Otsus Jilid II: Tambah Dana untuk Bunuh Kami atau Angkat Martabat OAP di NKRI

0
3416

Seruan Jilid II 57 Pastor Katolik Pribumi Lima Keuskupan se-Regio Papua

Pengantar

Mengikuti  informasi  di  media  sosial,  akhir-akhir  ini  berita paling hangat dibahas adalah tentang Otonomi khusus Papua yang akan berakhir tahun 2021.

Terhadap  akan  berakhirnya  Otsus  Papua  itu  melahirkan  dua kubu. Kubu pertama adalah mereka yang mau Otsus Papua diperpanjang.  Sementara  kubu yang  lain  menghendaki  agar Otsus Papua tidak diperpanjang atau Otsus Jilid II ditolak.

Melihat kenyataan itu,  maka kami  Forum 57  Pastor  Katolik Pribumi dari lima Keuskupan Se-Regio Papua di Tanah Papua, sebagai Gembala Umat, tergerak untuk coba memberi perhatian khusus  kepada  Domba-domba  Penggembalaan  yang dipercayakan Tuhan kepada kami, agar mereka tidak menjadi korban dan diceraiberaikan oleh musuh seperti yang terjadi selama ini.

ads

Karena kami tidak mau kecolongan, dimana serigala masuk dan menceraiberaikan Domba-Domba hitam & keriting, Gembalaan di Tanah leluhurnya, maka kami sampaikan seruan Para Pastor Pribumi di seluruh Tanah Papua.

Pertanyaan  Mendasar  Kami: Mengapa  “sudah  diberikan”  otonomi  khusus kepada  masyarakat  asli  Papua,  dari  tahun 2001 s/d 2020, tetapi masih saja ada tuntutan Kembalikan Otsus, Otsus sudah mati dan Papua harus menentukan nasib sendiri?

Berikut, kami hendak sharingkan hasil studi pastoral kami untuk mencari akar masalah yang ada dalam Otsus jilid I yang akan berakhir pada tahun 2021 mendatang. dan kami coba menawarkan pemikiran transformatif untuk mengakhiri konflik terpanjang di tanah Papua.

I. Latar Belakang Lahirnya Otsus 2001 – 2021

Otonomi  Khusus  kepada  Masyarakat  Papua  adalah  solusi Politik Negara Republik Indonesia dalam menyikapi   aspirasi Orang Asli Papua yang memuncak di Tahun 1999 dan 2000 lewat penyelenggaraan Mubes dan Kongres Papua II.

Tuntutan tunggal, yaitu meminta negara memberikan  kesempatan  bagi  rakyat  Papua untuk menentukan nasib sendiri menuju kemerdekaan.

Inilah  yang direspon  oleh Negara lewat lahirnya UU No 21 Tahun 2001 tentang  otonomi khusus bagi provinsi Papua. Ada 24 BAB dan 79 Pasal disahkan di Jakarta pada tanggal 21 November 2001 Presiden RI tertanda Megawati Soekarno Putri dan Sektertaris Negara RI, Bambang kesowo.

Sejatinya diharapkan dengan adanya UU Otsus 2001 ini, Orang Asli Papua (OAP) di Provinsi Papua:

  • Untuk  mengatasi   kesenjangan   antara   daerah   Papua dengan daerah lainnya di Indonesi
  • UU Otsus bentuk  “penghargaan”  Pemerintah  Indonesia kepada masyarakat, khususnya Penduduk Asli Papua.
  • Mampu  memberikan    kesempatan,    bahkan    ruang partisipasi masyarakat asli Papua dalam segala bidang Pembangunan.
  • Dapat mengelola  dan  memanfaatkan  kekayaan  sumber daya alam demi meningkatkan kesejahteraan Orang Asli Papua. Orang  Asli  Papua  dapat  berperan  aktif  dalam  proses pembuatan kebijakan melalui wakil-wakilnya, baik di DPRP, MRP maupun jajaran Birokrasi.

Dengan kata lain: Dengan berbagai kewenangan yang dilimpahkan  melalui  UU  Otsus (terutama  adanya  MRP  dan dana Otsus) menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia menghargai Aspirasi Politik dan Sosial Budaya Papua. Pemerintah Indonesia telah mengakui adanya kekeliruan dalam mengelolah Papua di masa  lalu.

Secara  politik, UU Otsus Papua merupakan titik kompromi atau titik keseimbangan baru antara tuntutan Papua dan kepentingan Pemerintah Indonesia selama terjadi Krisis Politik di Papua pada 1998 – 2001.

II. Jakarta Merancang untk Lanjutkan Otsus Jilid II

Rapat Terbatas Pambahasan Dana Otsusu dari 2002 sampai dengan 2021

Hal yang dibahas: Kata Presiden, “Kami telah salurkan dana Otsus Papua  Rp 94.24 triliun, dan ia minta evaluasi  sebelum  memperpanjang.  Sebab  Otonomi  khusus Papua akan berakhir tahun 2021 mendatang. Permintaannya, supaya:

  • Evaluasi secara menyeluruh Dana Otsus dan pengelolaannya.
  • Dilakukan paradigma, cara kerja baru dengan sebuah sistem yang dapat memajukkan Masyarakat Papua dan Papua Barat.
  • Dikonsultasikan dengan masyarakat di Papua dan Papua Barat, agar dapat melahirkan kebijakan yang dapat membangun masyarakat Papua dan Papua Barat.

