Melawan Lupa, 22 Tahun Biak Berdarah Mencari Keadilan

0
4300

Oleh: Proletar Bebas)*
Penulis adalah Pemerhati Isu-Isu tentang Papua

Biak Berdarah, Tragedi 6 Juli 1998

Dalam sebuah momen memperingati tragedi Paniai Berdarah yang diselenggarakan pada 8 Desember 2016 di depan Museum Antropologi Universitas Cenderawasih Jayapura-Papua, mama Tineke Rumkabu (salah satu korban Biak Berdarah) diberi kesempatan untuk berorasi. Dengan suara lantang berbaur kepedihan, ia memberi kesaksian tentang pelanggaran HAM di Papua, khususnya di Biak; sebuah kisah kelam yang menimpanya pada 6 Juli 1998 yang silam.

“Saya adalah salah satu korban Biak Berdarah; peristiwa yang terjadi 18 tahun yang lalu. Kami adalah bukti korban kejahatan militer Republik Indonesia. Militer itu tugasnya menjaga, yakni menjadi pagar untuk melindungi masyarakatnya, bukan membunuh. Kalau dia membunuh masyarakat, dia mau menjaga siapa lagi? Jaga binatang-binatang atau jaga apa? Tanggal 6 Juli 1998, di mana tragedi yang memakan ratusan korban, di antaranya perempuan dan anak-anak. Banyak perempuan yang diperkosa, perempuan-perempuan hamil dibunuh. Perutnya disobek dan bayinya dikeluarkan. Perempuan-perempuan itu alat vitalnya dibakar. Dimasukkan lilin ke dalam vagina. Apakah ini perbuatan manusia atau perbuatan biadab? Kami semua lahir dari rahim perempuan Papua, tapi rahim perempuan Papua tidak dihargai oleh militer Republik Indonesia. Kami adalah saksi yang melihat sendiri bagaimana kejahatan dan kebengisan militer Republik Indonesia. Tidak ada manusia yang keluar dari lubang batu. Semua manusia itu lahir dari rahim seorang perempuan. Begitu pun orang Papua. Apakah rahim yang menjadi tempat tinggal selama sembilan bulan, dan menjadi pintu keluar ke dunia ini layak diperlakukan seperti itu? Kami perempuan mengatakan: Tidak! Tidak! Tidak! Hentikan ini! Cukup! Kami juga manusia yang Tuhan ciptakan sama seperti saudara-saudara di wilayah Indonesia lainnya. Kami juga diciptakan sama seperti kamu. Kami bukan monyet. Kami bukan anjing. Kami juga manusia sama seperti manusia lainnya di dunia ini.”[1]

Tragedi Biak Berdarah[2] mulai mencuat ke tengah publik ketika terjadi ‘pembantaian’ yang dilakukan oleh oknum-oknum TNI dan POLRI terhadap 500-1000 warga Papua yang melakukan aksi damai pro ‘kemerdekaan’ dan pengibaran bendera Bintang Kejora pada 6 Juli 1998 di Tower Air, kota Biak, Papua. Aski damai dan pengibaran bendera Bintang Kejora yang juga terjadi di Jayapura, Sorong, Manokwari dan Jayawijaya selama bulan Juli-Oktober 1998 kala itu merupakan bentuk resistensi bangsa Papua terhadap sejarah pengintegrasian Irian Barat (sekarang Papua) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1960-an melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang dianggap tidak demokratis dan cacat hukum. Mereka menilai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah melanggar hak mereka untuk menentukan nasib sendiri; sebagaimana yang diakui di dalam Piagam PBB, Perjanjian Internasional mengenai hak-hak sipil dan politik, dan hukum-hukum internasional lainnya tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Aksi tersebut juga merupakan bentuk protes terhadap berbagai pelanggaran HAM dan ketidakadilan di Papua, yang disebabkan oleh militerisme dan timpangnya kebijakan pembangunan di wilayah Papua dalam hal transmigrasi, undang-undang Otonomi Khusus,  eskploitasi sumber daya alam, maupun turisme. Mereka tidak lagi mendapatkan posisi sebagai subjek yang mengatur dan menentukan nasib hidupnya sendiri, tetapi menjadi objek dan bahkan korban kebijakan pemerintah Indonesia yang dinilai telah menegasikan hak-hak hidup rakyat Papua.

