Martabat Perempuan Tanah: Outsight, Insight dan Inside

0
1683

Oleh : Sri Wahyuni Yuliana Alfonsina Rumbarar)*
)* Penulis adalah Perempuan Tanah Papua dari Wilayah Adat Saireri, Sarjana Kedokteran Uncen (2020),  Puteri Indonesia Papua Berbakat (2011), pernah bekerja sebagai presenter TV di Papua TV dan SCTV, pernah di KNPI, Pernah bekerja di Lembaga Pemantau Kinerja KPU Provinsi Papua, sekarang sebagai Sekwil Perempuan LIRA (Lumbung Informasi Rakyat).

Tumpukan isi noken di kepala kami Perempuan Tanah Papua makin berat ketika ditambah lagi stigma rasis  “perempuan tanah piala bergilir” oleh MJY. Bertumpuk makin tinggi di atas beban masalah bersama Papua lainnya yang sudah ada seperti marginalisasi, diskriminasi, rasisme, ketertinggalan dalam pembangunan, rendahnya SDM dan sebagainya.

Kami makin membungkuk dan sulit untuk berjalan dengan kepala tegak.  Generasi terdahulu kami, mama-mama kita, telah mempersembahkan putra putri terbaik Papua, di kampung maupun kota. Ada yang terkenal maupun tidak.  Ada yang menjadi Gebernur, Kapolda, Pangdam, Bupati, anggota dan Pimpinan DPR maun MRP,  Menteri, ilmuwan, akademisi, pejuang, politisi dan masih banyak lagi. Kebanggaan karena semua persembahan terbaik itu seperti susu sebelanga yang dirusak oleh nila setitik dalam postingan MJY. Dan kami memikul beban penghinaan yang merendahkan martabat itu.

Saudara Imelda Kopeuw merangkum beragam tanggapan terhadap postingan itu dengan judul “Perempuan Tanah Melawan“. Tulisan tersebut diterbitkan oleh Suara Papua. Dan saya mau memberi kontribusi dengan menempatkan diri  sebagai  “saudara perempuan” terhadap “saudara laki-laki”.

Sebelum lanjut, saya jelaskan cara pandang saya. Saya berdiri di atas keyakinan bahwa semua manusia itu berdosa dan siapa yang mengaku dirinya tidak berdosa menipu dirinya sendiri. Kebenaran tidak ada di dalam dia. Di atas prinsip  itu, saya memilih pendekatan yang saya pakai. Ada tiga pilihan buat saya. Bisa melalui pendekatan outsight insight di mana orang lain (dia atau mereka, misalnya MJY) melihat dan menilai saya sebagai bagian dari kami (Perempuan Tanah Papua). Saya pun bisa pilih pendekatan itu misalnya dengan menempatkan diri seolah-olah saya bukan orang Papua yang sambil bertepuk  tangan melihat orang Papua dengan orang Papua baku sikat. Bisa melalui pendekatan insght  outsight di mana saya atau kami (misalnya perempuan tanah) menilai dia atau mereka (baca tulisan saudara Imelda di atas pada sub judul tentang tiga langkah pertama melawan penghinaan MJY). Bisa melalui pendekatan insight inside atau  pendekatan sadar diri dimana sebagai bagian dari sesama  orang dalam Papua  belajar bersama untuk mengenal  diri sebagai “kita”, satu keluarga masyarakat adat Papua, laki-laki bersama perempuan. Saya menggunakan pendekatan insight inside.

ads

Peran Saudara Perempuan dari Pandangan “Insight”

