Usai makar bersama acara adat, 25/6/2020, di Asrama Ninmin Abepura, Kota Jayapura. (Ardi Bayage - SP)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Mahasiswa eksodus dari Kabupaten Nduga di Jayapura lakukan acara adat (Bakar Batu) atas bebasnya, Ariana Elopore atau Wenebita Gwijangge salah satu tahanan dari 5 orang yang bebas pada bulan mei 2020 dari Rutan Pondok Bambu Jakarta, atas tuduhan makar karena membawa mendera saat menolak aksi antri rasisme 2019.

Sebelumnya Ariana atau Wenebita menjalani proses hukum bersama Paulus Suryanta Ginting, Ambrosius Mulait, Charles Kossay, Dano Anes Tabuni dan Isay Wenda dan Ariana Elopore. Kemudian mereka dibebaskan pada bulan mei 2020.

“Ini kita bikin acara adat sesuai budaya kami orang Nduga. Karena saudara kami keluar dari penjara kecil ke penjara besar,” kata Arim Tabuni, Panitia acara adat usai doa bersama, Kamis (25/6/2020), di Asrama Ninmin Abepura Kota Jayapura.

Ia mengatakan, sebenarnya semua tahanan yang ada dan sedang menjalani proses bahkan yang eksodus dari Pulau Jawa ke Papua korban rasisme Surabaya, Malang dan sekitarnya pada Agustus 2019 lalu. Tetapi ada sebagian orang yang ditahan.

Baca Juga:  Pilot Selandia Baru Mengaku Terancam Dibom Militer Indonesia

“Jadi khususnya kami di Papua masih ada tahanan juga, di Wamena hari ini belum ada efek jerah bagi korban, begitu juga dengan daerah lain di Papua. Sehingga proses hukum harus jalan. Untuk itu adik perempuan yang tiba di Papua ini adalah korban,” katanya.

ads

Ia menjelaskan, dengan acara adat untuk saudara atau saudari yang bebas dan tiba bersama keluarga di Papua. Hal  yang sama juga harus dilakukan kepada semua tahanan korban anti rasisme di Papua. Agar dapat bertemu dengan keluarga seperti Wenebita telah bertemu keluarga.

“Ini negara hukum, semua yang ditahan hari ini adalah korban dari ujaran rasis. Maka harus dibebaskan,” katanya.

Sementara itu, Yerry Tabuni ketua mahasiswa posko Nduga mengutarakan, dengan acara adat secara resmi telah menerima Ariana sebagai mahasiswa eksodus dari Kabupaten Nduga di Papua.

Baca Juga:  Usut Tuntas Oknum Aparat yang Diduga Aniaya Warga Sipil Papua

“Setelah terjadi rasisme di Surabaya, mahasiswa Papua ambil sikap  untuk pulang, kami dari Nduga juga semua pulang tinggalkan Ariana dan 5 kawan kami lainnya. Karena mereka di tahan. Tapi sudah bebas jadi kami terima di eksodus Nduga hari ini,” ucap Yerry.

Ia menegaskan, masalah rasisme pemerintah Indonesia atau Pemerintah Provinsi Papua belum diselesaikan antara mahasiswa eksodus dan pemerintah. Sehingga kata dia, semua masih bertahan di Papua belum kembali.

“Jadi kami minta untuk selesaikan sesuai dengan permintaan kami. Karena kami sudah bilang Monyet tidak bisa hidup dengan manusia. Jadi kami tidak bisa kembali ke tanah Kolonial, kami mau hanya pemerintah Indonesia bertanggungjawab karena masalah rasis kami dari Nduga banyak korban seperti aksi di Uncen kami punya kawan jadi korban,” tegasnya.

Selain itu, Ariana Elopore atau Wenebita Gwijangge mengatakan, perjuangan masih panjang kita harus bersatu dan lawan.

Baca Juga:  Nomenklatur KKB Menjadi OPM, TNI Legitimasi Operasi Militer di Papua

“Saya Wenebita yang sekarang Indonesia bilang Ariana, saya sudah pulang ke Papua. Sehingga ini persoalan ras dan ini persoalan masih panjang meski banyak mahasiswa yang menjadi korban atas ujaran rasis itu. Jadi setelah saya di tahan di dalam penjara saya kuliah saya banyak belajar,” ucap Gwijangge.

Ia bercerita, dirinya saat dikenakan pasal makar ia berpikir kawan-kawan seperjuangan semua pada kemana karena menurutnya tidak bersuara selama ia di tahanan. Namun dirinya saat berada di Papua dan ia mengetahui kalau semua ada.

“Jadi saya pikir kita sama-sama berjuang masalah ini. Sehingga pribadi saya ucapkan terima kasih, karena telah lakukan acara adat untuk menerima saya. Maka harapan saya kita di sini jangan saling menjatuhkan kita harus sama-sama lawan, karena di luar ini penjara yang paling besar,” katanya.

Pewarta: Ardi Bayage

Editor: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaEmpat Pejuang Anti Rasisme Divonis 10 Bulan di Kota Sorong
Artikel berikutnyaSoal Otsus, Aktivis Perempuan: Tanyakan Rakyat Papua Mau Apa?