ads

Sebagai bentuk resistensi terhadap segala bentuk ketidak-adilan sistemik yang terjadi di Papua tersebut, pada 2-6 Juli 1998, Filep Karma bersama beberapa warga sipil Papua melakukan aksi damai pro ‘kemerdekaan’ dan pengibaran bendera Bintang Kejora di menara (tower) air kota Biak. Dalam orasinya, Karma menyatakan bahwa kemerdekaan Papua Barat semata-mata karena kasih karunia Tuhan, bukan karena jasa siapa pun. Dasar perjuangan kita adalah hukum utama dalam Alkitab, yaitu: Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, jiwamu, dan segenap akal budimu. Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Oleh karena itu, kemerdekaan Papua Barat tidak boleh dinodai oleh pertumpahan darah. Kita harus menjunjung tinggi hak asasi manusia. Ini baru perjuangan yang benar. Jadi, jika kita hanya bersenjatakan Alkitab dan nyanyian rohani, polisi tidak akan menembak kita (ELS-HAM, 1999:11).

Penggalan orasi tersebut disampaikan berulang kali untuk meredam massa yang saat itu berdatangan ke tower air sambil membawa senjata tajam maupun bom rakitan. Sampai dengan 6 Juli 1998, situasi kian memanas. Pihak pemerintah daerah maupun aparat keamanan bersama tokoh agama (beberapa pendeta GKI) berkali-kali berusaha membangun negosiasi dengan kelompoknya Karma agar segera menurunkan bendera Bintang Kejora dan membubarkan massa. Akan tetapi, Karma bersikeras mempertahankan kibaran bendera tersebut agar dunia dapat menyaksikan upaya deklarasi kemerdekaan bangsa Papua. Baginya, bendera yang telah berkibar lebih dari 1×24 jam adalah tanda bahwa bangsa Papua telah merdeka. Bendera Bintang Kejora akan diturunkan jika Sekertaris Jenderal PBB (saat itu dijabat oleh Kofi Anan) datang dan menyaksikan peristiwa tersebut.

Ketika usaha negosiasi tersebut dirasa tidak membuahkan hasil, pasukan gabungan yang terdiri dari TNI AD, AL dan POLRI mulai dikerahkan. Mereka menyerbu dan menyerang masyarakat yang sedang berkumpul di bawah tower air yang tengah mengadakan doa bersama diiringi tari-tarian tradisional. Pertumpahan darah pun kembali terjadi di tanah Biak untuk kesekian kalinya. Hasil investigasi ELSHAM Papua meunjukkan bahwa ada 8 orang meninggal, 3 orang hilang, 4 orang luka berat dan dievakuasi ke Makassar, 33 orang luka ringan, 150 orang ditangkap dan disiksa, 32 mayat ditemukan mengapung di perairan laut Biak.

Indonesia Adalah Kubangan Luka

Jika ditinjau dari sejarah ‘penaklukan’ terhadap bangsa Papua, pengalaman ketertindasan dan penganiayaan terhadap bangsa Papua yang berujung pada banyaknya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masih terus berlanjut sampai dengan saat ini. Pada tahun 1960, ada harapan besar untuk memperoleh kedaulatan kemerdekaan ketika pemerintah kolonial Belanda menyatakan janjinya untuk memberikan hak merdeka bagi bangsa Papua.

1 Desember 1961 menjadi tonggak sejarah bangsa Papua, dimana mereka mendeklarasikan Papua Barat sebagai negara merdeka dengan bendera “Bintang Kejora” sebagai simbol negara dan “Hai Tanahku Papua” sebagai lagu kebangsaannya. Akan tetapi, upaya tersebut dipatahkan oleh pemerintah Indonesia yang juga berupaya mengintegrasikan wilayah Irian Barat (baca: Papua) ke dalam Republik Indonesia atas nama pembebasan bangsa Papua dari kolonialisme Belanda.

