Dari Pinggiran Danau Paniai, Mengenang Pastor Frans Lieshout, OFM

    0
    1792

    Laporan Mikael Tekege – Paniai 
    Pemuda dan Intelektual Paniai

    Ketika mendengar berita duka atas kepergian Pastor Frans Lieshout, OFM, air mata pun berlinang di pipi seorang guru tua. Guru yang pensiun pada tanggal 1 Mei 2019 itu mulai menceritakan pengalamannya sewaktu studi di SPG Taruna Bakti Waena, Jayapura, Papua (dulu Irian Jaya). Dia mengawali ceritanya dengan sebuah kalimat yang terkesan menyimpulkan ceritanya. “Dia telah menyelamatkan hidup saya”.

    Pada tahun 1973-1983 Pastor Frans bertugas sebagai rector SPG Taruna Bakti Waena. Tingkat kedisiplinannya sangat ketat. Ketegasan dan kebijaksanaannya  pun tidak pernah diganggu gugat oleh siapa pun dan atas nama apapun. Ya tetap ya dan tidak tetap tidak, benar tetap benar dan salah tetap salah bagi pastor ini. Dengan sifat dan sikap demikian membuat banyak siswa terbina dengan baik.

    Pastor ini pernah membuat kisah yang tidak pernah dilupakan oleh guru yang bernama Yoseph You, S.Pd di sepanjang hidupnya.  Kisah itu berulang kali diceritakan kepada anak istrinya serta sanak saudaranya ketika ada kesempatan, kapan pun dan dimana pun dengan penuh harap agar semua orang dapat didengarkan secara baik sambil memegang sebuah surat lama yang hampir kusut.

     Berawal dari Paniai

    ads

    Yoseph yang merantau dari Paniai ke Jayapura untuk mengenyam pendidikan ini bermodalkan semangat dan kemauan yang tinggi. Ia tidak peduli dengan tempat tinggal, biaya studi dan sebagainya. Bahkan ketika ia menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Waghete (kini Ibu kota Kabupaten Deiyai), orang tua terutama ayahnya Dimipeiyawi You ingin supaya anaknya tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya sambil menjodohkan dengan seorang gadis dari kampung tetangganya.

    Sang ayah beristri lima orang yang dikenal sangat tegas dan keras ini menyiapkan busur dan anak panah untuk menembak anaknya jika menolak keinginannya.  Ibunya, Yosina Adii tidak menerima keinginan suaminya, namun tidak diprotes karena bisa saja Dimipeiyawi memanah Ibu sekaligus anaknya.

    Meskipun demikian, bagi Yoseph pendidikan lebih utama dari segalanya. Demi pendidikan mati pun direlahkannya. Saat itu, tanggal 28 Desember 1977, Yoseph bangun dari tidurnya malam sekitar pukul 1.00 WIT. Ia memperhatikan seisi rumah Emaawa (Rumah Adat Suku Mee Khusus bagi laki-laki) dan Gebou (Rumah Khusus bagi Perempuan), semua orang tertidur sono. Yoseph mulai keluar rumah dengan sangat hati-hati, ia mengambil sebuah dayung milik ibunya yang ada di samping rumah.

    Ia lari menuju pelabuhan Baabutu (sebuah kampung di Distrik Deiyaimiyo, Paniai) dan naik perahu entah milik siapa menyebrang Danau Tage menuju Epouto. Tiba di Epouto sekitar pukul 3.00 WIT, berjalan kaki melewati bukit Kebouye, menyebrang Danau Paniai menggunakan perahu yang ada di Ogogobutu (sebuah kampung di Distrik Yatamo, Paniai) hingga sampai di Enarotali (Ibu Kota Kabupaten Paniai) sekitar pukul 5.00WIT. Yoseph langsung pergi ke rumahnya Amandus Tekege, di Aikai yang merupakan keluarga dekatnya.

    Yoseph menceritakan kedatangannya dan Amandus yang sangat mengenal Dimipeiyawi ini tanpa pikir dan bicara panjang lebar menyembunyikan Yoseph di kamar tidurnya. Amandus sadar bahwa Dimipeiyawi akan mencari dan menemukan anaknya hingga bisa dipanah.

    Selama dua hari, Yoseph makan, tidur di tempat persembunyiannya. Istrinya Amandus kemudian pergi cek pesawat AMA di Irian Bakti Enarotali dan memesan tiket. Satu hari kemudian Yosep berangkat ke Jayapura tanpa membawa bekal apapun selain Ijasah dan Raport Sekolah Dasar (SD)  juga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia tidak peduli dengan kurangnya bahasa Indonesia, tempat tinggal dan siapa yang akan membiayai studinya, karena bagi Yoseph tangan adalah pabrik yang bisa menghasilkan segala sesuatu.

