan sosial dan fisik untuk menguantifikasi sesuatu pada konteks dan waktu tertentu. Ketika satu kebudayaan berjumpa dengan kebudayaan lain, adalah suatu mekanisme alamiah bagi kebudayaan itu untuk mengakomodasikan berbagai aspek dari kebudayaan lain yang dikenalnya, termasuk praktek hitungan dan bilangan. Misalnya di PNG, karena perdagangan antar suku, masing-masing pihak jadinya menggabungkan fitur bilangan mereka. Kelompok yang memakai basis bilangan 10 mengembangkan karakteristik basis bilangan 5, sementara mereka yang berbasis bilangan (5, 20) memasukkan sebuah angka 10 daripada memakai dua angka 5. Sejarah seperti ini akan menyajikan pemahaman bahwa semua pengetahuan dan praktek budaya dapat melalui proses evolusi untuk mengembangkan matematika, sehingga para murid jadi memiliki minat untuk memahami paktek budaya mereka sendiri, membandingkannya dengan yang lain, dan berinisiatif untuk menjadikan budaya mereka lebih baik lagi.
  3. Jika sejarah bilangan diajarkan, maka hal itu akan meningkatkan nilai dari semua sistem bilangan. Saat Ini ketiadaan sejarah bilangan membuat orang meremehkan semua sistem hitungan yang lain dan menjadikan sistem bilangan 10 sebagai yang paling hebat dan satu-satunya. Segala jenis penggunaan dan pengetahuan tentang bilangan menjadi sama pentingnya, karena mereka dikelola untuk menjawab kebutuhan akan kuantifikasi secara budaya. Di banyak kebudayaan suku-suku OAP, memang tidak diperlukan kuantifikasi angka yang besar dan itu direfleksikan dalam praktek hitungan mereka. Jika kemudian memang diperlukan, maka mereka berpotensi untuk menambahkan praktek sistem hitungan besar itu dalam sistem hitungan. Banyak kebudayaan telah memperlihatkan terjadinya perubahan dalam diri mereka agar bisa bertemu dengan kebutuhan modern, namun tetap terjadi hubungan dan kelanjutan dari praktek yang sudah ada, bukan tiba-tiba mencangkok pengetahuan dari luar. Sistem basis bilangan 10 yang digunakan di sekolah bisa saja dipromosikan sebagai sistem modern yang memudahkan hitungan besar, tetapi dia tidak memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan sistem-sistem bilangan milik OAP.
  4. Jika sejarah bilangan diajarkan, maka hal itu akan membangun hubungan antara matematika dan kenyataan manusia. Matematika sekolahan seringkali diajarkan dengan cara sedemikian rupa hingga tidak punya hubungan kenyataan hidup, terutama di kelompok-kelompok kebudayaan bergaya hidup Non-Barat yang kuat. Jika sistem basis bilangan 10 diajarkan tanpa sejarah, maka jadinya tidak ada wajah kemanusiaan pada sistem bilangan dan tidak ada koneksi pada kebudayaan yang dikontribusikan. Namun, ketika sejarah dari sistem-sistem bilangan dan aplikasinya yang berbeda-beda pada tiap kebudayaan suku-suku OAP itu diajarkan, maka akan tampillah wajah manusia pada sistem bilangan, akan muncul penghargaan pada kebudayaan suku-suku OAP yang sangat penting bagi komunitas OAP yang selama ini terdampak serius akan pengaruh, invasi, dan pengasingan kolonial dari tanah mereka sendiri. Para murid dari suku-suku OAP bukan hanya akan membangun hubungan antara kebudayaan mereka sendiri dengan matematika sekolahan, tetapi juga menyadari bahwa sistem bilangan ala sekolahan itu memang berkaitan dengan sistem hitungan budaya mereka masing-masing. Misalnya sistem hitungan mereka berbasis bilangan 5 tetapi matematika sekolahan berbasis bilangan 10, maka pengelompokan variabel penting yang harus diajarkan adalah 5 dan 10. Jika satu tangan dipakai untuk merepresentasikan angka 5 dalam hitungan lisan yang diasosiasikan dengan gerakan tubuh, maka merepresentasikan sepuluh dalam tulisan sebagai 10 hanyalah cara lain untuk representasi sebuah angka. Jika angka 2 dalam basis bilangan (5, 20) juga digunakan untuk merepresentasikan 2 orang atau 2 duapuluhan, maka bisa dibandingkan dengan merepresentasikan duapuluh sebagai 20, dengan angka 2 yang secara hati-hati ditepatkan di sebelah kiri, karena nol dalam beberapa bahasa nasional kebanyakan tidak menunjukkan siapapun. Urutan frasa dalam kata-kata dapat dihubungkan dengan urutan angka-angka ketika menuliskan bilangan.
  5. Sejarah bilangan bukan hanya akan mengubah wawasan dan sudut pandang tentang matematika namun akan berdampak pada belajar-mengajar matematika sekolahan. Jika sejarah bilangan diajarkan maka para murid akan berkesempatan untuk mempelajari pengetahuan dari kebudayaan dan bahasa ibu yang nyata dalam hidup mereka terlebih dulu sebelum mempelajari pengetahuan ala sekolahan yang belum bisa dikenali. Jadi, ada masa transisi yang bermakna dari satu kebudayaan dan bahasa utama sebelum ke yang lain. Para murid akan mempelajari matematika pertama-tama dengan menggunakan sistem bilangan mereka sendiri lebih dulu, yang akan memandu mereka memperlajari matematika sekolahan tak dikenal yang berbasis bilangan 10. Jadi nantinya akan ada pemahaman konseptual yang lebih kokoh tentang hitungan sebagai sebuah sistem dan tentang kelompok-kelompok gabungannya sebagai penanda penting dalam matematika.
Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Komentar dari Penyadur