Sebagai solusinya, Indonesia menyeret Belanda ke dalam penandatanganan Perjanjian New York 1962 karena Presiden Soekarno menganggap keberadaan negara “Papua Barat” semata-mata hanyalah negara boneka buatan Belanda. Alhasil, pada 1 Mei 1963, di bawah Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNTEA), Irian Barat untuk sementara diserahkan kepada pemerintah Indonesia sambil menunggu dilaksanakannya referendum melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada 1969, di mana rakyat Irian Barat akan memilih untuk bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri sebagai negara yang berdaulat. Harapan bangsa Papua untuk menjadi negara berdaulat hanya menjadi mimpi indah yang tak kunjung nyata.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Meskipun hasil PEPERA telah menyatakan bahwa Irian Barat adalah bagian integral dari negara Indonesia, gelombang protes dari rakyat Papua terus dikumandangkan. Bagi rakyat Papua, proses PEPERA yang disepakati atau seharus one man one vote mengandung ketidakadilan dan cacat hukum karena suara-suara penentu tersebut hanya diambil dari masing-masing perwakilan wilayah yang dalam catatan kritis dinilai adanya keterlibatan rezim militer yang dengan berbagai cara telah mengintervensi para perwakilan tersebut agar memilih bergabung ke Indonesia. Pengambilalihan administratif Indonesia atas Papua menjadi titik pijak perlawanan bersenjata antara bangsa Papua (OPM) dengan pemerintah Indonesia (aparat keamanan) sampai dengan saat ini. Dalam hal ini, militerisasi menjadi kunci pemberangusan bangsa Papua yang berujung pada eskalasi konflik di Papua.

Faktor lain yang mempengaruhi meningkatnya kebencian dan pertikaian setelah 1969 adalah percepatan imigrasi, investasi berbagai perusahaan asing yang mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah Papua, dan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU OTSUS), yang hanya menjadikan bangsa dan tanah Papua sebagai objek jarahan. Rakyat Papua kehilangan hak-hak atas hidupnya karena dianggap kalah bersaing di hadapan para migran sehingga mereka tersingkir lalu menjadi asing di atas tanahnya sendiri. Mereka tidak lagi ditempatkan sebagai subjek pembangunan yang memiliki hak untuk menetukan nasibnya sendiri, tetapi hanya menjadi objek pembangunan yang multak perlu untuk diberdayakan dan ditertibkan. Bagi mereka, Indonesia adalah kubangan luka bagi bangsa Papua. Karena itu, hemat saya, berbagai bentuk perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Papua tidak mutlak dibaca sebagai separatisme belaka, tetapi lebih merupakan upaya menghindari ‘luka’ yang terus menganga dari masa ke masa.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengidentifikasi empat sumber konflik di Papua, yakni: (1) marjinalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua; (2) kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat; (3) kekerasan negara di masa lampau; dan (4) kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Realitas menunjukkan bahwa sampai dengan saat ini persoalan-persoalan tersebut belum dituntaskan secara komprehensif dan menyeluruh, meskipun telah diupayakan penyelesaiannya melalui berbagai cara.

Dalam kaitannya dengan tragedi Biak Berdarah, bagi Karma, – mengingat Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998 – aksi yang dilakukan oleh kelompoknya pada 2-6 Juli 1998 merupakan peluang bagi rakyat Papua untuk menyuarakan aspirasinya yang telah lama dibungkam oleh rezim Orde Baru milik Soeharto. Sejak 1960-an sampai 1980-an, Biak menjadi daerah operasi militer karena dianggap sebagai zona merah, tempat bersarangnya kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pada masa itu, banyak masyarakat yang menjadi korban penangkapan maupun penculikan yang berujung pada pembantaian dan pembunuhan. Banyak ibu dan anak gadis pun menjadi korban pemerkosaan. Ironisnya, ada seorang anak yang lahir dari hasil pemerkosaan tersebut diberi nama ‘Kodim’ sebagai tanda bahwa ia lahir karena perbuatan oknum tentara Kodim yang tidak bertanggungjawab. Nama itu juga menjadi isyarat kebencian masyarakat atas tindakan amoral aparat keamanan (Karma, 2014:18). Bertolak dari situasi ketidakadilan yang tiada hentinya menimpa bangsa Papua dan sikap apatis apparatus negara, masyarakat lokal (terutama korban dan keluarga korban) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Papua, dan para pemimpin gereja membangun inisiatif untuk menuntut keadilan.

