Berawal dari Rasisme Terhadap Papua

0
1778

Oleh: Namantus Gwijangge)*
)* Penulis adalah anggota DPR Provinsi Papua

Respon penolakan rasisme dan ujaran kebencian yang dilakukan di Surabaya adalah titik puncak dari masalah sakit hati masyarakat Papua yang menghendaki negara berlaku adil dalam diskriminasi hukum, HAM, dan kebebasan berdemokrasi di Papua.

A. Respon Rasisme

Respon penolakan rasisme dan ujaran kebencian di Surabaya adalah titik puncak kemarahan terpendam masyarakat Papua yang menghendaki negara berlaku adil dalam penegakan hukum, HAM, dan kebebasan berdemokrasi di Papua. Sampai dekade ini negara belum memiliki kerangka strategis penyelesaian persoalan diskriminasi rasial, penegakan hukum, HAM, dan kebebasan demokrasi khusus di Tanah papua. Indikasi rasisme dan diskriminasi hukum serta ketimpangan kebijakan negara masih menjadi keluhan dan catatan buruk bagi orang Papua.

B. Catatan Kelam Sejarah

ads

Belum lagi catatan sejarah masa lalu Papua yang harusnya diselesaikan dengan niat dan tujuan yang murni, jujur, dan tulus dan demokratis rupanya masih terlihat belum adanya keinginan pemerintah untuk memulai penyelesaian yang lebih manusiawi dan menyeluruh misalnya melakukan pendekatan persuasif dan dialogtif kepada tokoh Papua dari berbagai elemen yang menyuarakan ketidak adilan di Papua terhadap Pemerintah.

C. Belajar dari Gusdur

Di masa Presiden Gusdur, dia melihat Papua adalah bagian integral Indonesia yang satu tubuh. Dia tahu jika tangan yang terpotong seluruh tubuh akan merasakan kesakitan dan ikut merasakan pesan kita itu.

Seorang Gusdur tahu benar jika sakit Malaria harus beri obat Malaria, bukan sakit Malaria kasih obat sakit perut. Gusdur tahu bagaimana memberi obat yang tepat pada sakit yang tepat dengan obat yang tepat. Gusdur tahun akar persoalan dan bagaimana cara menyelesaikan persoalan itu agar kelak anak cucu tidak menuai lagi masalah.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Gusdur merasakan apa yang di rasakan oleh orang Papua, Ia tidak melihat Papua sebagai rumpun dan ras terpisah melainkan serumpun dan Ras suku bangsa yang lain di Indonesia, setarakan dengan seluruh suku bangsa di Indonesia (tidak perlakukan suku Ras tertentu yang kelas Satu dan yang lainnya kelas dua). Memberikan ruang demokrasi yang lebih luas dan lebih bebas. Sikap inilah yang menempatkan Presiden Gusdur sebagai bapa pluralis yang sangat dikenang oleh seluruh Rakyat Papua.

D. Di Era Jokowi

Di era Presiden Joko Widodo menempatkan prioritas pembangunan Infrastruktur di Papua sebagai langkah strategi penyelesaian masalah-masalah di papua. Namun tidak dibarengi dengan perhatian hak-hak dasar seperti penyelesaian pelanggaran HAM, pembungkaman hak demokrasi di papua yang terkesan Pemerintahan membangun nama baik dari pada nilai. Pengawasan penggunaan dana Otsus Papua yang tidak ketat memberikan ruang sebebas-bebasnya para tikus berdasi merajalela, dan hak-hak rakyat dikorbankan.

Pendekatan persuasif yang belum menyeluruh dan belum merakyat, misalnya sebagai solusi konstruktif pemerintah mengundang 61 Tokoh Masyarakat papua sebagai bagian dari penyelesaian konflik Papua yang lebih dialogtif. Tetapi setelah 61 Tokoh papua bertemu Presiden bukanya itu sebagai solusi penyelesaian konflik melainkan justru tumbuh subur benih-benih konflik di papua yang membara.

E. Hukuman Tapol Harus Proporsional

Penanganan ke tuju orang pemuda Papua yang awalnya memimpin demonstrasi Penolakan aksi rasisme dan ujaran kebencian Surabaya yang kemudian disebut (7 Tapol Papua) harus proprorsional. Aksi rasisme dan ujaran kebencian muncul dari Surabaya yang berakibat pada semua daerah di papua bergejolak melakukan aksi Penolakan.