Mendagri
Tito Karnavian, Mendagri Indonesia mengatakan RUU  Otsus  Papua  mendesak  dibahas  karena berakhir 2021. Ada dua skenario alternatif untuk RUU (Otsus Papua). Yang pertama adalah hanya melakukan keberlanjutan

Dana Otsus dua persen dari Dana alokasi umum. Kedua melanjutkan hasil pembahasan tahun 2014 RUU tentang Otsus Pemprov Papua. Singkatnya, yang dilanjutkan dananya, Otsusnya  terus   dilakukan,  kata   Tito,   dalam  rapat  dengar pendapat dengan komisi II DPR RI, Rabu 22/01/2020. Prinsipnya kita ingin melakukan PERCEPATAN PEMBANGUNAN  DI PAPUA, affirmative  action,  sehingga isu-isu yang bisa merusak keutuhan NKRI itu terjaga”, lanjutnya.

III. Pro dan Kontra Tentang Otsus Jilid II 

  1. Banyak komponen masyarakat di Tanah Papua menolak Otsus Jilid II 

Gubernur Papua

Penolakan Otsus datang dari  GUBERNUR  PAPUA. Lukas Enembe, mengecam akan mengembalikan   dana Otonomi Khusus ke Pemerintah pusat. Karena: pihaknya selalu dicurigai dan merasa diintimidasi.

“Dana  Otsus itu kecil, lebih baik kita kembalikan saja. Dana Otsus itu tak mampu membiayai pembangunan di Papua. Bayangkan saja Rp 100 miliar hanya  mampu untuk   membiayai   Pembangunan   dua   jembatan   di wilayah   pegunungan   tengah   Papua”,   kata   Lukas Enembe.

Menurut  Enembe,  dalam  kepemimpinannya,  alokasi Otsus 80  % dikelolah  Kabupaten  dan 20 % dikelola oleh Provinsi. Dengan harapan kehidupan warga Papua jadi berubah, ternyata tidak. Bahkan, sejumlah isu sengaja dihembuskan untuk mendiskreditkan pejabat di Papua.

Majelis Rakyat Papua

Penolakan Otsus Jilid II  datang  juga  dari  Majelis Rakyat Papua (MRP) PAPUA & MRP PAPUA BARAT. Hasil Pleno   MRP   Papua   dan   Papua   Barat,   memutuskan:

  1. Keputusan tentang Pemenuhan hak konstitusional Orang Asli Papua dalam rekrutmen politik terkait pencalonan Bupati dan wakil Bupati di Papua & Papua Barat.
  2. Perlindungan Hukum dan HAM kepada Orang Asli Papua.
  3. Perlindungan HAM kepada seluruh Mahasiswa atau Pelajar Papua dan Papua Barat yang sedang melaksanakan study di seluruh wilayah NKRI.
  4. Penarikan  Rencana  UU  Pemerintahan  Otonomi  Khusus  di Tanah Papua. MRP Papua dan Papua Barat juga telah menghasilkan satu REKOMENDASI, yakni MEMINTA KEPADA  PEMERINTAH  RI  UNTUK  SEGERA BERDIALOG DENGAN ULMWP demi Penyelesaian Masalah HAM  secara  Damai  dan  Bermartabat  yang  dimediasi  oleh pihak ketiga, (Suara Papua.Com, oleh Arnol Belau).

Direktur Eksekutif ULMWP

Penolakan Otsus Jilid II  datang   dari   ULMWP,    direktur Eksekutif  ULMWP.  Markus Haluk  mengatakan:  “ULMWP terus berkomitmen untuk terus memperjuangkan dan mewujudkan hak penentuan nasip sendiri sesuai dengan   visi dan misi dengan menggalang dukungan rakyat West Papua dan Negara-negara serumpun Melanesia.”

“Belajar dari pengalaman masyarakat Papua sekarang mengambil sikap tegas stop tipu kami dengan gula-gula Otsus dari negara kolonial Indonesia mereka yang telah membohongi Masyarakat Papua,” katanya.

16 Organisasi Sipil Papua

Penolakan Otsus Jilid II datang  juga  DARI  16 organisasi.  Menyikapi  Pembahasan  kelanjutan  Otsus Jilid II, sebanyak 16 Organisasi menyatakan sikap penolakan Otsus dan meluncurkan petisi rakyat Papua untuk digalang di seluruh wilayah Papua.  Mereka  meminta  semua  pihak  yang membahas Otsus agar mengembalikan kepada Rakyat Papua untuk memutuskannya. Telekonferensi yang difasilitasi oleh Media Jubi melalui wartawan Senior Papua, Viktor Mambor, (Suara Papua.Com, 5 Juli 2020, 1.24 Waktu Papua).