Jalan Panjang Mencari Keadilan

Pada peringatan hari HAM ke-69, 10 Desember 2017 yang dilaksanakan oleh Komnas HAM perwakilan Papua bersama sejumlah LSM dan para korban serta keluarga korban di Kabupaten Biak, ada sejumlah pernyataan sikap yang dideklarasikan. Dengan mengusung tema “Menagih Janji Negara Untuk Menuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Papua”.

Diskusi publik yang dilaksanakan pada momen tersebut bertujuan untuk membangun kesadaran bersama antara warga negara dan pemerintah demi mengupayakan pemajuan dan penegakan HAM secara bersama di Tanah Papua, juga sebagai salah satu upaya untuk mendorong percepatan pembentukan Peraturan Gubernur Papua demi pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM di Papua, khususnya di Kabupaten Biak. D

Dari diskusi publik tersebut lahirlah pernyataan sikap sebagai sebuah gerakan bersama untuk terus mengingatkan dan mendesak negara agar segera mengambil langkah-langkah efektif untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua. Berikut ini adalah isi pernyataan sikap:

  • Mendesak Komnas HAM agar segera membuka kembali Kasus Biak Berdarah, 6 Juli 1998 dan membentuk Tim Ad Hoc untuk melakukan penyelidikan secara menyeluruh.
  • Para pelaku peristiwa Biak Berdarah, 6 Juli 1998 harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum dan diadili di muka hukum melalui mekanisme Pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk oleh negara di Kabupaten Biak.
  • Mendesak Komnas HAM agar segera melanjutkan upaya penyelidikan untuk menuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat, Paniai Berdarah, Wasior Berdarah, Wamena Berdarah dan Sanggeng Berdarah.
  • Apabila mekanisme hukum nasional untuk menyelesaikan Kasus Biak Berdarah dan Pelanggaran HAM Berat lainnya di Papua tidak berjalan efektif maka mekanisme hukum internasional menjadi pilihan yang paling tepat untuk menyelesaikannya sejumlah Kasus Pelanggaran HAM Berat di Papua, karena negara dipandang tidak mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Berat di Papua.
  • Mendesak Gubernur Papua dan Papua Barat untuk mengambil kebijakan hukum yang diletakan dalam konteks otonomi khusus untuk upaya perlindungan, pemberdayaan serta pemenuhan hak-hak para korban dan atau keluarga korban pelanggaran HAM di Papua.
  • Mendesak Biro Hukum Pemerintah Daerah Provinsi Papua untuk segera merealisasikan Peraturan Gubernur tentang Pemenuhan Hak-hak Korban dan Keluarga Korban Pelanggaran HAM di Papua sebagaimana janji Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe.
  • Mendesak para pemimpin gereja di Tanah Papua untuk terus menyuarakan keadilan bagi para korban dan keluarga korban dan terus mengingatkan negara agar segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Berat di Papua.
  • Mendesak Komnas HAM Perwakilan Papua untuk memfasilitasi korban dan menyiapkan laporan kasus-kasus pelanggaran HAM berat untuk dilakukan Diplomat Meeting HAM ke semua Kedutaan-Kedutaan Besar Negara Asing di Indonesia sebagai suatu mekanisme percepatan penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM di Papua.[3]

Tak hanya sampai di situ. Apolos Sroyer, perwakilan Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) Biak, dalam sebuah rapat majelis Kankain Kankara[4] Biak (KKB) pada 6 Juli 2018, angkat suara untuk menyikapi tragedi Biak Berdarah. Sebagai bentuk pernyataan sikap, Sroyer menyampaikan beberapa hal penting yang menjadi perhatian banyak pihak.

