Bangkit dari Ketakutan yang Merampas Harapan dan Daya Hidup

0
1518

Oleh: Yulianto Murib)*
Penulis adalah Mahasiswa STFT Fajar Timur, Abepura-Papua

Manusia adalah makhluk ilahi. Ilahi sebab relasi mereka antara Allah dan manusia menentukan kodrat dan martabat manusia. Allah menciptakan manusia itu unik dari segala ciptaan lainnya sehingga berdasarkan asal dan tujuannya manusia adalah makhluk ilahi yang harus dijaga dan dihormati.

Menjaga dan menghormati martabat orang lain merupakan suatu keharusan sebab manusia memiliki kesatuan tubuh dan jiwa yang darinya manusia menjadi subyek atas tindakan moralnya sendiri. Ia memiliki kemampuan dan kesadaran untuk menyatakan dirinya, menyadari keberadaan dirinya dan perbuatannya. Manusia adalah sesuatu yang menyempurnakan dirinya sendiri. Inilah yang membedakan manusia dengan binatang apalagi dengan sebuah benda (barang).

Manusia tidak mempunyai hak untuk menyiksa atau mencabut nyawa manusia, entah itu secara sadar maupun tidak sadar. Namun, realitas yang terjadi adalah manusia dengan sengaja mencelakai sesamanya untuk menyaksikan penderitaannya secara beruntung dan terstruktur. Penderitaan semacam ini disebut sebagai suatu unsur kesengajaan manusia karena sikap egoisnya. Tetapi, penderitaan itu membawa kesadaran baginya untuk beralih pada kehidupan yang baru atas tindakannya sendiri, yakni dengan kesadaran diri dan hidupnya.

Ketika peristiwa mengerikan terjadi orang akan kehilangan harapan hidup dan merasa berbeda dan berada dalam kesepian penderitaan. Air mata akan selalu menetes ketika mereka berada dibawa tekanan batin karena ketidaksanggupan mereka terhadap tindakan yang diperlakukannya. “Negeri ini seperti tidak memiliki etika dan moral hidup (Nunias Selegani, 2020:126).[1]

ads

Papua dikenal dengan tanah Injil; tanah perdamaian, tanah yang telah diberkati Tuhan. Namun, yang menjadi pertanyaannya adalah apakah perdamaian itu sudah terwujud? kenapa tanah Injil ini terus dibasahi dengan tetesan darah yang terus mengalir di depan mata. Tanah yang sebagai ibu dalam filosofi orang Papua, yang mengandung dan melahirkan terus dibasahi dengan tetesan darah anaknya akibat berbagai konflik. Tangisan seorang ibu terlarut dalam penderitaan seperti duri dalam daging, artinya kesia-siaan saja seorang ibu mengandung dan melahirkan ketika anak-anaknya terus disiksa dan menjadi korban para penguasa “TNI/POLRI. Namun, dalam situasi seperti ini apakah kita hanya berdiam diri sejenak dan mengikuti arus waktu?. Tentu TIDAK.!!! Sebab Sifatnya mengerikan dan kejam, lebih mengacu pada kematian yakni Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia terus terjadi di Papua.[2] Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) adalah tindakan yang melanggar hukum. Ada banyak bentuk hak asasi antaranya adalah hak asasi manusia (Hak untuk Hidup) tindakan ini membatasi seseorang pada apa yang menjadi haknya, misalnya membunuh karena dengan membunuh otomatis hak hidup sudah dicabut oleh orang yang melakukan pembunuhan itu. Di Indonesia bahkan dunia banyak sekali kasus pelanggaran HAM, namun yang menjadi fokus penulis adalah  pelanggaran HAM  di Tanah Papua. Pelanggaran HAM di Papua terjadi setiap tahun dan selalu memakan korban jiwa mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.

Di Indonesia HAM selalu menjadi topik utama dalam media-media sosial bahkan sesekali kasus politik Papua menjadi topik pembicaraan dalam pertemuan kenegaraan. Pelanggaran HAM ini terus terjadi di Papua karena status politik. Hal ini menghadirkan gelapnya penderitaan semakin sesak oleh adanya perasaan bahwa rasa sakit ini tidak akan berakhir. Karena persoalan sejarah masa lalu tahun 1960-an yang belum tuntas hingga hari ini dan juga pendekatan militeristik yang dilakukan oleh TNI atau POLRI.

Kita orang asli Papua (OAP), tidak punya lagi tenaga atau sumber kekuatan dari dalam diri untuk menghadapi reaksi yang telah terjadi secara terang-terangan mengunakan alat negara. Kita tidak berani untuk menyatakan sesuatu, tersenyum tak berdaya dan meletakkan jiwa kita pada gelapnya perasaan takut dan rasa sakit yang terus berlansung lama. Kegelapan penderitaan menyelubungi kita dan menyembunyikan segala sinar pengharapan. Itulah sifat dasar yang sesungguhnya. Penderitaan terasa seperti vonis abadi dalam kehidupan kita. Maka, biarkanlah Papua bahagia, karena kebahagiaan adalah kebajikan tertinggi.

