Ringkasan dari Diskusi Online: Isu Papua dari Perspektif Jurnalis

0
1976

Oleh: Devi)*
Penulis adalah Pekerja sosial

Akhir-akhir ini, sehubungan dengan ramainya pemberitaan dan respon tentang persidangan Tapol The Balikpapan Seven, setiap hari di media kita dapati ada begitu banyak diskusi tentang Papua, entah yang diselenggarakan mahasiswa seperti BEM atau pun himpunan, lembaga dan komunitas, hingga media. Saya sempat melihat poster acara tentang diskusi online tentang Papua yang diselenggarakan sebuah media nasional 14 Juni yang saya langsung tidak berminat untuk mengikuti karena selain all men panelists juga tampak nyata bahwa pemateri semuanya pro Jakarta.

Bukan persoalan pro Jakartanya yang bagi saya menjadi gangguan, tetapi kesan saya sebagai orang yang melihat iklan adalah langsung mempertanyakan mengapa mengadakan diskusi Papua yang tidak berimbang? Saya kira bukan hanya saya yang mempertanyakan itu ketika melihatnya. Dua hari lalu saya melihat poster Diskusi Online Papua dari sudat pandang jurnalis, dan pemateri yang dihadirkan juga cukup beragam dan seimbang, sehingga saya pikir ini lebih menarik. Jurnalis adalah orang yang meliput berita dan menulis berita itu tersebut sebagai informasi yang bisa dipahami oleh pembaca jadi semestinya, diskusi yang ini lebih menarik.

Diskusi Online Papua ini dilakukan melalui zoom dan live streaming YouTube jubi.co.id terjadi Kamis 17 Juni 2020 jam 14.00-16.15 WP.  Dimoderatori oleh Bp Victor Mambor dengan 7 pemateri yakni Ibu Evi Mariani editor The Jakarta Post, Bp Emir Chairullah wartawan Media Indonesia, Bp Josie Soesilo wartawan Kompas, Ibu Angela Flassy pemimpin redaksi Jubi.co.id, Bp Lucky pemimpin redaksi Cenderawasih Pos, Bp Arnold Belau pemimpin redaksi SuaraPapua.com, Bp Sam Nussy pemimpin redaksi Gheroy.com, dan Ibu Chelsia selaku staf ahli Dewan Pers periode 2017-2019.

Evi dari The Jakarta Post memulai pemaparannya dengan lebih dulu mengakui bahwa TJP adalah media nasional yang kecil dan dari namanya saja bisa jadi terkesan bias Jakarta, juga selama ini TJP tidak memiliki wartawan di Papua sekalipun sempat memiliki kontributor. Berita tentang Papua menjadi salah satu prioritas di TJP karena sadar bahwa Papua selalu bernilai berita terutama secara internasional.

ads

Emir dari Media Indonesia menyatakan bahwa selama ini pemberitaan memang cenderung tidak berimbang. Media Indonesia menempatkan 2 wartawan di Jayapura dan Sorong sebagai upaya mendapat berita secara langsung. Kasus di Papua ini bukan rasisme tapi diskriminasi, soal siapa yang jauh dari kekuasaan dan yang dekat, sama seperti kasus penyiraman, itu juga diskriminasi. Bagaimana kita memandang sumber berita. Ada anggapan bahwa media di Jakarta pasti pendukung NKRI harga mati dan media di Papua pasti pendukung separatis. Padahal kenyataannya tidak seperti itu.