  • KKB menyerukan kepada semua pihak untuk menghargai hak asasi manusia masyarakat adat Papua sebagai hak yang fundamental untuk hidup dan berkembang di atas tanah leluhur nenek moyang tanpa adanya tekanan politik.
  • KKB yang terdiri dari para Wananwir[5] mencatat bahwa peristiwa 6 Juli 1998 jelas-jelas merupakan kejahatan negara terhadap HAM Papua.
  • KKB mencatat dan mendorong bentuk penyelesaian tragedi 6 Juli dalam bentuk penyelesaian secara adat. Karena itu, KKB mendorong kepada lembaga-lembaga internasional, NGO dan negara-negara internasional dan nasional untuk mendorong penyelesaian secara adat.
  • KKB mendorong dan mempercayakan ketua peradilan KKB untuk menangani penyesaian kasus 6 Juli 1998 secara adat.
  • KKB mendorong dan merekomendasikan kepada pihak komunitas korban HAM di Papua untuk segera melaporkan dugaan pelanggaran HAM yang merupakan kejahatan negara atas hak-hak masyarakat adat Papua.[6]
Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Di hari yang sama, tepatnya di kota Jayapura, Peneas Lokbere selaku koordinator BUK Papua menyatakan bahwa peristiwa Biak Berdarah merupakan kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat TNI-POLRI. Seperti dalam situasi perang, ada kapal perang yang siap siaga di perairan laut Biak. Setelah itu mereka menyerobot masuk ke tengah-tengah massa yang sedang beraksi sambil melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap kerumunan masa tersebut. Karena itu, sebagai pernyataan sikap, ia juga menyampaikan beberapa hal berikut ini:

  • Mendesak Komnas HAM untuk membentuk tim investigasi khusus untuk kasus Biak Berdarah.
  • Membentuk pengadilan HAM untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM.
  • Mendesak Presiden Indonesia untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat kasus Biak Berdarah, Kasus Wasior 2001, kasus Wamena 2003 dan Paniai 2014.[7]

Tragedi Biak berdarah telah berjalan selama 19 tahun (termasuk berbagai kasus pelanggaran HAM lainnya di wilayah Papua yang sampai saat ini masih mengambang), tetapi negara Indonesia sebagai negara hukum yang juga memiliki mekanisme hukum yang berhubungan dengan pelanggaran HAM belum memberi titik terang. Impunitas dan sikap apatis dari negara kian meninggi. Begitupun dengan masyarakat sipil yang menyuarakan hak-haknya pun diabaikan begitu saja hanya karena alasan regulasi dan mekanisme hukum yang begitu kompleks, rumit dan terkesan tumpang-tindih.

Sebagai contoh, UU OTSUS no 21 tahun 2001 pasal 45 yang berisi tentang pembentukan perwakilan Komnas HAM, Pengadilan HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di provinsi Papua belum berjalan maksimal. Saat ini baru dibentuk Komnas HAM, sedangkan Pengadilan HAM dan KKR masih menemui jalan buntu. Pada tahun 2000[8], proses institusionalisasi pembentukan KKR mulai dicanangkan dengan merujuk pada Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang pembentukan KKR nasional tahun 2000. Selain itu, mandat pembentukan KKR juga terdapat dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang menempatkan KKR sebagai sebuah mekanisme alternatif penyelesaian pelanggaran HAM masa lampau. Dalam hal ini, KKR menjadi lembaga ekstra-yudisial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau serta melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.

Selanjutnya, pada 7 September 2004, dalam Rapat Paripurna DPR, Rancangan Undang-Undang (RUU) KKR akhirnya disahkan menjadi undang-undang (UU No. 27 Tahun 2004). Akan tetapi, ketika beberapa elemen masyarakat sipil, termasuk ELSHAM mengajukan permohonan uji materi atas UU No. 27 Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi (MK), upaya tersebut tidak membuahkan hasil. MK justru membatalkan keseluruhan UU KKR karena dalam rumusan norma maupun kemungkinan pelaksanaannya di lapangan tidak dimungkinkan untuk mencapai tujuan rekonsiliasi. Dengan pertimbangan demikian, MK berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR, sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU KKR, tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum. Oleh karena itu, MK menilai UU KKR secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.[9]