    Kisah Bersama Pastor Frans

    Sampai di Jayapura, Yoseph mencari kerja borongan mengumpulkan uang pendaftaran  dan asrama serta untuk melengkapi kebutuhan  studinya. Ketika dirasa cukup, Yosep mendaftarkan diri di SPG Taruna Bakti Waena-Jayapura. Yoseph lulus tes dan diterima di sekolah yang berorientasi mempersiapkan tenaga guru SD itu.

    Yoseph tinggal di asrama dan mengikuti proses belajar mengajar. Biaya pendidikan ditanggung sendiri sehingga hari sabtu dan waktu-waktu libur di manfaatkan untuk mencari kerja borongan. Yoseph tidak pernah dibiayai oleh siapapun bahkan orang tuanya juga tidak pernah mengirim uang sedikit pun, meskipun ayahnya seorang Tonawi (Pria Berwibawa/Orang Kaya) pada saat itu, tetapi membiarkan anak laki-laki hidup secara mandiri adalah sebuah sikap seorang Tonawi.

    Sementara teman-temannya hampir setiap tahun bahkan setiap bulan menerima kiriman dari keluarga mereka. Setengah tahun kemudian, Yoseph mulai sakit sehingga tidak mampu lagi mencari kerja, sementara  proses belajar mengajar terus berjalan secara paksa.

    Beberapa bulan kemudian, Pastor Frans Lieshout, OFM menuntut Yoseph membayar uang asrama selama enam bulan sebesar Rp 6000,00 per bulan. Yoseph tidak mampu membayarnya hingga pembina asrama ini sepak keluar Yoseph yang sedang sakit ini dari kamar tidurnya sekaligus melemparkan semua barang miliknya “Kau hidup seperti benalu di asrama ini, lebih baik kau keluar” demikian kata pastor itu. Yoseph terbentur di tembok yang ada di pinggir halaman asrama itu hingga tak sadarkan diri.

    Beberapa jam kemudian, Yoseph sadar dan bangun. Di kepala bagian depan mengeluarkan darah. Yoseph mengumpulkan semua barang yang dibuang keluar itu, “Di sini (di Jayapura) saya tidak punya keluarga, lebih baik Pastor bayar tiket supaya saya pulang ke Paniai, saya bisa saja dibunuh oleh penyamun, Pastor silahkan tanggung nyawa saya di hadapan Tuhan,” kata Yoseph memohon.

    Pastor Frans pergi tanpa menanggapi, Yoseph pun segara memutuskan untuk membangun sebuah pondok kecil di samping sekolah (SPG) itu. Hari yang dikeluarkan itu juga ia membangun pondok tersebut hingga selesai dan semua barang miliknya diamankan di dalam pondok itu. Karena memang pada saat itu di Jayapura penduduknya tidak sepadat saat ini sehingga bagi perantau selain Asrama sangat susah tempat tinggal.

    Pastor Frans memperhatikan aktifitas Yoseph secara diam-diam. Beberapa hari kemudian, Yoseph dipanggil oleh Pastor itu dan menghadap kesana. Pastor itu memberikan sebuah Amplop dan Yoseph menerima dan membuka amplop itu secara perlahan, ternyata surat penerimaan beasiswa dari keuskupan Jayapura setiap bulan sebesar Rp 8000,00. Biaya asrama dan biaya pendidikan ditanggung dengan beasiswa tersebut, sementara keperluan lainnya dipenuhi dengan hasil kerja borongan. Yoseph pun bahagia dan berterimakasih kepada Pastor itu. Namun,  Yoseph merasa ucapan terimakasih  saja tidak cukup, harus lakukan sesuatu yang membanggakan.

    Ternyata, entah mengapa  Pastor itu mengurus beasiswa untuk Yoseph secara diam-diam dan memberikan kepada Yoseph. Yoseph menyelesaikan studinya menggunakan uang beasiswa itu. Pastor Frans menugaskan Yoseph ke Kokonau sebagai guru SD. Namun Yoseph menolaknya karena ingin melanjutkan studi di FKIP Universitas Cenderawasih (UNCEN) Jayapura.