Josie dari Kompas menjelaskan bahwa bagi Kompas berita tentang Papua sama pentingnya dengan berita dari seluruh Indonesia bahkan berita tentang Papua telah lebih dulu ada beberapa hari sebelum Kompas didirikan. Dari tahun 1965 hingga sekarang kira-kira ada 125,000 berita tentang Papua di Kompas yang selalu berupaya mengirim wartawannya ke tempat kejadian untuk meliputnya dari segala sisi, bukan hanya dari dua sisi. Dalam kasus Nduga, Kompas berhasil mengirimkan wartawannya ke lokasi dan menghasilkan tulisan berseri tentang Nduga dari perspektif masyarakat. Liputan Ekspedisi Tanah Papua diterbitkan setiap hari selama sebulan lebih dan diterbitakan sebagai buku, isinya hampir smeua menulis dari persepektif masyarakat. Demikian juga kasus Asmat, Kompas mengirim 10 orang dan selama beberapa hari menjadikannya berita di halaman depan serta membuat proyek air bersih dari masyarakat. Dana sebetulnya datang dari pembaca sendiri dan  kepercayaan pembaca bisa muncul dari pemberitaan yang memang sungguh hadir di lokasi.

Angela dari Jubi.co.id menyatakan baginya Papua adalah rumah jadi meliput Papua berarti meliput di rumah sendiri. Ada banyak sumber berita di Papua: menulis mengenai agenda pemerintah atau mengenai budaya dan keindahan alam saja tidak akan habis; hal itu kadang menjadi pilihan bagi jurnalis yang menafikan berita konflik. Bagi kami, Papua adalah rumah yang harus dijaga agar tetap baik-baik saja hingga bertahun-tahun ke depan. Jurnalis haruslah menulis demi kepentingan publik dan berani berbeda dengan pemerintah. Jurnalis hadir menyuarakan suara publik, jadi jangan hanya main aman. Kerja meliput di tempat konflik pertama-tama sangat membutuhkan independensi. Di Papua terlalu banyak kepentingn, contohnya menulis tentang tambang atau sawit dari sisi mengungkapkan pandangan masyarakat membuat kita langsung mendapat cap separatis. Jurnalis jadi sering dicurigai kedua pihak, pemerintah dan juga masyarakat. Kedua, meliput di daerah konflik juga bertanggung jawab menghadirkan jurnalisme damai, jangan menghasilkan tulisan yang malah memperkeruh keadaan dan mengadu domba. Saya tidak bisa seperti teman-teman jurnalis di tempat lain yang bisa menulis apapun di medsosnya dan melakukan advokasi publikasi publik lewat medsos. Saya tidak bisa. Medsos saya isinya hanya masak-masak. Tidak bisa lebih dari itu, nanti ceritanya jadi lain, bisa-bisa pindah kos. Tidak mungkin tidak ada rasisme di Papua. Nyatanya tidak mudah bekerja di ruah sendiri. Kami ini hanya ingin damai, ingin tenang. Semua orang Papua ingin damai, tidak ada yang mau rusuh, karena kalau rusuh juga mau lari ke mana sedangkan ini rumah sendiri. Menyuarakan daerah konflik jelas tidak mudah.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Evi dari The Jakarta Post menambahkan bahwa pemaparan Angela membuat diskusi menjadi lebih tajam dan kelebihan TJP adalah perspektif dalam pemberitaan. Buat apa sudah pergi ke lapangan kalau perspektifnya tetap bias Jakarta atau bias Jawa. Kasus Papua adalah rasisme tetapi tidak banyak media yang menuliskannya. Pemberitaan Jubi menjadi segar karena menganggap Papua itu rumah, bukan menerbangkan wartawan dari Jakarta untk meliputnya sehingga pemberitaanya menjadi berbeda dengan yang bias Jakarta. Kalau tidak memberitakan soal HAM dan keadilan di Papua tetapi hanya budaya, keindahan alam, kesempatan investasi, maka pemberitaan menjadi tidak utuh. Jadi memang solusinya adalah memperbanyak home ground journalist. Selama ini TJP sudah menunjukkan perspektifnya dalam pemberitaan Papua sebagai kompensasi atas jauhnya jarak geografis ke Papua.