Di tengah kegamangan yang ada, masyarakat sipil maupun para pegiat HAM di Papua yang merupakan daerah otonomi khusus pun mengalami kendala dalam upaya mencari keadilan dan membangun rekonsiliasi. UU OTSUS no. 21 Tahun 2001, khususnya Pasal 46 yang berisi tentang tugas KKR perwakilan di wilayah Papua hanya terpusat pada upaya klarifikasi sejarah pengintegrasian wilayah Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanpa ada tugas lain dalam hal pemenuhan hak-hak korban maupun penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM lainnya yang terjadi di wilayah Papua. Tugas KKR Papua dalam merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi – termasuk sususan keanggotaan, kedudukan, pengaturan pelaksanaan tugas dan pembiayaan KKR – akan diatur dalam Keputusan Presiden setelah mendapatkan usulan dari Gubernur.

Pertanyaannya: apakah para elit politik Papua telah mengupayakan hal tersebut? Jika benar bahwa mereka telah mengupayakan pembentukan KKR Papua, maka pertanyaan selanjutnya adalah: mengapa penegakan keadilan dan rekonsiliasi tak kunjung menuai hasil? Sepertinya jalan mencari keadilan di Papua kian memanjang jika berbagai upaya peace-building senantiasa dibenturkan dengan kompleksitas peraturan perundang-undangan di negara yang katanya demokratis ini.

Dialog Jakarta-Papua dan Cita-Cita ‘Papua Tanah Damai’

Sebagai opsi lain dalam menindaklanjuti upaya peace-building di tanah Papua, banyak pihak yang memiliki keprihatinan khusus atas banyaknya konflik Papua telah mengumandangkan pentingnya dialog antara pemerintah Indonesia dan orang Papua, atau yang dikenal dengan nama dialog Jakarta-Papua sebagai jalan menuju Papua Tanah Damai. Penyelesaian konflik secara damai melalui jalan dialog menjadi pilihan dan kebutuhan utama yang mendesak demi mencegah terjadinya kekerasan yang berkelanjutan. Aksi kekerasan sebagai solusi atas konflik Papua justru menambah tumbal nyawa, pertumpahan darah dan memperbanyak masalah yang pada dasarnya bertentangan dengan HAM.

Usaha dialog yang dicanangkan dan dilaksanakan oleh Pastor Dr. Neles Kebadaby Tebay, Pr bersama rekan-rekannya selama ini tidak semata-mata merupakan aksi tersembunyi yang bernada separatis, tetapi lebih merupakan aksi damai yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan; sekaligus sebagai bentuk keprihatinan atas berbagai konflik di Papua yang sampai saat ini belum menemukan titik penyelesaian. Usaha ini juga merupakan suatu bentuk pencerahan bagi pemerintah Indonesia dan rakyat Papua pada umumnya; sekaligus meluruskan berbagai anggapan negatif dari kedua belah pihak terhadap masing-masing konsep pemikiran dan gerakan. Tujuan akhir yang hendak dicapai adalah Papua Tanah Damai yang berimplikasi pada kesejahteraan, keadilan dan kedamaian yang ‘memerdekakan’ rakyat Papua dari keterpurukan hidup yang telah sekian lama menggerogoti berbagai aspek kehidupan mereka dari masa ke masa. Dengan demikian, tidak ada lagi konflik yang menuntut tumbal nyawa dari kedua belah pihak, dan mimpi-mimpi serta segala harapan dan kebutuhan rakyat Papua dapat tercapai. Selain itu, pemerintah juga dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara baik dan benar dalam sebuah sistem pemerintahan yang demokratis dan berdaya guna bagi seluruh rakyatnya.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Demi menunjang tercapainya keadilan dan perdamaian di tanah Papua melalui jalan dialog, saya pikir perspektif budaya damai sebagai tradisi dan kearifan lokal yang ada di setiap suku di wilayah Papua mutlak perlu diintegrasikan dalam proses dialog. Pendekatan model ini menjadi ruang baru untuk menemukan mekanisme kultural dan ritual apa saja yang tersedia bagi terciptanya nilai solidaritas, toleransi, dan penyelesaian konflik yang mengarah kepada perdamaian dan keadilan di antara kedua belah pihak yang bertikai.