Manusia, laki-laki dan perempuan,  berdasarkan ajaran agama adalah citra Allah yang setara. Secara universal, kesetaraan ini ditransformasikan dalam konsep kesetaraan gender untuk saling memahami,  menghargai  dan berbagi peran antara perempuan dan laki-laki. Demikianlah pula dalam tatanan keluarga adat masyarakat Papua, yang tersebar di Tujuh Wilayah Adat. Salah satunya adalah di wilayah adat Sareri, dari mana saya berasal.   Peran itu banyak sekali, sebanyak semua aspek hidup kita. Dari sejak kita dalam kandungan sampai masuk kuburan. Namun, saya tidak ulas semua. Saya sekilas hanya ulas pemikiran saya mengenai peran saudara perempuan  yang mendasari keputusan saya pegang spanduk berisi tulisan “Kaka Coba Ko Jujur, Perempuan Sapa Yang Bikin Ko Jalan Dengan Luka Sampe Ko Pukul Rata Tong Semua PEREMPUAN TANAH”  pada aksi  menyikapi postingan MJY  tgl 6 Juli 2020 di Pantai Hamadi.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Dalam adat kami,  dan bisa jadi dalam semua adat di Tanah Papua, saudara perempuan dan tanta adalah orang yang bawa muka dan pasang badan untuk urus pernikahan saudara laki-laki. Kami hias diri kami dengan pakaian adat, kami gandeng saudara laki-laki  kami di lengan kiri dan kanan dalam tarian adat menuju rumah pihak perempuan, kami bawa uang susu untuk calon mama mantu, kami dansa sekuat tenaga dan masuk ketuk pintu. Kami menyanyi lagu “Angin Timur Angin Barat, membawa saudara kami ke mama mantu …” Kamilah angin timur, dan laki-laki yang mengiringi adalah angin barat. Mama menangis saat kami membawa saudara laki-laki kami ke mama mantu. Kalau sodara laki-laki kami dicaci-maki, kami yang tangkis cacian dan hinaan itu. Kalau pinangan diterima, kami paling bersyukur. Kami yosim pancar di rumah mama mantu dan di muka calon ipar yang kami harap akan melahirkan dan membesarkan anak-anak sebagai generasi penerus marga kami.

Begitu didikan adat. Dan sebagai anak adat pula saya berdiri pegang spanduk dan bilang ke MJY sebagaimana saudara perempuan kepada saudara laki-laki dalam satu keluarga bernama Papua. Sesungguhnya saya merasa iba. Saya melihat perbuatan pribadi MJY itu sebagai perbuatan laki-laki Papua yang lupa identitas diri. Seharusnya itu urusan pribadi mereka tetapi perbuatan itu disingkap ke ruang publik sehingga menghina perempuan Papua secara pukul rata. Secara simbolik saya sampaikan poster itu agar masalah yang ada dalam pandangan dia sebagai laki-laki Papua terhadap perempuan Papua yang menimbulkan penghinaan terhadap martabat perempuan Papua dibuka, dibahas dan dicarikan solusi.

“Insight Inside” (1)  : Indikasi Proses Kehilangan Identitas Diri

Seorang mama, tanta atau saudara perempuan dalam adat di Papua, seperti juga dalam semua adat, akan lakukan yang terbaik untuk anak laki-laki, keponakan laki-laki atau saudara laki-lakinya. Baik dengan memberi  penghargaan (award) maupun hukuman (punishment). Itulah yang saya lakukan dalam tulisan ini bagi MJY dengan memandang dia sebagai saya punya saudara laki-laki dalam keluarga besar Papua.

Postingan MYJ tidak buruk seluruhnya. Ada bagian berisi stigma sexist “piala bergilir” dan stigma rasis “perempuan tanah” Itu buruk. Itu sangat menghina kami. Tapi ada pula bagian lain yang menasihati kami perempuan untuk belajar dan tidak mengandalkan kecantikan fisik. Cantik saja tidak cukup harus pula pintar dan memiliki etika moral. Itu nasihat yang baik. Sayang sekali bahwa nasihat yang baik dibungkus dengan kemasan yang buruk.

MJY adalah laki-laki berpendidikan. Dia sarjana. Sebagai Duta Baca Papua dia memiliki lingkungan pergaulan berkelas, termasuk dengan pejabat. Itu menunjukkan bahwa dia telah dididik dengan baik dalam keluarga. Mengapa sampai terjadi hal di mana saudara laki-laki ini kemudian menyampaikan  pesan buruk yang tidak sesuai dengan latar belakang yang baik di atas?