Lucky dari Cendrawasih Pos menyatakan kita semua mengakui bahwa kata kuncinya adalah perspektif, tentang apa cara pandang kita terhaddap persoalan di Papua. Faktnyam di Papua, perspektif media pun tidak semuanya sama. Ada banyak media di Papua, kira-kira ada 50 media online, bagaimana perspektif jurnalisnya, editornya? Itu harus disamakan dulu. Apakah Jurnalis paham tentang sejarah, politik, ekonomi, budaya, atau hanya kerja karena rutinitas tulis berita bawa ke kantor selesai. Jurnalis harus bertanya: jadi apa Papua besok karena berita yang saya tulis.  Mulailah perepektif itu dari dapur sendiri:  menulis Papua merdeka susah, menulis tentang HAM juga tidak bisa, menyusun inversitgasi biayanya mahal; jadi hanya menulis yang nyaman saja ikut kemauan pemerintah. Faktnya, sekalipun jumlah jurnalis banyak, tetap saja susah untuk menjangkau daerah-daerah tertentu, perlu narasumber lagi, perlu menggali informasi lagi. Jadi bagaimana media Papua melihat masalah Papua. Setiap kali kejadian hanya ada narasi tunggal dari aparat. Kejadian baru 30 menit lalu tapi tiba-tiba sudah ada kronologi lengkapnya, siapa yang tulis, siapa yang siapkan itu? Itu penggiringan opini. Tugas media adalah mencari sumber berita yang lain. Kalau media hanya mau nyaman, maka banyak berita-berita penting dan wow yang tidak bisa didapat. Beberapa narasumber sangat berhati-hati menyampaikan informasi. Wartawan-wartawan Papua menulis berita dalam tekanan. Ada stigma. Menulis sedikit langsung bisa dicap provokator, dicap media separatis, belum lagi tekanan terhadap dapur redaksi bila ada berita yang tidak disukai. Sehari-hari kita memang menghadapi upaya-upaya penggiringan opini dan pemberitaan-pemberitaan yang tidak sesuai fakta. Papua ini tanah besar, sebesar persoalannya, dan besar juga proyeknya. Betapa mudah jurnalis dicurigai dan distigma aparat. Bila jurnalis berada dalam kelompok demo, maka jurnalis ikut kena pukul dan properti dirusak, yang sampai kini tidak ada penyelesaian yang jelas. Perspektif ini yang terlebih dulu harus ada supaya bisa memberitakan yang sebenar-benarnya.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Arnold dari SuaraPapua.com menceritakan bahwa SuaraPapua awalnya lahir dari sebuah blog berita yang menampilkan sisi masyarakat yang terkena dampak dan sisi para kombatan, sebagai respon dari tidak adanya berita-berita yang berimbang. Fokus SuaraPapua adalah memberitakan berita tentang Papua dari berbagai hal. Tentu sudah banyak tuduhan pada SuaraPapau sebagai penyebar hoax, apalagi ketika SuaraPapua memberitakan kasus 6 orang yang terwas tertembak di Degiyai dan kemudian dikutip oleh media internasional namun hingga hari ini Keminfo tetap menganggap berita itu sebagai hoax. SuaraPapua ada di Papua dan sekarang adalah waktu yang tepat bagi anak-anak Papua untuk terus memberitakan apa yang mereka lihat dan mereka alami. Hal tersulit adalah mencari anak Papua yang bisa menulis dan mau menjadi wartawan. Salah seorang reporter ada yang tidak mau datang meliput jumpa pers di Polda, karena tidak mau distigma. Masyarakat akan mencap OAP yang keluar dari Polda sebagai  orang yang kerja sama dengan aparat dan aparat juga menstigma kami sebagai media separatis, OPM, dll. Semua pengalaman ini membuat kami menjadi lebih dewasa dalam menulis tentang rumah kami sendiri. Kodam pernah berkata bahwa SuaraPapua adalah satu-satunya media yang tidak pernah konfirmasi ke Kodam. Padahal tidak begitu juga, setiap kali kami verifikasi soal keterlibatan aparat, mereka yang tidak merespon, setingkat kapolsek dan kapolres juga tidak mau memberi keterangan. Jadi fokus kami ke masyarakat terdampak; soal aparat itu bukan persoalan kami. Misalnya kasus Intan Jaya, sudah jelas aparat tembak mati satu anak kelas 6 SD. Namun aparat beralasan bahwa yang mereka tembak adalah anggota TPNPB. Ada kesan bahwa informasi yang keluar tentang tentang konflik Papua hanya boleh dari aparat saja. Kami ini membuat pemberitaan yang betul, bukan tipu-tipu, pembaca yang menentukan. Mengenai rasisme dan diskriminasi rasial tentu saja banyak kami alami. Sudah ada 5 kasus (yang dialami wartawan Suara Papua). Padahal sudah jelas kami menunjukkan ID Card jurnalis SuaraPapua namun tetap saja disebut sebagai peserta demo oleh aparat. Menjadi wartawan di Papua itu susah. Pertama, sulit mendapat akses konfirmasi dan verifikasi. Kedua, negara melalui aparat terkesan membiarkan media memproduksi berita-berita yang tidak betul dari Papua. Ketiga, kami ini wartawan di rumah sendiri tetapi diganggu terus sehingga bekerja dalam ketakutan, semacam kami ini kerja di rumah orang lain. Menulis tentang Papua oleh anak-anak Papua saya analogikan seperti orang memasak makanannya sendiri, bukan beli masakan jadi, sehingga bisa makan sampai kenyang. Semua staf redaksi SuaraPapua ini anak-anak Papua, mereka yang tepat untuk menulis berita tentang Papua.