    Studi di FKIP UNCEN

    Di UNCEN biaya pendaftaran sebesar Rp 6.000,00 (Enam Ribu Rupiah). Yoseph tidak memiliki uang, sementara waktu hanya tinggal satu hari. Yoseph mulai berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang sebesar itu dalam waktu sehari. Ia pergi ke temannya Andreas Tekege dan menceritakannya. Andreas segera pergi pinjam di kepala sekolahnya yang biasa ia bantu kerjanya.

    Kepala sekolah itu memberikan uang sesuai permintaan dan Andreas memberikan kepada Yoseph dengan catatan segera dikembalikan. Hari itu juga Yoseph mendaftarkan diri di UNCEN. Tiga hari kemudian Yosep mengikuti tes dan diterima sebagai mahasiswa FKIP UNCEN Program Diploma (D1). Beberapa bulan Yoseph tinggal dengan Andreas di pondok miliknya. Sembil mengikuti proses perkuliahan, Yoseph mengumpulkan uang melalui kerja borongan hingga mengembalikan uang yang telah dipinjam oleh temannya itu

    Setelah beberapa bulan tinggal bersama Andreas di pondok kecil itu, Yoseph mulai tidak beta lagi di pondok kecil itu. Beberapa hari kemudian, Yoseph memutuskan untuk pergi menghadap kepada Pastor Frans untuk memohon tempat tinggal. Ketika Yoseph datang dan mengetuk pintu, Pastor yang sedang duduk di ruang tamu itu segera membuka pintu dan kaget melihat Yoseph sangat marah; “wah, kamu masih ada di sini, saya tugaskan kamu ke Kokonau. Saya pikir kamu sudah mengajar di sana” kesal Pastor itu. Pastor, saya ingin mencari pengalaman, saya sudah masuk di FKIP UNCEN, saya datang karena tidak ada tempat tinggal, kata Yoseph. Pastor tidak mau mendengar alasan apapun dan mengusir sambil menutup pintu dengan sangat keras. Yoseph pun pergi dan tiga hari kemudian kembali lagi kepada Pastor Frans. Yoseph mengetuk pintu dan Pastor membukanya ternyata Yoseph lagi dan tanpa bicara sekata pun Pastor angkat kursi dan melemparkannya, Yoseph segera tunduk hingga kursi itu patah dan hancur  mengenai tembok dinding, kemudian Pastor menutup pintunya. Yoseph pergi lagi dan setelah satu minggu kemudian, yang ketiga kalinya Yoseph datang lagi kepada Pastor membawa permohonan yang sama.

    Yoseph mengetok pintu, Pastor membuka dan lagi-lagi Yoseph. Diusir tidak tobat, dilempar dengan kursi pun tetap sama. Pastor mungkin sudah tidak ada cara lain untuk menolak dan memarahi Yoseph. “Sudah, kamu tunggu di situ”, kata Pastor sambil berjalan menuju ke sebuah kamar. Beberapa menit kemudian, Pastor keluar sambil membawah sebuah kunci rumah. Pastor dengan terkesan marah berjalan menuju ke perumahan guru SPG “Yoseph, ikut” ajak Pastor.

    Yoseph ikut Pastor dari belakang hingga sampai di perumahan guru itu. Pastor membuka pintu sebuah rumah kosong dan menyerahkan kunci kepada Yoseph sambil mengatakan “”kamu bersihkan dan tinggal di rumah ini”. Yoseph pun bersyukur dan berterimakasih, namun bagi Yoseph tidak cukup hanya sebatas kata-kata itu. Dari rumah ini, Yoseph menyelesaikan studinya hingga ditugaskan sebagai guru SMP Negeri di Depapre.

    Karya dan Pengabdian

    Tidak cukup hanya bersyukur dan berterimakasih kepada Pastor Frans  atas segala jasa semasa studinya. Meskipun proses studinya Yoseph berdinamika secara serius, namun itu pun dianggapnya sebagai bagian dari tujuan merantau dan lari dari keinginan sang ayah dengan taruhan nyawa demi pendidikan itu. Lalu apa yang diharapkan dari seorang Yoseph sebagai rasa terimakasih kepada Pastor ini?

    Bagi Yoseph, Karya dan Pengabdian di tengah realitas social adalah sebuah balas jasa atau ucapan terimakasih kepada Pastor ini. Apa karya dan bagaimana pengabdian seorang guru yang telah pensiun setahun yang lalu ini?