Saya ingat kisah dalam Alkitab tentang Anak Bungsu yang memperoleh segala kebaikan di rumah Bapa (dan Mama) tetapi kemudian meminta haknya lalu pergi meninggalkan rumah dan hidup dalam lingkungan yang tidak sesuai dengan lingkungan asalnya. Lingkungan baru itu merubah Anak Bungsu sehingga berperilaku buruk.  Saya membayangkan MJY sebagai Anak Bungsu yang terhilang. Tapi bukan dia saja. Itu potret diri kita. Pandangan MJY maupun perilaku yang dikritik oleh MJY adalah indikasi sikap  dari generasi kita saat ini, generasi yang mulai lupa jati diri.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Generasi Muda Papua sedang bersosialisasi dalam berbagai kebudayaan baik dari dalam maupun dari luar.  Saya mengutip penjelasan Profesor Wim Poli dalam postingannya di akun facebook berjudul Beda Budaya dan Beda Generasi.

Menurut Profesor Wim Poli, proses sosialisasi adalah proses pembentukan perilaku generasi masa depan lewat pendidikan, baik formal mau pun informal. Perilaku yang dibentuk itu didasarkan pada nilai-nilai budaya tertentu sebagai acuan. Nilai-nilai itu dimasukkan ke dalam generasi penerus sejak dari usia dini. Inkulturasi! Tetapi, betapapun intensif jalannya proses sosialisasi dan inkulturasi, tidak ada proses yang sempurna. Ini berarti selalu ada peluang terjadinya kesenjangan cara pandang. Di samping itu, di dalam masyarakat yang kian majemuk di era globalisasi, terjadi peningkatan arus manusia, barang, informasi, dan gaya hidup, yang melintas batas negara. Dalam keadaan demikian, golongan muda cenderung lebih dipengaruhi oleh “barang-barang asing dari luar”. Maka kesenjangan cara pandang antara golongan di satu lingkungan kebudayaan kian meningkat. Baiknya ialah: kebudayaan sendiri berpeluang diperkaya oleh kebudayaan asing. Buruknya ialah: kebudayaan sendiri dapat tersingkir ketika berbenturan dengan kebudayaan asing, sehingga orang kehilangan jati-dirinya. Kemungkinan semacam ini antara lain sudah tertuang dalam novel Abdoel Moeis (1886-1959) yang berjudul “Salah Asoehan” (1928). Posstingan MJY menunjukkan indikasi mengenai dampak inkulturasi kebudayaan yang menimbulkan  gejala mengenai generasi lupa jati diri.

Adalah pilihan bebas setiap orang untuk memilih dengan siapa dia menjalin hubungan pribadi dan hendak menjadikan pilihannya sebagai pasangan hidup. Itu hak asasi. Banyak pria Papua dan wanita Papua memilih menikah dengan wanita atau pria bukan Papua. Masalahnya adalah  ketika alasan untuk memilih pasangan itu dilakukan dengan menghina Perempuan Tanah Papua. Pada titik itu kelihatan terlihat bahwa orang Papua yang berperilaku seperti itu mulai lupa jati dirinya.

Insight Insdie (2) : Pembelajaran Bersama

Dalam kisah Anak Bungsu yang terhilang, terjadi happy ending. Anak Bungsu memanen hukuman di perantauan bahkan hingga makan makanan babi. Pada titik itu baru dia sadar bahwa di rumah Bapa-nya dia adalah orang terhormat dan bermartabat. Dia tidak sedemikian rendah hingga makan makanan babi. Sesudah itu, dia pun kembali ke lingkungan asal di rumah Bapa di mana dia diterima dengan pesta besar.

Menanggapi berbagai ciutan kritis nitisen  di media social terhadap  postingan rasisnya itu, MYJ bersama teman-teman sudah meminta maaf. Ini fenomena permintaan maaf yang aneh, satu orang yang bermasalah tapi yang meminta maaf berkelompok. Kejanggalan kedua, semua dalam kelompok yang minta maaf itu adalah pria, tanpa melibatkan perempuan.

Sebagai warga bangsa Indonesia, sebagai manusia yang terikat adat dalam masing-masing suku di Papua, sebagai manusia beragama, perlu dilakukan langkah lebih lanjut sebagai pembelajaran untuk merubah pandangan buruk yang mungkin ada dalam mind set generasi muda Papua seperti yang ditunjukkan MJY. Langkah pembelajaran ini perlu untuk memperkokoh jati diri untuk menghormati martabat perempuan Papua.