Sam Nussy dari Gheroy.com di Timika menyatakan bahwa semua hal yang disampaikan teman-teman juralis Papua ini riil. Saya salut dengan teman-teman asli Papua yang berani menampilkan tulisan radikal bahkan hingga tidak menghiraukan nyawa. Sayangnya, semua tulisan media Papua ini tidak berdampak secara nasional. Mengapa media nasional tidak membantu dengan mengumpulkan tulisan-tulisan dari perspektif masyarakat Papua supaya membantu itu jadi booming sehingga kita semua bisa berdialog. Selama ini kami juga ingin mengungkapkan , tapi media Papua tidak punya modal yang cukup soal suber daya dan posisi tawar. Bukan kurang banyak Jubi, SuaraPapua, Cepos menulis soal Papua tetapi menagapa “rasisme” terus terjadi? Jadi kami melakukan profesi jurnalistik untuk terus menulis saja, apa adanya dari perspektif kami, sejauh yang kami bisa, untuk memberi kepuasan bagi para pembaca Papua. Dalam menulis tentang Papua, hanya anak-anak Papua yang bisa menulis dengan hati karena kami ini yang terlibat. Jadi, bisakah media di Jawa menjembatani dialog?

Chelsia, staf ahli Dewan Pers 2017-2019 dalam menanggapi pertanyaan dari moderator tentang rendahnya indeks kemerdekaan pers di Papua, menjelaskan tentang pengamatan dan pengalamannya di Dewan Pers. Aksi dan reaksi Dewan Pers terhadap pemberitaan di Papua dan wartawan Papua selalu berbeda-beda bergantung pada ketua dan pengurusnya. Di masa kepemimpinan Bagir Manan yang ahli hukum dan Stanley yang jurnalis senior,setiap peristiwa Ppaua dihadapi sebijaksana mungkin dan langsung turun untuk mendapat infromasi seakurat mungkin dari teman-teman lapangan termasuk dalam kasus wartawan internasional yang sempat mengalami penahanan bertahun-tahun lalu. Dalam seruan Dewan Pers mengenai Papua, pada September 2019 dan Juni 2020, yang disoroti adalah kehati-hatian wartawan dan media dalam pemberitaan Papua, namun sama sekali tidak ada dalam rilis September 2019 itu pembahasan tentang pembatasan internet di Papua. Jadi di bawah kepemimpinan Mohamad Nuh yang akademisi, ditampilkan kehati-hatian yang berbeda dari sebelumnya. Mengenai hasil riset indeks kemerdekaan pers 2015-2016 untuk Papua dan Papua Barat yang rendah, itu dikarenakan oleh metodologi dan kuesioner yang dikerjakan oleh informan ahlinya kebanyakan bukan dari Papua. Bagaimana bisa menjamin originalitas dan pemahaman sitasi Papua? Untuk riset tahun 2020-201 ini harus diusulkan agar informan ahli yang mengisi kuesioner sebaiknya 70% dari Papua, supaya hasilnya berbeda. Skor yang begitu rendah hanya persoalan metodologi, lenyataan di lapangan tentunya tidak serendah itu seoal kemerdekaan pers di Papua. Ada pemahaman dan kompetensi yang berbeda sehingga faktor-faktor lingungan, politik, hukum, dan ekonomi itu berbeda di tiap daerah.