FRI-West Papua

Penolakan Otsus jilid II datang dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP): “Salah satu sikap FRI WP melalui Juru bicaranya, Paulus Surya Anta Ginting dalam Launching Petisi Raykat Papua Tolak Otsus adalah: “Menyeruhkan kepada ORANG AMBER atau  NON PAPUA    yang  ada  di  Papua  agar  bersatu  dengan  Gerakan Raykat  di  Papua  untuk  menolak  Otsus  diperpanjang  dan berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokrastis bagi Rakyat Papua.

Dewan Gereja Papua (WPCC)

Penolakan terhadap Otsus Jilid II datang juga dari Dewan Gereja Papua(WPCC) karena dirancang secara sepihak. Dalam Press Release, pada tgl 5 Juli 2020, para Pimpinan Gereja yang bergabung dalam Dewan Gereja Papua mengeluarkan Refleksi Tahunan berjudul:

Baca Juga:  Koalisi Menyebut Teror Bom di Kantor Jubi Bukan Perkara Sepele

”Tuhan Otsus dan Pembangunan Indonesia di Papua sudah Mati.” Mereka melihat janji-janji dari Pemerintah Indonesia terhadap Umat Tuhan di Tanah Papua untuk mensejahterakan Masyarakat Papua, nyatanya berubah menjadi Tragedi Kemanusiaan dan Malapetaka, Penderitaan, tetesan air mata, cucuran darah berkepanjangan dan tulang belulang yang berserakkan yang dialami   Rakyat   Papua   di   Tanah   mereka   sendiri.”   Kami meminta keadilan dari Pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan  konflik berkepanjangan di Papua.

Solidaritas Perempuan Papua

Penolakan terhadap Otsus Jilid II datang juga dari solidaritas Perempuan Papua. Wakil ketua Solidaritas Perempuan Papua, Naci Jacgueline Hamadi menyatakan,  para  perempuan  Papua  tidak  pernah  tahu  soal dana Otonomi Khusus yang digelontorkan ke daerahnya. Hal itu  karena  penggunaan  dana  Otsus  selama  21  tahun  sangat jarang melibatkan Perempuan, “sehingga Otsus Papua dikembalikan  ke  Jakarta  dan  Pemerintah  pusat  gelontorkan dana sama   Propinsi lain di Indonesia,” kata Hamadi, (Kamis 9/7/2020. Jubi).

Komite Aksi ULMWP

Penolakan Otsus Jilid II datang dari Juru Bicara Komite Aksi ULMWP, Ice Murib mengatakan, “Perempuan Papua   Menolak Otsus, karena hampir sebagian besar Papua sudah  menyatakan  bahwa  Otsus  Gagal dan  tidak  membawa keuntungan.” Lanjutnya, “Rakyat Papua telah bersepakat menolak Pemberlakuan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2001 tentang  Otonomi  Khusus  Jilid  II  dan  meminta  Pemerintah segera menggelar Referendum bagi West Papua itu solusinya.” (Jubi, Kamis 9/7/2020. Jubi).

Pemuda dan Mahasiswa dari Kab. Yahukimo

Penolakan Otsus Jilid II juga datang dari pemuda dan mahasiswa kabupaten Yahukimo. Isi seruannya: ”Kami Pemuda dan Mahasiswa Kab. Yahukimo dengan tegas menolak Perpanjangan Otsus. Solusi Referendum di West Papua”, (Info Sosmed, 7 Juli pukul 14.09).

Komite Aksi Otsus Jilid II

Penolakan Otsus II juga datang dari Komite Aksi Penolakan Otsus. Mereka menyatakan tolak Otsus saat melakukan aksi di  Jakarta  di  depan  Kementerian dalam Negeri  Indonesia.  Isi seruannya:”Tolak  Otsus Jilid  2. Berikan hak menentukan    nasib sendiri sebagai solusi Demokratis,” demikian bunyi tulisan yang tertera pada spanduk besar tersebut, Selasa, 14 Juli 2020, (Sind 8 News Com. Oleh Komaruddin Bagja Arjawinangun).

Kesimpulannya, bagi Orang Asli Papua OTSUS adalah masakan dari 20 tahun yang lalu dan itu telah basi bagi Rakyat Papua. Jadi jika masih dilanjutkan dan diberi makan ke rakyat, maka itu adalah RACUN.

2. Ada Beberapa Orang atau Komponen Masyarakat di Tanah Papua Menerima Dilanjutkan Otsus Jilid II

Dukungan  datang  dari  Albert  Ali  Kabiay,  Ketua  Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Pemuda Mandala Trikora Provinsi Papua. Ali Kabiay mengajak masyarakat di Provinsi Papua harus  mendukung  Otonomi  Khusus  Jilid  II.

Tambahnya: ”Pemerintah  Pusat  memberikan  Otonomi  Khusus  kepada Papua agar percepatan Pembangunan, baik itu Pembangunan infrastruktur, ekonomi, Pendidikan, kesehatan Papua lebih baik,” (kepada      wartawan Selasa 7 Juli 2020, nusantarapost.id).

Apa Akar Masalahnya, Hingga Terjadi Pro dan Kontra Terhadap Otsus Itu?