Secara luas, sebagaimana dapat dibaca di media online dan media social, ada beragam usulan mengenai bentuk-bentuk pembelajaran itu. Setidak-tidaknya ada tiga bentuk hukuman sebagai pembelajaran.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Pertama, pembelajaran menurut penegakan hukum positif yang berlaku dalam wilayah hukum Republik Indonesia. Ada unsur pelanggaran hukum.  Ada unsur penghinaan ras. Ada unsur menyebarkan penghinaan dan kebencian melalui media social. Ada unsur menimbulkan keresahan. Beberapa media memberitakan bahwa proses hukum sudah dimulai (baca misalnya : DAP akan Polisikan Maikel John Yerisetouw). Kita perlu mengawal agar proses itu tidak mandek di tengah jalan. Meskipun sebagai saudara perempuan, saya berharap proses hukum itu mempertimbangkan pula fakta bahwa MJY adalah anak muda, SDM potensial dan berprestasi. Proses hukum itu perlu  untuk memperbaiki nila setitik agar tidak merusak susu sebelanga dari potensi MJY dan untuk membuktikan bahwa semua warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

Kedua, pembelajaran melalui melalui prosedur adat. Postingan MJY di medsos awalnya merupakan cuitan pribadi bagi empat perempuan tanah dalam lingkungan pribadinya. Tapi ungkapan “pukul rata” di media social itu telah merendahkan martabat seluruh perempuan Papua. Ketika martabat seluruh perempuan Papua direndahkan maka martabat seluruh laki-laki Papua ikut direndahkan sebab tidak ada seorang pun orang Papua, baik laki-laki maupun perempuan,  tiba-tiba ada lalu tiba-tiba menjadi orang hebat dan bermartabat tanpa melalui kandungan dan tangan perempuan Papua yang melahirkan, membesarkan dan mendidiknya. Penghinaan terhadap perempuan Papua adalah penghinaan terhadap laki-laki Papua. Dan penghinaan terhadap perempuan dan laki-laki Papua adalah penghinaan terhadap seluruh masyarakat adat Papua. MJY perlu dihukum menurut prosedur hukum adat karena penghinaannya terhadap seluruh orang Papua itu.

Ketiga, pembelajaran melalui langkah untuk memboikot MJY sebagai Duta Baca Papua. Program Duta Baca adalah program pengembangan SDM Papua yang baik. Namun program yang baik yang dikelola oleh pemimpin yang menghina martabat masyarakat Papua tidak dapat diterima.

Keempat, pembelajaran keempat adalah pembelajaran bersama antara perempuan dan laki-laki Papua untuk membangun Generasi Emas Perempuan Tanah Papua. Perempuan Papua berkualitas apa yang menjadi visi bersama kita? Bisa jadi kita memimpikan Perempuan Papua yang cantic secara fisik, mengenal jati diri sebagai anak adat, tinggi ilmu dan pengetahuannya, tinggi iman dan moralnya, tinggi pengabdian dan pelayanannya. Bila  itu visi kita maka kita perlu duduk bersama untuk menyepakatinya dan berbagi peran antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkannya. Beban di noken yang kami pikul sudah sangat berat dan akan tidak mampu kami pikul sendiri apabila tidak mendapat dukungan dari saudara laki-laki kami.

Penutup

Papua adalah kita, kita adalah Papua. Baik perempuan maupun laki-laki. Penghinaan terhadap martabat perempuan adalah penghinaan terhadap martabat laki-laki. Penghinaan terhadap martabat perempuan dan laki-laki Papua adalah penghinaan terhadap seluruh orang Papua. Kita harus bersatu membangun diri kita agar menjadi generasi bermartabat dan berkualitas sesuai visi yang kita kehendaki.

Saya menutup tulisan ini dengan mengutip kebenaran Firman TUHAN dalam I Yohanis 1 : 8 Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. 9 Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. (*)

Jayapura 12 Juli 2020

Artikel sebelumnyaFOTO: Arter Sosial, Pemikat Hati di Sentani
Artikel berikutnyaBanyak Nakes Terpapar Corona, RSUD Jayapura akan Rekrut Tenaga Medis