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Dalam sesi diskusi, ada beberapa tambahan pendapat. Emir dari Media Indonesia menyatakan Papua bisa dilihat dari berbagai perspektif, misalnya pendekatan politik ekonomi, jadi tidak membatasi hanya pada pendekatan HAM dan keamanan seperti yang selalu dikontrakan selama ini dan hasilnya mereka tidak bisa saling mempertemukan solusi. Sam Nussy dari Gheroy.com di Timika menambahkan bahwa rasisme dan diskriminasi rasial itu beda tipis. Kebanyakan berita tentang kekerasan di media nasional, pernyataan tentangnya hanya dirilis oleh aparat, sedangkan rilis dari pihak OPM hanya tampil di media Papua. Tulisan para jurnalis Papua semestinya bisa mengubah kebijakan, namun bila menulis tentang TNI Polri saja pasti distigma, maka itu adah bukti belum ada kebebasan. Josie dari Kompas menceritakan pengalamannya melihat Papua sejak 1999 hingga kini, bahwa bisa dibilang keadaan belum berubah, masih ada “Pos Daerah Rawan”, masih ada persoalan pendidikan, akses kesehatan, konflik agrarian, dll yang intinya situasi ketidakpercayaan itu tetap ada sehingga yang diperlukan adalah dialog sebagai antar manusia. Papua sesungguhnya persoalan narasi. Bila kita melihat data BPS dari pemerintah tentang IPM ataupun data demografi, maka kita dapati kenaikan angka IPM, tetapi bila diteliti lagi, kenaikan itu terjadi kebayakan di kabupaten-kabupaten pesiri yang komposisi penduduknya 50:50 antara pendatang dan OAP, namun di kabupaten pegunungan yang penduduk OAP-nya 90%, tidak ada kenaikan IPM. Artinya mandat Otsus untuk percepatan pembangunan bagi OAP itu belum tercapai.

Kesimpulan akhir, para pemateri sepakat untuk meningkatkan kolaborasi dan jejaring antar wartawan, apalagi selama ini orang Papua tidak diberi kesempatan untuk bicara di level nasional (Emir-MI). Perspektif yang berbeda-beda dalam pemberitaan harus dipupuk sepanjang membela kepentingan public (Evi-TJP). Keindahan Papua juga harus ditampilkan, bukan hanya tentang tembak-tembak saja, supaya orang luar juga bisa melihat di channel-channel TV tentang buaya Sungai Memberamo, burung mambruk, kasuari, dan kanguru pohon bermantel emas yang hanya ada di Papua (Sam-Gheroy). Kolaborasi antar media adalah upaya yang bagus untuk meningkatkan publikasi karena memperbaiki Papua adalah memperbaiki Indonesia, jadi mengapa tidak mau memperbaiki Papua (Angela-Jubi)? Papua tidak seindah Raja Ampat, ada luka dalam keindahan Raja Ampat, dan itu yang harus dieksplorasi. Jadi silakan media nasional menempatkan wartawan di kota-kota lain se-Papua, bukan hanya Jayapura (Arnold-SP). Intinya adalah bagaimana menulis Papua yang lebih optimis (Victor-moderator). (*)

Artikel sebelumnyaHukum Indonesia Rasis Terhadap Rakyat Papua
Artikel berikutnyaDari Pinggiran Danau Paniai, Mengenang Pastor Frans Lieshout, OFM