Tentu setiap kita membutuhkan kedamaian. Menciptakan kehidupan damai dan bebas dari konflik merupakan tanggung jawab semua orang. Damai berarti selamat, tidak boleh ada jiwa yang terbunuh, disiksa, dipenjarakan, dikejar, diperkosa, diperlakukan tidak adil demi berbagai kepentingan apapun. Mencapai Papua Tanah Damai jika Tanah dan Manusia: orang Papua dan non-Papua yang tinggal di tanah Papua harus mengalami kedamaian. Kedamaian itu akan terwujud apabila ada cinta yakni saling menerima antara satu sama lain dan memberikan kebebasan atas apa yang diperjuangkannya, memiliki kepedulian, dan bela rasa serta bersyukur atas keberadaan sesama manusia. Dengan kata lain, setiap orang dalam hidupnya tentu berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan. Usaha untuk memperoleh kebahagiaan ini tentunya akan dinikmati oleh totalitas manusia itu sendiri. Totalitas yang dimaksud tidak lain adalah tubuh dan jiwa manusia. Karena itu, kebahagiaan yang dicari manusia akan membahagiakan jika itu menyentuh keseluruhan dirinya yaitu yang dirasakan oleh tubuh dan jiwa manusia. Kehidupan yang aman, nyaman, damai dan harmonis tentu menjadi cita-cita bersama semua umat beragama atau berkeyakinan.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua hampir setiap tahun dan bahkan setiap bulan konflik bersenjata terus terjadi dan memakan korban. Hal ini menjadi suatu pengalaman traumatis bagi orang Papua yang menjadi korban itu. Peristiwa Paniai berdarah tahun 7-8 Desember 2014, dan Wamena berdarah tahun 1977-1978. Dalam konteks ini ada suatu kekhawatiran lain yang muncul, yaitu rasisme dimana mahasiswa Papua mengadakan perlawanan dengan TNI POLRI dan imbasnya semua orang asli Papua turut merasakannya, bahkan 7 orang asli Papua yakni: Buchtar Tabuni, Agus Kosay, Stevanus Itlay, Alexander Gobay, Irwanus Uropmabin, Hengki Hilapok dan Fery Kombo, mereka itu korban rasis dan itu jelas tidak bersalah tertangkap namun diberikan human yang tidak adil.

 Kekerasan membangkitkan kekerasan dan membawa bentuk-bentuk penindasan yang lebih berat seperti kasus rasisme. Akhirnya kekerasan melahirkan kekerasan, kekerasan melahirkan konflik, konflik melahirkan dendam dan berpuncak pada kematian. Salah satunya adalah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam hal ini. Dengan demikian, generasi masa depan bangsa yang diharapkan pun turut ikut menyesuaikan diri dengan realita yang telah terjadi saat ini. Tidak ada penyelesaian yang menuntaskan kasus tersebut sehingga akhir dari tindakan ini membatasi seseorang apa yang menjadi haknya, misalnya membunuh orang yang memperjuangkan keadilan.

Sepanjang tahun 2018, suara-suara mendesak proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua tak henti disuarakan. Dalam aksi tersebut terus mendesak kepada Negara Indonesia untuk menyelesaikan kasus HAM yang terjadi di tanah Papua yakni kasus Biak Berdarah, 6 Juli 1998, kasus Wasior Berdarah 13 Juni 2001, demikian juga kasus Ndugama 22 Juni 2018. Aksi yang lain adalah merayakan Hari HAM 10 Desember. Pada 2018. Koalisi atau solidaritas yang bergabung dalam Solidaritas Organisasi Sipil (SOS) untuk Tanah Papua menggelar aksi kampanye ini dilakukan juga di luar Kota Jayapura dan Papua Barat; seperti di Manokwari, Sorong dan Kalimantan Timur. Tujuannya sama, yaitu mendesak Negara Indonesia untuk segera menyelesaikan segala kasus-kasus HAM di Tanah Papua.[3]

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Nilai yang tergores dengan sebuah tinta hitam dipandang penting dan bermakna lalu bagaimana dengan manusia. Hal ini mengingatkan kita betapa pentingnya nilai kehidupan manusia, ketimbang sebuah tinta yang tergores dalam lembaran kertas yang sifatnya semata. Perbedaan antara nilai A terbakar di makan api dan manusia yang tersiksa karena penderitaannya hingga maut menghampirinya. Apakah dari keduanya contoh tersebut nilai A lebih penting ketimbang mannusia?. Coba anda bayangkan saja, jika keluarga dekatmu meninggal dan nilai A terbakar oleh api bagaimana rasanya, tentu manusia tidak bisa dapat digantikan dengan sebuah nilai A. itulah nilai kemanusiaan.

Lawan yang jahat menggunakan rasa takut untuk mengintimidasi dan mengancam. Sejak semula, setan telah menjadi musuh utama Allah dan semua yang melayani-Nya. Setan itulah si ular yang menggoda perempuan pertama, sehingga terpikat untuk makan buah terlarang (Kejadian 3:1-6). Rasul Petrus memperingatkan kita untuk waspada terhadap taktik intimidasi Iblis yang berkeliling mencari mangsa seperti singa yang mengaum-ngaum, menakuti kita sambil mengancam untuk menelan kita (1 Petrus 5:8). Tujuan setan adalah melemahkan kepercayaan kita terhadap kebaikan Allah dan kesanggupan-Nya untuk menolong saat kita berjuang mengatasi kesukaran yang menjadi bagian kita (Ibrani 11:6). (*)

Referensi:

[1] Selegani Nunias, “Luka yang Tertular”. Yogyakarta: 2020. Hal. 126.

[2] Pekey Frans, “Papua Mencari Jalan Perdamaian” Jakarta. 2018. Hal. 114.

[3] Gobay Daniel and Tim Kerja SKPKC FP, “Papua Bukan Tanah Kosong.” Jayapura: Sentani, 2018. Hal. 117-118.

Artikel sebelumnyaKeluarga akan Tetap Kawal Persidangan Korban Rasisme Hingga Dibebaskan
Artikel berikutnyaDPRD Yahukimo Minta Pemkab Fasilitasi Pesawat Bagi Siswa Yang Hendak Kuliah di Jayapura