Mungkin kita di West Papua tidak seberuntung saudara-saudari di PNG, yang telah meneliti semua data tentang sistem matematika suku-suku OAP, karena kecelakaan sejarah yang kita alami. Namun saya kira belum terlambat bagi generasi muda Papua untuk melakukan reservasi dan penelitian kecil tentang sistem bilangan dan penghitungan setiap suku OAP yang ada di West Papua. Setiap orang, dari latar belakang ilmu apapun, baik antropologi, sosiologi, linguistik, bahasa, sastra, ekonomi, MIPA, teknik, FKIP, filsafat dan teologi, dll, semua bisa bertanya pada orang-orang tua di keluarga, fam, kampung, dan suku masing-masing tentang sistem matematika OAP yang asli sebelum ada pengaruh basis bilangan 10 yang diajarkan di sekolahan modern. Setelah sistem hitungan asli itu ditemukan, masing-masing kelompok bisa mempelajari lalu mengajarkannya kembali kepada anak-anak usia sekolah TK-SD-SMP, baik di lingkungan keluarga ataupun tetangga. Ini adalah upaya reservasi sistem pengetahuan budaya secara  mandiri yang bisa dilakukan.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Mahasiswa praktek maupun alumni lulusan FKIP yang sedang mengajar juga bisa mencari data tentang etnomatematika ini di suku asal masing-masing maupun di lokasi-lokasi penempatan, tujuannya sama agar bisa mengajarkannya kembali pada peserta didik sehingga anak-anak kita tidak tercerabut dari budayanya. Tidak hanya terbatas pada guru-guru Papua, bila ada guru-guru non-OAP yang bersedia terlibat dalam usaha mandiri ini juga tentu kita sambut baik. Kita ingin supaya murid-murid yang diajar, baik oleh guru OAP ataupun non-OAP, bisa cepat belajar matematika yang indigenous maupun matematika yang basis bilangan 10. Bila suatu budaya adalah milik kita sendiri, maka secara alami tidaklah sulit untuk mempelajarinya karena setiap kita punya naluri untuk mengenali semua sistem pengetahuan yang memang milik kita dari generasi ke generasi.

ads
Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Akan menjadi lebih baik lagi bila ada beberapa anak muda Papua yang bersedia mengkoordinir diskusi untuk temuan-temuan sistem pengetahuan indeogenous seperti ini. Bukan hanya etnomatematika, tetapi yang juga kekayaan luar biasa bangsa Melanesia adalah sistem bahasa dari bahasa-bahasa lokal, baik dari asal kelompok bahasa Papuan maupun Austronesian. Masih banyak lagi aneka pengetahuan lokal yang harus kita catat di luar sistem hitungan dan bahasa, apapun itu, sebelum pemusnahan yang sistemik ini terjadi. Alangkah indahnya bila semua data dari inisiatif-inisiatif mandiri semacam ini bisa direservasi dengan baik dan menjadi bank data bagi semua anak muda Papua yang memerlukannya untuk bahan penelitian tugas akhir.

Glendon Lean, nama yang disebut-sebut dalam jurnal ini, pada 1988 telah mempublikasikan semua data tentang sistem penghitungan dari setiap provinsi yang ada di PNG, dan pada 1992 desertasinya tentang kekayaan etnomatematika suku-suku OAP di PNG telah membuatnya mendapat gelar doktor dari PNG University of Technology. Kita di West Papua bisa melakukannya juga, apalagi begitu banyak anak-anak muda Papua yang setiap tahun melanjutkan studi di luar negeri. Tidak ada yang lebih ideal untuk diteliti selain kekayaan kita sendiri. (*)

Artikel sebelumnyaKetua MPR RI: Menyuarakan Keadilan Tidak Sama dengan Makar atau Kriminal
Artikel berikutnyaMelawan Lupa: 13 Juni 2001 – 13 Juni 2020, 19 Tahun Wasior Berdarah