1. Ada Apa dengan Pasal-Pasal dalam UU Otsus:  

Setelah kami coba membaca buku berjudul Revisi Undang- undang Otsus: MENGAPA MENIMBULKAN KECEMASAN DI PAPUA ??? Khususnya hlm 29-34, kami mendapat sejumlah informasi mengenai beberapa Pasal yang bermasalah dalam UU Otsus Jilid I.

Pasal   1   yang   menyatakan   “Provinsi   Papua   adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otsus dalam kerangka NKRI.” Pasal ini menegaskan bahwa wilayah Provinsi Papua adalah seluruh wilayah Provinsi Irian Jaya yang batas-batasnya ditegaskan dalam Penjelasan UU Otsus.

KENYATAANNYA  saat  ini,  pasal  dan  bagian  umum dari penjelasan UU Otsus sudah tidak relevan lagi, karena secara faktual telah berdiri dua Provinsi, yakni Papua dan Papua Barat.

Kewenangan DPRP Papua yang diatur dalam Pasal 7 UU Otsus, sejak diselenggarakannya pemilihan Gubernur secara langsung di Papua pada 2006 dengan sendirinya menjadi tidak relevan.   Pasal itu menyatakan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang “memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, khususnya ayat 1 menyatakan “memilih para utusan Provinsi Papua sebagai anggota MPR RI.” Sejak dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah  (DPD)  melalui  Pemilu  2004,  utusan  daerah dalam MPR RI tidak dikenal lagi.  Anggota DPD dipilih langsung oleh Rakyat berdasarkan Pencalonan Personal dalam pemilu.

Persoalan  paling  berat  terdapat  pada  Pasal 19,  20,  21 yang menjadi dasar bagi Kehadiran MRP di Papua. MRP sebagai  representasi  kultural  Orang  Asli  Papua,  yang memiliki  kewenangan  tertentu  dalam  rangka perlindungan HAK-HAK ORANG ASLI PAPUA. Sejak diakuinya keberadaan Provinsi Papua Barat, MENJADI PERSOALAN SERIUS. UU Otsus mendefinisikan orang Asli Papua sebagai “orang yang berasal dari rumpun Ras Melenesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan atau orang yang diterima sebagai orang asli Papua oleh masyarakat.” Dengan pengertian seperti itu, MRP merupakan representasi dari seluruh orang yang berasal dari rumpun Ras Melanesia di Tanah Papua. KONSEKWENSINYA, MRP juga harus memiliki tugas dan wewenang dalam memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap semua Gubernur dan kebijakan yang berbentuk  Perdasus  dan  Perdasi  yang  ada  di  Tanah Papua.  Sekarang kewenangan  ini  tidak  bisa  dijalankan oleh  MRP,  karena  dalam  pemilihan  Gubernur  Papua Barat, para calonnya tidak berdasarkan pertimbangan MRP.  Selain itu, MRP juga tidak bisa mengawasi Pemerintah Papua Barat, karena MRP tidak dinyatakan untuk Provinsi tersebut.

Selain itu, pasal-pasal yang masuk ke dalam BAB  IX tentang KEUANGAN, jika tidak  diubah juga akan menjadi Prolem di masa datang. Apakah Provinsi Papua masih berwewenang untuk menerima pendapatan dari daerah yang saat ini sudah menjadi Provinsi Papua Barat (?). Hal ini terkait dengan prosentase penerimaan Provinsi Papua yang dinyatakan dalam Pasal 34 yaitu pendapatan asli  daerah  yang  terdiri  dari  pajak  daerah, retribusi daerah, hasil perimbangan dalam rangka Otsus.

Persoalan    lain    di    Papua    adalah    PERSOALAN PENYELESAIAN MASALAH HAK ASASI MANUSIA (HAM). Apakah untuk menyelesaikan masalah HAM di Papua  Barat  dapat  dipakai  mekanisme  yang  ada  di Provinsi Papua, yaitu Pengadilan terhadap para pelanggar HAM, dan Komisi Keadilan dan Rekonsiliasi (KKR) sebagaimana diatur oleh Pasal 45 dan 46 UU Otsus. Meskipun kedua instrumen ini belum dibentuk di Papua, persoalan tetap relevan untuk segera ditangani agar tidak menjadi ganjalan dalam memenuhi HAK-HAK MASYARAKAT  ASLI  PAPUA     di  Provinsi  Papua Barat.

Beberapa  pasal  yang  kami  angkat  dari  buku  tersebut, yang kami lihat sebagai AKAR-SEBAB   MENGAPA, OTONOMI KHUSUS TIDAK DILAKSANAKAN DENGAN SEPENUH HATI DI TANAH PAPUA.

(Sumber yang kami pakai dari Buku Wacana Revisi UU Otonomi Khusus: MENGAPA MENIMBULKAN KECEMASAN DI PAPUA ?? Penyusunnya Amirudin Al Rahab, Yusman Conoras. Editornya Adriana Elisabeth & A.Patra M.Zen).

2. Kesan kami: adanya perbedaan pemahaman tentang Otsus Papua antara Orang Jakarta dan OAP, Selama Otsus Jilid I berjalan.