    Menjadi Pastor Awam dan Merintis Kapela

    Yoseph yang beragama Kristen Katolik ini bertugas sebagai guru di SMP Negeri Depapre, selama tiga bulan ia tidak mengikuti misa pada hari minggu dan kegiatan-kegiatan rohani lainnya karena pada saat itu tidak ada gereja katolik di Depapre. Gereja katolik hanya ada di Sentani sehingga jarak tempuh dan terbatasnya angkutan roda dua maupun roda empat pada saat itu menjadi alasan utama Yoseph hidup seperti orang tidak beragama di sana.

    Selama tiga bulan ini Yoseph merasa hidup terasing dari Tuhan yang ia imani. Pada suatu hari ia pergi ke kantor distrik untuk mengecek data statistic penduduk. Dari sekian banyak data penduduk itu, Yoseph menemukan hanya ada lima keluarga yang beragama katolik. Ia mencatat nama keluarga dan alamatnya.

    Tiga hari kemudian Yoseph mengunjungi keluarga-keluarga yang beragama katolik itu. Dalam kunjungannya Yoseph hanya membawa satu pertanyaan yang sama seputar kehidupan rohani mereka: Ikut misa dimana? Ada yang menjawab hari minggu tetap tinggal di rumah seperti biasa, ada juga yang mengatakan kadang mengikuti misa di Sentani menggunakan sepeda motor.

    Setelah beberapa hari kemudian, Yoseph mengundang kelima keluarga tersebut ke rumahnya. Mereka yang diundang ini tidak tahu apa yang akan dibicarakan. Setelah mereka tiba, Yoseph mengawali pembicaraannya dengan mengatakan, selama ini hidup kita terasing dari Tuhan. saya mengundang bapak-ibu untuk membicarakan kehidupan rohani kita ini. Saya berpikir bagaimana supaya kita sendiri menjalankan misa dari rumah ke rumah. Mereka terima ide tersebut, sambil bertanya siapa yang akan memimpin misa yang akan mereka adakan.

    Yoseph yang dididik dan dibina dari Sekolah Yayasan Katolik ini pun menyatakan kesediaannya untuk memimpin misa yang akan mereka adakan. Mereka semua setuju dan Yoseph menentukan jadwal misa setiap minggu yang diawali dari rumahnya. Yoseph memimpin misa dari rumah ke rumah setiap minggu sambil mengadakan doa keluarga. Beberapa bulan kemudian, mereka mulai bosan mengadakan misa dari rumah ke rumah. Mereka pun berkumpul kembali dan memunculkan ide untuk membangun kapela kecil. Yoseph menyambut ide itu dan bergerak untuk  mewujudkan ide itu. Mereka kemudian mendiskusikan nama Kapela yang akan dibangun itu. Setelah mereka membicarakan, Yoseph menentukan nama Kapela itu: Ave Maria Bintang Laut Depapre.

    Untuk melanjutkan ide pembangunan Kapela itu, hal pertama yang Yoseph lakukan adalah menghubungi Ondoafi bagian pertanahan untuk memintah lokasi pembangunan kapela tersebut. Yoseph menyampaikan permohonan itu, beberapa hari kemudian melalui kesepakatan para Ondoafi di Depapre memberikan sebuah lokasi sambil mengatakan “melalui gereja katolik, Tuhan menginjak kaki di tanah Depapre.” Sebagai uang tebusan, Ondoafi pertanahan itu meminta hanya tuju ratus ribu (700.000). Yoseph menghubungi Uskup keuskupan Jayapura dan menyampaikan hasil kesepakatan tersebut. Uskup Herman Moninghof pada saat itu menerima dengan senang hati sambil menganjurkan kepada Yoseph untuk buat permohonan. Yoseph membuat permohonan dan mengajukan ke keuskupan sehingga keesokan harinya uskup membayar lokasi tersebut sesuai permintaan.

    Kesibukan Yoseph selanjutnya adalah mengurus bahan-bahan bangunan Kapela itu. Yoseph meminta pikiran dari anggota umatnya, salah satu diantaranya mengatakan ada seorang pengusaha katolik asal China di Sentani yang bisa meminta bantuan. Dua hari kemudian Yoseph pergi ke Sentani, dan menyampaikan permohonan bantuan berupa semen dan besi beton. Namun Yoseph diusir keluar dari rumah pengusaha yang juga ketua Kring di Sentani itu, “kalau mau mengemis jangan bangun kapela” katanya sambil mengusir.