Aksi Demostrasi bulan Agustus 2019 berjalan dengan damai, karena sifatnya spontan warga Papua yang merasa se-sama, se-nasib, se-suku, se-rumpun, se-ras yang merasa di perlakukan tidak adil oleh sesama warga negara (oknum). Kita lihat betapa besarnya ikatan emosional sesama orang Papua ketika dikatakan tidak adil oleh oknum masyarakat yang tidak bertanggung jawab.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Penolakan ini tidak hanya datang dari sesama para mahasiswa, tetapi juga datang dari berbagai tokoh di Papua, yakni MRP sebagai Majelis Rakyat Papua, DPRP, Pemerintah, Lembaga Gereja, Adat, Perempuan dan lainnya.

Persoalan aksi penolakan Rasisme di Papua adalah sebab akibat, ada asap karena ada api. yang membuat api dari Surabaya maka seharusnya menanggung akibat berat adalah sumber yang membangun narasi rasisme itu. harusnya yang sumber menciptakan rasisme yang dihukum berat karena dia yang menciptakan Rasisme maka kerugian negara daerah dan masyarakat papua pun tak terhindarkan karena demo menantang rasisme. Oleh sebab itu yang menciptakan narasi rasisme oleh karena itu harusnya hukuman berimbang.

Apapun yang timbul akibat Demonstrasi Penolakan aksi Rasisme adalah bentuk Reaksi Kritis terhadap praktek Rasisme yang telah lama berlangsung di papua, yang tidak mendapat tempat untuk mencurahkan kekecewaan diskriminasi Rasial yang terpatri.

F. Tuntutan JPU akan Membunuh Masa Depan Pemuda Papua

Ketua-Ketua BEM yang saat ini yang di proses hukum adalah Generasi terbaik Papua yang pada akhirnya akan menjadi pemimpin bagi Papua kelak, jika mereka di hukum maka masa depan mereka 5-10 tahun mendatang akan mati. Membunuh masa depan juga adalah tindakan kejahatan kemanusiaan, para ketua BEM yang diadili juga punya hak untuk mengeyam pendidikan, dan meneruskan masa depanya.

Ingat bahwa selama pemerintah masih berlaku rasis terhadap Mahasiswa Papua, berlaku rasis terhadap penegakan hukum dan HAM di tanah Papua, dan berlaku rasis terhadap kebebasan berdemokrasi perkara papua tidak akan tuntas. Karena itu menghukum ke-7 Tapol bukanlah langka strategis dan komprehensif bagi penyelesaian masalah papua.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

G. Akibat Praktek Rasisme Menghacurkan Kebinekaan

Wamena berdarah 29 September 2019, Jayapura bardarah 2019, Manokwari, Sorong dan kota-kota besar lainnya di Indonesia yang memaksa warga harus mengungsi, banyak nyawa tak berdosa korban, harta benda, rumah tempat usaha dan banyak lagi pengorbanan yang tidak kita inginkan telah terjadi.

Aksi-aksi ini lebih banyak pemicuhnya adalah rasisme dan ujaran kebencian. Untuk itu, kita harus jujur akui bahwa akibat praktek rasis di Surabaya benar-benar memporak-porandakan nilai-nilai kemanusiaan yang dibangun orang papua selama ini.

Bagi orang Papua selama ini tidak pernah marah sama siapapun yang datang di Papua selama niatan baik dan berkehendak hidup berdampingan, saling menghargai antar umat beragama isu SARA sudah jarang terdengar, tetapi praktek rasismelah yang membongkar seluruh tatanan kehidupan sosial yang selama ini dibangun dan dipertahankan itu.

H. Kebijakan Pemerintah Daerah

Pemerintah Provinsi papua, Papua Barat, seluruh kabupaten kota yang ada sepatutnya ambil hikmahnya dan bijak sebaik-baik mungkin aksi rasisme yang menghancurkan tatanan kehidupan sosial. Kebijakan keberpihakan, pemberdayaan pemuda Papua, pembukaan lapangan pekerjaan yang lebih bermartabat, terutama pemanfaatan anggaran otonomi khusus.

Publik akan menilai pemerintah daerah Papua gagal total. Bagaimana tidak, dana Otsus triliunan rupiah masuk Papua tidak dapat manfaatnya oleh masyarakat asli Papua yang haknya dilindungi dalam undang-undang. Lalu dana sebanyak itu bermanfaat kepada siapa saja? Tinggal satu tahun Otsus akan berakhir sadarlah wahai pemimpin bahwa jabatan bukalah warisan tetapi amanah. (*)

Artikel sebelumnyaKNPB Konsulat Indonesia Rayakan HUT ke-10
Artikel berikutnya23 Tapol di Fakfak Mengaku Tidak  Ikuti Sidang Virtual dengan Baik