Faham pemerintah Jakarta tentang Otsus Jilid I di Papua:

  • Pemerintah Jakarta memahami dan melihat Otsus hanya diukur dari sisi PENYALURAN DANA OTSUS. Sebaliknya,  bagi  masyarakat  Papua,  soal  harga  diri sebagai manusia semartabat dan berhak hidup Damai sejahtera di atas Tanah leluhurnya.
  • Pemerintah Jakarta berpikir OTSUS ITU SAMA DENGAN MEMBANGUN FISIK, seperti membangun Jalan, Jembatan, rumah sakit, lapangan terbang, dermaga pelabuhan laut.
  • Pemerintah   Jakarta   berpikir   Otsus itu sama dengan cepat mengundang para pemilik saham dari luar masuk ke tanah kosong di Papua dan merusak hutan, mengambil kayu-kayu produktif, membuka lahan kelapa sawit dan mengurusi tambang Freeport, dll.
  • Pemerintah   Jakarta   berpikir   Otsus itu sama dengan pemekaran pemerintahan, provinsi tambah polda, polres, Kodam dan Kodim.
  • Pemerintah tidak serius melaksanakan amanat Otsus yang berkaitan dengan pengadilan HAM, KKR tidak diberi tempat  dalam masa Otsus 20 tahun dan ke depan pun Orang Asli Papua yakin tidak akan terwujud. Banyak kasus Kemanusiaan yang belum ditangani dengan baik, seperti
Baca Juga:  ULMWP: Andi Manobi Sosok Pejuang Papua Merdeka Sejati

Faham Orang Asli Papua tentang Otsus Jilid I: Memajukan OAP melalui bidang pendidikan.

  • Membangun  sekolah  yang baik dan ketersediaan tenaga Pengajar yang cukup: Nyatanya, Pendidikan khusus sekolah dipedalaman dan pesisir Pantai yang dulu aktif, dalam erah Otsus kurang mendapat  perhatian,  sehingga  banyak  sekolah  sudah “mati suri”, padahal di sanalah banyak anak Asli Papua bersekolah.
  • Memberdayakan OAP di dunia kerja: Orang Papua menjadi Pemeran Utama.   Nyatanya,   dengan adanya Dana Otsus orang asli Papua yang hendaknya menjadi subyek, mala terpinggirkan, misalnya: proyek2 jalan, rumah, jembatan yang menggunakan Dana Otsus tenaga kerjanya didatangkan dari luar Papua. Anak-anak asli    Papua tidak dilibatkan dalam proyek, maka kebanyakkan nganggur.
  • Dalam bidang perekonomian, memberikan tempat berjualan yang layak bagi OAP: Orang Papua mesti menjadi Pelaku Pasar. Nyatanya, dana Otsus yang mestinya digunakan untuk memberdayakan Masyarakat Lokal, seperti Mama-mama Papua, usaha kecil orang asli Papua, tetapi digunakan untuk pembangunan fisik, bukan membangun manusia. Dana Otsus menjadi rebutan antara Pemerintah daerah dan militer di Papua, sehingga masyarakat Papua dikorbankan, dikriminalisasi, diseparatiskan dan dikorbankan dengan percuma/sia-sia.
  • OAP sejahtera di atas tanahnya yang kaya: Menurut data Bappeda Papua tahun 2009, Sumber Daya Alam (SDA) di Papua saat ini sebanyak 2,5 miliar Ton Kandungan cadangan bahan Emas dan tembaga dan tambang Tangguh juga memiliki cadangan gas 14.4 triliun kaki kubik meter dari emas   lapangan   atau   sebanyak   24   TSCF   dari   total Nasional 108 TSCF. Sebanyak 540 juta meter kubik Potensi lestari kayu komersial, dan 9 juta hektar konvensi perkebunan skala besar. selain itu dengan panjang pantai 2 ribu mil dan luas perairan 228 ribu kilometer persegi dan Papua memiliki potensi perikanan 1,3 juta ton pertahun. FAKTANYA, di Provinsi Papua dari 2 juta penduduk  yang  saat  ini,  hampir  setengah  Penduduk Papua   yaitu   40,78  %   hidup   status   Rumah   Tangga MISKIN  (RTM).  Berdasarkan  survei    Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS 2010 menunjukkan PROVINSI PAPUA MERUPAKAN PROVINSI TERMISKIN NOMOR 2 DI INDONESIA.
  • Dalam bidang kesehatan: Selain dibangunkanya Rumah-rumah Sakit, lebih dari itu pelayanan  kesehatan  harusnya  menyelamatkan  Orang Asli Papua. Namun kenyataanya, dalam era Otonomi Khusus  banyak  orang  asli  Papua  yang  sakit  ringan, pulang dalam keadaan meninggal dunia.
  • OAP dihargai sebagai manusia yang berharga dan bermartabat: Dalam Era  Otonomi  Khusus,  masih ada ujaran rasial kepada orang papua sebagai monyet.  Seperti yang kita ketahui bersama: Menjelang Perayaan hari Kemerdekaan RI, 15 Agustus 2019, para mahasiswa  menggelar  aksi  demo  memperingati Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962, antara Belanda dan Indonesia. Aksi demo ini diinisiasi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) di beberapa kota: Jayapura, Ternate, Ambon, Sula (Maluku), Bandung, Yogyakarta, Malang, Surabaya dan Jakarta. Dari aksi di berbagai kota itu, Surabaya dan Malang mendapat sorotan besar, karena adanya UJARAN KEBENCIAN BERNADA RASIS TERHADAP  MAHASISWA  PAPUA  yang  dilakukan oleh anggota Oragnisasi Masyarakat Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI-Polri (FKPPI), juga Front Pembela Islam (FPI). Ujaran KEBENCIAN RASIS menyebut “MONYET” pada mahasiswa Papua itu memicu gelombang protes dan ujuk rasa massa Papua di berbagai kota di Tanah air.
  • Dalam Bidang HAM: Menghargai  Hak-hak  hidup Orang Asli Papua di atas Tanah warisan leluhurnya. TETAPI,   NYATANYA:   Orang   Papua   telah   punya cacatan panjang, garis besarnya: 6 Juli 1998 Biak berdarah, 2001 April – Oktober Wasior Berdarah 117 orang  tewas,  10  November  2001  Pembunuhan  Theys Hiyo  Eluway,   21   November   2001   Pengesahan   UU OTSUS Papua, 6 Mei Peristiwa Dogiyai 10 meninggal, 2001  peristiwa  Kaimana  18  orang  meninggal,  2002 Abepura berdarah 63 orang tewas, 4 April 2003 Wamena berdarah 47 orang tewas, Desember 2014 Paniai berdarah 5 orang tewas, 8 Maret 2015 Peristiwa Yahokimo 3 orang tewas,  12  Juli  2015  Insiden  Tolikara  11  orang  tewas, 2018 Operasi militer Nduga, 16 Agustus 2019 Rasisme, Maret peristiwa di Mimika 2 orang tewas.