Dengan demikian, bangsa Papua mendapat ruang ekspresi untuk melihat dirinya dan dunia yang mengitarinya, serta menjadi pondasi bangunan rekonsiliasi di tanah Papua, di mana upaya dialog menjadi jalan yang mengantar bangsa Papua untuk keluar dari kubangan luka menuju cita-cita Papua Tanah Damai. Dalam konteks ini, upaya penyelesaian masalah Papua yang selama ini digencarkan, seperti pemekaran kabupaten maupun provinsi beserta pembangunan infrastrukturnya, atau pun mengundang beberapa perwakilan tokoh Papua untuk berdialog di Istana Negara adalah absurd dan menyimpang dari tuntutan nurani bangsa Papua.

Berkaitan dengan upaya peace-building dalam kasus Biak Berdarah, KKB telah menyatakan sikapnya pada 6 Juli 2018, di mana mereka mendorong lembaga-lembaga internasional, LSM dan negara-negara internasional maupun nasional untuk melakukan penyelesaian konflik secara adat. Mengingat berbagai benturan peraturan perundang-undangan di negri ini, maka pemerintah daerah dan pemerintah pusat maupun elemen-elemen pemerhati HAM seharusnya cepat tanggap dalam mengupayakan perdamaian, keadilan dan rekonsiliasi atas tragedi Biak Berdarah (termasuk berbagai kasus pelanggaran HAM lainya di tanah Papua) di tingkat lokal. Memang upaya rekonsiliasi di wilayah Papua cukup sulit karena para korban dan keluarga korban lebih menuntut pengungkapan para pelaku beserta hukuman yang setimpal, tetapi peluang rekonsiliasi di tingkat lokal menjadi mutlak perlu demi pengungkapan kebenaran maupun trauma-healing.

Selain itu, saya perlu memberi apresiasi kepada Komnas HAM Perwakilan di Papua yang telah menyusun dan mengajukan draft PERGUB Provinsi Papua Tahun 2016 tentang pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat di Papua.[10] Hemat saya, sejauh rekonsiliasi masih berkutat pada tataran peraturan perundang-undangan, maka upaya rekonsliasi di Papua akan menjadi sia-sia belaka karena kompleksitas regulasi yang tumpang-tindih. Karena itu, mengingat Papua sebagai daerah otonomi khusus, pemerintah daerah dan Komnas HAM Perwakilan Papua perlu bekerja sama untuk membuat produk peraturan di tingkat daerah; entah itu Peraturan Gubernur (PERGUB) maupun Peraturan Daerah (PERDA) yang berhubungan dengan upaya penegakan keadilan maupun rekonsiliasi di wilayah Papua.

Dalam hal ini, selain korban, keluarga korban dan saksi; Komnas HAM Perwakilan Papua, LSM-LSM HAM, kelompok masyarakat sipil, para pemimpin gereja, dan semua pihak yang memiliki kepedulian terhadap keadilan dan demokrasi yang menjadi hak-hak masyarakat sipil harus tetap menyuarakan dan memperjuangkan keadilan di tanah Papua. Dalam semangat cita-cita ‘Papua Tanah Damai’, kerja sama model ini mutlak untuk diperkuat dan senantiasa diperjuangkan tanpa kenal lelah sebagai upaya untuk menyalakan ‘lilin’ perdamaian sepanjang jalan berkabut mencari keadilan di negeri yang demokratis ini. Meskipun terkesan sulit dan melelahkan, paling tidak cucuran peluh, air mata dan darah rakyat Papua di sepanjang jalan mencari keadilan tersebut menjadi bukti bahwa mereka sedang menabur benih-benih ‘bunga’ perlawanan yang pada akhirnya tumbuh menjadi besar; dan akar-akarnya akan merobohkan kokohnya tembok tirani yang telah sekian lama membungkam hak-hak masyarakat sipil. (*)

Daftar Pustaka

Braithwaite, John, et.al. 2010. Anomie and Violence: Non-Truth and Reconciliation in Indonesian Peacebuilding. Canbera: ANU E Press.

ELSHAM, “Mendorong Pembentukan Kembali UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi” (policy Brief).

————, 1999. “Nama Tanpa Pusara, Pusara Tanpa Nama” (Laporan Pelanggaran HAM di Biak-Irian Jaya), Jayapura.