    Yoseph pun keluar dan kembali ke Depapre. Keesokan harinya, ada dua truk tiba di depan rumah. Yoseph keluar dari rumahnya dan ternyata orang China itu membawa datang bahan-bahan bangunan sesuai permintaan/kebutuhan. Satu truk bermuatan semen 110 sak, truk yang satu lagi bermuatan besi beton di turunkan di sana. Mungkin sebelum Yoseph membawah permohonan, pasti ada anggota umatnya telah sampaikan rencana pembangunan Kapela itu.

    Keesokan harinya, Yoseph meminta bantuan kepada siswa dan mahasiswa yang tinggal di asrama Yayasan Katolik yang ada di Jayapura melalui Uskup. Permintaan itu diterima dan pada hari minggu, para siswa dan  mahasiswa bersama seorang Pastor datang memimpin misa padang sekaligus membaptis anak-anak anggota umat di lokasi pembangunan Kapela itu. Setelah selesai misa, para mahasiswa mulai bergerak membuat batu bata sehingga semen 110 sak itu menjadi batu bata 1.100 buah. Setelah semua bahan tersedia, Kapela Ave Maria Bintang Laut Depapre mulai dibangun seperti yang ada hingga kini.

    Pengabdian sebagai Guru

    Pada tahun 1983 menjadi guru SMP Negeri Depapre, bidang studi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Yoseph hidup sangat menyatu dengan social budaya masyarakat setempat. Sebagai guru muda, Kepala Sekolah (Kepsek) mempercayakan Yoseph menjalankan kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler. Siswa yang datang jauh dari Depapre, Yoseph menampung di rumahnya. Yoseph mendidik dan membina banyak siswa/I termasuk Habel Melkias Suwae sebagai angkatan pertamanya. Selama studi maupun bertugas di Depapre, Yoseph tidak pernah pulang ke kampung, bahkan rindu keluarga sedikit pun tidak pernah.

    Pada tahun 1989 atas desakan dari orang, Yoseph dipindahtugaskan ke SMP Negeri Waghete sebagai guru mata pelajaran IPA. Di sana (di Waghete) bertugas selama 7 tahun (1989-1996). Kemudian dipindahkan lagi ke Enarotali pada tahun 1996 sebagai Wakil Kepala Sekolah (Wakasek).  Pada tahun 2007 Yoseph ditarik ke Dinas Pendidikan dan Pengajaran sebagai Kepala Bidang (Kabid) SMA di Kabupaten Nabire. Sebagai Kabid SMA Yoseph memperjuangkan pembangunan gedung SMA sekaligus perumahan guru di Distrik Topo. Kemudian pada tahun 2014 ditugaskan kembali sebagai Kepala Sekolah (Kepsek) di SMA YPPK St. Fransiskus Asisi Epouto. Di sekolah ini, bahkan hampir semua sekolah di Paniai tidak ada tenaga guru tetap, hanya guru-guru honorer sehingga kebijakan yang diambil terkait biaya SPP untuk membiayai tenaga-tenaga honorer ini membuat para orang tua siswa/I mengeluh dan melaporkan kepada Kepala Dinas P&P Kabupaten Paniai. Yoseph dikembalikan sebagai guru biasa di tempat tugas yang lama, yakni SMP Negeri 1 Paniai pada tahun 2015 hingga tiba masa pensiunnya pada tanggal 1 Mei 2019.

    Kesimpulan

    Selama Yosep ditugaskan dimana pun, sebagai anggota masyarakat, ia tidak pernah absen dari kegiatan-kegiatan social masyarakat dan kegiatan-kegiatan rohani. Di mana kita hidup, di situ kita berkarya. Di mana kita bertugas, di situ kita mengabdi. Bumi ini adalah mimbar bagi semua orang di dunia ini untuk mementaskan setiap aktifitas kehidupan manusia. Suka maupun duka adalah seni yang mewarnai hidup ini menjadi lebih bermakna.

    “Pastor Frans telah menyelamatkan hidup saya. Dia telah menjadi awal dari semua karya dan pengabdian seperti yang diceritakan di atas ini,” katanya. Pastor Frans meninggal pada tanggal 1 Mei 2020, sementara saya pensiun pada tanggal 1 Mei 2019. Kesamaan tanggal dan bulan kematian dan pensiun ini membuat saya sangat terkesan dan sedih. Pastor pulang kepada Allah Bapa di surga, dan saya Pulang ke Kampung Halaman untuk menghabiskan masa pensiun di sana. Pastor, sampai jumpa di alam lain,” kata Yoseph mengakhiri ceritanya.

    Artikel sebelumnyaRingkasan dari Diskusi Online: Isu Papua dari Perspektif Jurnalis
    Artikel berikutnya‘My conscience says that I am innocent’