Apa yang terjadi bila Otsus Jilid II Dipaksakan ke Tanah Papua? 

Jangka Pendek:  kami  melihat  sudah  terbentuk  basis-basis “BOM WAKTU”,   akan  melahirkan Konflik horizontal.

  • Muncul di media sosial, adanya Paguyuban Nusantara
  • Adanya kelompok Barisan Merah Putih
  • Adanya    berita    bahwa    Saudara    Fadlan    Garamatan, menanamkan permusuhan antara anak Papua. Setelah kami membaca   berita   dengan   judul:   300   SANTRI  PAPUA DILATIH BELA NEGARA, Fadlan: MEREKA AKAN JAGA NKRI DI INDONESIA TIMUR, maka menurut kami: secara  tidak  langsung  dalam  diri  mereka  telah dibangun sikap  benci  dan  tidak  percaya  antara  anak  Papua  yang Muslim  sebagai  NKRI,  sementara  anak  Papua  Kristiani bukan NKRI.

Jangka Panjang: Ada Kecemansan?

Apabila  Pemerintah  Jakarta  masih  saja, memaksakan kehendaknya untuk dilaksanakannya Otsus Jilid II, secara eksplisit karena termotivasi dengan kalimat  dr  Ali  Murtopo,  Komandan  OPSUS, berikut:“Jakarta sama sekali tidak tertarik dengan Orang Papua, tetapi Jakarta hanya tertarik dengan wilayah Irian Barat (West Papua). Jika inginkan kemerdekaan, maka sebaiknya minta kepada Allah agar diberikan tempat di sebuah pulau di Samudera Pasifik, atau menyurati orang- orang Amerika untuk mencarikan tempat di bulan.”

Buktinya, hari itu, 16 Agustus 2019, terjadi peristiwa yang sangat tidak menyenangkan dan membuat luka kebencian terbuka kembali  di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Mereka juga menyanyikan lagu-lagu nasional dan melontarkan kata-kata Rasis terhadap Orang Papua, dengan menyebutkan kata-kata ‘MONYET”. Ungkapan-ungkapan Rasis dan hinaan lain seperti:”keluar! keluar! Papua keluar! “Bunuh Papua! Bunuh Papua!. Pendeknya, “orang di sekitar asrama meminta Mahasiswa untuk  keluar  dari  Asrama  supaya  mereka  dapat menyepaknya keluar dari kota dan membunuhnya.”

Maka,  ada  kecemasan  dalam  hati  kami,  Kata  Dr  Adnan Buyung Nasution, SH. terwujud: “Cepat atau lambat Indonesia akan kehilangan Papua. Sengaja atau tidak sengaja, mau atau tidak mau kita akan kehilangan Papua, karena kita gagal merebut hati Orang Papua.”

Hal  tersebut,  diakui  oleh  Amien  Rais  &  Rocky  Gerung, katanya: “Kemenangan diplomat Papua Barat di kancah Internasional. Dan diungkapkan juga oleh KEMENLU RI dalam menanggapi kemajuan diplomasi Perjuangan Papua Barat Merdeka di Kancah Internasional. Hingga ketua Komisi HAM PBB menetapkan Status Papua Barat sebagai daerah Konflik.

Dasar Keterpanggilan Kami 47 pastor Katolik Pribumi lima keuskupan seregio Papua, untuk mengakhiri konflik Papua yang terlama di Indonesia

Berlandaskan pada Konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, berbunyi “Kegembiraan dan Harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. (Gaudium et Spes 1) .