Karma, FIlep, 2014. Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua. Jayapura: Deiyai.

LIPI, 2018. Papua Road Map, Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future (short version), Jakarta.

Tebay, Neles. 2012. Angkat Pena demi Dialog Papua: Kumpulan Artikel Opini tentang Dialog Jakarta-Papua Tahun 2001-2011. Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei.

Webster, David (ed). 2017. Flowers in the Wall: Truth and Reconciliation in Timor-Leste, Indoensia and Melanesia. Australia: ANU Press.

Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Wawancara dengan Melkior Weruin, Komisioner Komnas HAM Perwakilan Papua via telepon pada 11 Juni 2019, pkl. 23.00 WIB

http://advokasi.elsam.or.id/assets/2015/09/00000000_Polivy-Brief_Mendorong-pembentukan-kembali-UU-KKR.pdf

https://www.youtube.com/watch?v=n6L2U1QQ9xU

https://www.youtube.com/watch?v=T9A3PDd2ZQs

http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2000_26.pdf

http://www.biak-tribunal.org/wp-content/uploads/2014/09/ELSHAM-Laporan-Biak-1998_Bahasa-Indonesia.pdf

[1] Kutipan pernyataan mama Tineke Rumkabu tersebut diambil dari video dokumentasi Sekretariat Keadilan, Perdaiaman, dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, yang dipublikasikan pada Desember 2016. Bisa diakses di https://www.youtube.com/watch?v=T9A3PDd2ZQs

[2] Uraian tentang ‘Biak Berdarah’ ini merupakan ringkasan dari Laporan Pelanggaran HAM di Biak, Irian Jaya “Nama Tanpa Pusara, Pusara Tanpa Nama” yang diterbitkan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELS-HAM) Irian Jaya-Jayapura, Juli 1999. Lihat http://www.biak-tribunal.org/wp-content/uploads/2014/09/ELSHAM-Laporan-Biak-1998_Bahasa-Indonesia.pdf

[3] Komnas HAM Perwakilan Papua, “Menagih Janji Negara Untuk Menuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Papua”, Deklarasi Peringatan Hari HAM ke-69 Tanggal 10 Desember 2017 di Kabupaten Biak,

[4] Kelompok musyawarah masyarakat adat Biak.

[5] Para pemangku adat wilayah Biak.

[6] Pernyataan sikap tersebut disadur dari video dokumentasi SKPKC Fransiskan Papua. Dapat diakses di  https://www.youtube.com/watch?v=n6L2U1QQ9xU

[7] Ibidem.

[8]http://advokasi.elsam.or.id/assets/2015/09/00000000_Polivy-Brief_Mendorong-pembentukan-kembali-UU-KKR.pdf

[9] Lihat Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006.

[10] Upaya penyusunan dan pengajuan draft PERGUB tersebut merupakan tindak lanjut dari pidato Gubernur Provinsi Papua pada peringatan Hari HAM sedunia pada 10 Desember 2015 di Jayapura, yang berisi komitmen untuk mewujudnyatakan semua amanat UU OTSUS, khususnya pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Perwakilan di Papua demi pemenuhan hak-hak masyarakat. Komnas HAM Perwakilan Papua juga mengupayakan PERDA yang berkaitan dengan upaya penegakan HAM di Papua, tetapi sering mengalami kendala terkait uji materi di MK, sehingga mereka memilih untuk membuat dan mengajukan draft PERGUB agar segala bentuk perjuangan penegakan HAM di Papua memiliki kekuatan hukum. Sampai dengan saat ini, PERGUB tersebut masih dalam tahap revisi sambil menunggu ratifikasi yang entah sampai kapan dapat direalisasikan. (Hasil wawancara dengan Melkior Weruin, Komisioner Komnas HAM Perwakilan Papua via telepon pada 11 Juni 2019, pkl. 23.00 WIB),

Artikel sebelumnyaHMKY Minta Pemkab Yalimo Klarifikasi Soal Dua Orang Positif Corona
Artikel berikutnya40 Mahasiswa Universitas Yapis Wamena Akan Diwisuda Akhir 2020