Kami Pastor Pribumi bersuara, bukan untuk kami, tetapi untuk anak cucu, suku bangsa PApua – Melanesia,… agar jangan sampai manusia hitam kulit dan keriting rambu, citra Allah ini punah di atas  tanah leluhurnya ….. Atau setidaknya agar kami tidak mewariskan luka, derita, kebencian dan amarah yang kami alami selama ini dari saudara bangsa Melayu atau Indonesia, ke dalam batin adik-adik kami bangsa Melanesia.

Baca Juga:  ULMWP Nyatakan Tolak Program Transmigrasi dan Perampokan Tanah Adat di West Papua

IV. SERUAN JILID II 57 Pastor Katolik Pribumi Lima Keuskupan Se-Regio Papua:

Pertama, Kami 57 pastor yang lahir dari mama Papua tidak mau lagi melihat atau mendengar saudara kami dipukul, ditangkap, dikejar-kejar, dipenjarakan, diperkosa, disiksa, dijadikan tahanan dengan tuduhan makar dan dibunuh.  Kami juga tidak mau dibilang monyet.  Kami tidak mau diperlakukan tidak adil di atas tanah kami.  Cukup sudah  air mata dan darah yang tumpah di pangkuan mama bumi atau tanah warisan leluhur kami. Agar tidak terjadi konflik baru lagi, maka kami minta pemerintah pusat jangan paksakan Otsus Jilid II ke Papua. Kami di Papua Merindukan kehadiran kembali “BAPAK GUS DUR”, sosok Bapa yang mengenal kami, mengerti kami, mau mendengar kami, memiliki Seni komunikasi yang sangat humanis. Kami tidak butuh Militer dengan  Kekerasan,  apalagi  suka  Memaksakan  Kehendak tanpa bermusyawarah menuju mufakat.

Kedua, Kami meminta kepada pemerintah Indonesia untuk mengakhiri konflik berkepanjangan di tanah leluhur kami -Papua- dengan cara dialog.

Sejauh yang kami lihat dan dengar dan ikuti di media sosial, semua   elemen Masyarakat akar Rumput di Papua, mereka meminta Pemerintah Indonesia untuk berdialog dengan ULMWP yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral, sebagaimana  yang pernah dilakukan dengan GAM di Aceh.

Kami  sangat  Yakin,  Dialog  tidak  akan  membunuh,  dialog tidak  menyakitkan  &  dialog tidak  membuat  kita  menjadi bodoh.    Sebaliknya,    bila    kita    menggunakan    cara-cara kekerasan, selalu akan meninggalkan luka lahir & batin. Apapun   alasannya, membunuh adalah salah dan dosa!

Apa saja yang hendak dibicarakan dalam dialog itu? Kami melihat perlu membahas akar masalah yang pernah disampaikan oleh LIPI & JDP,  yakni:

  • Sejarah dan Status Politik Integrasi Papua ke Indonesia
  • Kekerasan dan pelanggaran HAM sejak 1963 sampai saat ini
  • Diskriminasi dan marginalisasi orang Papua di tanah sendiri
  • Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan dan ekonomi rakyat

Dan, secara permanen, pendekatan dialog harus menjadi kebijakan baru untuk membangun Papua yang stabil dan sejahtera, bukan kekerasan dan penambahan pasukan.

Ketiga, Berdasarkan Surat Edaran Menteri Agama RI, “Kami Cinta Papua” kata-kata itu sangat baik dan benar, supaya Orang Papua dapat percaya.

Maka kami minta pemerintah Indonesia mengizinkan wartawan asing masuk ke Papua untuk melihat dan meliput hasil pembangunan di tanah Papua selama Otsus berlangsung dari 2001 – 2021. 

Keempat, Kami mendesak MRP [Papua dan Papua Barat] untuk segera mengadakan Mubes rakyat Papua dari gabungan kedua provinsi. Agar agar dalam Mubes tersebut Masyarakat/Orang Asli Papua dapat berbicara bersama, merumuskan hal-hal mendasar bersama dan mengambil, sikap bersama terhadap hak-hak mendasar dalam memajukan OAP di tanah leluhurnya.

V. Penutup

Pemikiran Transpormatif, Menuju Indonesia Raya dan Papua yang Damai dan Sejahtera 

Titik temu kompromi yang adil dan bermartabat, antara dua sahabat lama, orang asli Papua ras melanesia dengan orang Indonesia ras melayu adalah:

Pertama, pihak Indonesia dan Papua sama-sama sepaham dan menjunjung tinggi nilai manusia yang ada di bumi Papua berlandaskan sila kedua, ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’. Segenap manusia yang hidup di negeri itu, dari entitas Budaya dan suku bangsa mana pun, sehingga ada tekad untuk berhenti saling menindas dan saling membantai.

Kedua, Pemerintah Indonesia dan segenap Rakyat Indonesia mengakui dan menjungjung tinggi harkat, derajat dan martabat orang asli Papua sebagai  tuan di atas negeri pusaka miliknya.  Karena itu, orang Papua harus memimpin Negerinya sendiri. Harus ada kebebasan yang bertanggungjawab di tangan Rakyat Papua atas Negerinya, dan atas hubungannya dengan saudara angkatnya Indonesia.

Ketiga,  dari kesepahaman  dan  komitmen  ini,  pemerintah Indonesia bisa menetapkan sikap dan keputusan terbaiknya atas Papua, yang masih menjadi bagian dari Rakyat Indonesia dan wilayah teritorial Hukum Indonesia. Pemerintah membuat suatu keputusan Politik yang spektakuler dan sangat prestitusius untuk memberikan kesempatan Referendum bagi Papua. Pemerintah menerima hasil apapun dari Referendum Papua itu, dan akan membantu sepenuhnya Pembenahan Papua Pasca Keputusan Politik  yang hebat itu.  Hal-hal ini,  jangan  dipikirkan  tentang untung atau rugi atas sumber daya alam di Papua.

Bila dari hasil Referendum yang digelar  dengan jujur dan adil itu ternyata Mayoritas Rakyat Papua memilih Merdeka, maka merdekalah Papua, dan di sana Pemerintah Indonesia tetap ada bersama Papua untuk membawa Papua sebagai Pemimpin di Melanesia mencapai zaman keemasan Pasifik, supaya tidak ada lagi Air Mata dan Darah lagi di atas Tanah Papua bersama Indonesia.

Dan di alam kemerdekaan Papua itu, bangsa Papua adalah sahabat sejati bangsa Indonesia. Papua adalah mitra penyangga utama Indonesia dalam menyongsong Indonesia raya, menuju zaman keemasan nusantara agung  Adhidaya Asia sekaligus The New super Power of the world menggantikan hegemoni amerika dan dunia barat.

Saat   itulah,   Papua dan Indonesia akan tampil sama-sama sebagai suatu kekuatan pembaharuan masyarakat global.

Oh Tuhan, kami rindu lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput, anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak. Sekian hikmat Tuhan yang muncul dari Kitab Nabi Yesaya 11:1-16.

 

Atas nama 57 Pastor Katolik Pribumi Lima Keuskupan se-Regio Papua

Pastor Alberto John Bunay, Pr
Penanggungjawab

Pastor Katolik Pribumi dari 5 Keuskupan di Tanah Papua:
1. P. Yanuarius M. You, Pr.
2. P. Bernardus Bofitwos Baru, OSA.
3. P. Yanuarius A.P. Dou, Pr.
4. P. Marten Kuayo, Pr.
5. P. Alberto John Bunai, Pr.
6. P. Izaak Bame, Pr.
7. P. Immanuel James Kossay, Pr.
8. P. Yohanes E.G. Kayame, Pr.
9. P. Fredy Pawika, OFM.
10. P. Theodorus Kossay, OFM.
11. P. Adrianus Tutup, Pr.
12. P. Emanuel Tenau, Pr.
13. P. Silvester Tokyo, Pr.
14. P. Yuvensius Tekege, Pr.
15. P. Hubertus Magai, Pr.
16. P. Agustinus Tebay, Pr.
17. P. Edy Doga, Pr.
18. P. Yohanes Slomon Sedik, OSA.
19. P. Kleopas Sondegau, Pr.
20. P. Meki Mulait, Pr.
21. P. Yanuarius Yelipele, Pr.
22. P. Daud Wilil, Pr.
23. P. Damianus Uropmabin, Pr.
24. P. Benyamin Keiya, Pr.
25. P. Agustinus Alua, Pr.
26. P. Didimus Kosy, OFM.
27. P. Pilipus Elosak, OFM.
28. P. Stefanus Yogi, Pr.
29. P. Santon Tekege, Pr.
30. P. Jan Pieter Fatem, OSA.
31. P. Lukas A.Y. Sosar, OSA.
32. P. Yance Yogi, Pr.
33. P. Timotius Sefire, OFM.
34. P. Ibrani Kwijangge, Pr.
35. P. Philipus Sedik, OSA.
36. P. Fransiskus Utii, Pr.
37. P. Damianus Adii, Pr.
38. P. Honoratus Pigai, Pr.
39. P. Selpius Goo, Pr.
40. P. John Kandam, Pr.
41. P. Moses Amiset, Pr.
42. P. Rufinus Maday, Pr.
43. P. Pius Cornelis Manu, Pr.
44. P. Yosias Wakris, Pr.
45. P. Hilarius N.D. Pekey, Pr.
46. P. Yosep Ikikitaro, Pr.
47. P. Aloysius Alue Daby, Pr.
48. P. Theo Makai, Pr.
49. P. Emanuel Bofit Koman Air, OSA.
50. P. Lewi Ibori, OSA.
51. P. Paulus Trorba, OSA.
52. P. Athanasius Bame, OSA.
53. P. Kaitanus Tarong, MSC.
54. P. Hendrikus Kariwop, MSC.
55. P. Fransiskus Yerkohok, Pr.
56. P. Yohanes Warpopor, Pr.
57. P. Bartolomeus Uropmabin OFM.

Artikel sebelumnyaJakarta Kasih Sinyal Kuat untuk Perpanjang Otsus Papua 20 Tahun Lagi
Artikel berikutnyaYosepha Alomang: Pulangkan Otsus ke Jakarta, Saya Mau Merdeka Bebas