Oleh: Bernardus Bofitwos Baru,OSA)*
Penulis, Direktur SKPKC-OSA, tinggal di Biara Tagaste, Sorong
Peran Kepemimpinan Perempuan Papua dalam Konteks Budaya Maybrat[1]
Berbicara tentang peran kepemimpinan perempuan, bukanlah hal yang asing bagi orang Papua pada umumnya, dan khususnya Maybrat. Karena dalam budaya Maybrat, pada masa lalu peran kepemimpinan perempuan sudah dipraktekkan dan dihidupi secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Maybrat. Hal ini terlihat melalui sistem pendidikan adat yang diberikan kepada para gadis menjelang masa dewasa. Sistem pendidikan adat ini dikenal dengan nama “Fenia Meroah” atau “Fenia Mekiar.”[2] Setiap perempuan yang mau memasuki usia dewasa harus dididik dan dikaderkan dalam sistem pendidikan adat Fenia Meroah ini.
Melalui sistem pendidikan adat ini, setiap perempuan Meybrat sungguh-sungguh dididik, dibina, dilatih dan diajarkan beberapa bidang penting yang menjadi bekal baginya ketika memasuki usia perkawinan (dewasa). Beberapa bidang penting tsb di antaranya: Pendidikan kepribadian (attitude intelligence), moral – etika (ethical and moral intelligence), dan keterampilan (skill intelligence) yang khas perempuan serta pendidikan spiritual (spiritual intelligence). Materi-materi pendidikan adat ini berkaitan erat dengan pembangunan martabat dan jati diri sebagai perempuan, dan sebagai manusia (human beings). Ketika martabat dan jati diri perempuan ditegakkan berarti martabat dan jati diri kaum pria pun ditegakkan.
Jadi, melalui sistem pendidikan adat ini seorang perempuan disiapkan sebagai seorang pemimpin yang mampu memimpin dirinya sendiri, keluarganya dan masyarakat. Karena peran kepemimpinan perempuan yang demikian turut menentukan keberlangsungan atau eksistensi kelompok sukunya.
Peran kepemimpinan perempuan Papua dalam konteks budaya Maybrat terlihat melalui beberapa bidang karya. Bidang yang paling menentukan adalah kepemimpinan rumah tangga. Seorang perempuan mempunyai peran kepemimpinan sebagai istri bagi seorang suami dan sekaligus berperan sebagai ibu bagi anak-anaknya, dan pula bagi keluarga besar suaminya.
Selain itu, ia juga berperan sebagai seorang manejer yang mendisain dan mengolah hasil kebun untuk keperluan rumah tangganya. Hal ini disimbolkan dengan noken besar yang digunakannya, di mana di dalamnya berisi berbagai macam kebutuhan rumah tangga. Selain itu, ia juga berperan sebagai “ahli masak” (koki) yang mengolah dan memasak segala makanan yang dihidangkannya bagi suami, anak-anak dan para tamu – undangan. Pilihan bahan-bahan masakannya tidak sekedar untuk dimakan karena lapar, melainkan karena bahan-bahan makanan tsb mengandung gizi tinggi bagi nutrisi anak-anak dan seisi rumahnya. Seorang ibu juga berperan sebagai dokter (tabib) dan perawat yang merawat keluarganya yang sakit dan memberikan ASI (Air Susu Ibu) kepada anaknya. Ia memiliki pengetahuan yang memadai tentang berbagai jenis obat alam (tradisional) yang dikonsumsikan ketika ada anggota keluarganya yang sakit, dan pula pengetahuan tentang doa-doa penyembuhan tradisional (the traditional healing prayers). Dan sebagai seorang ibu adalah seorang “ahli logistik” yang mampu mengatur segala kebutuhan keluarganya. Ia juga berperan sebagi penasehat atau pemberi nasehat (boowatum) kepada anak-anaknya, dan juga kepada suaminya ketika menghadapi suatu masalah atau melakukan transaksi kain timur.
Selain perempuan berperan sebagai pemimpin keluarga, mereka juga berperan di dalam masyarakat. Mereka juga tampil sebagai pemimpin formal. Misalnya memimpin masyarakat mengatasi berbagai macam konflik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Demikian juga perempuan bahu-membahu bersama kaum pria tampil ke depan menyelesaikan persoalan-persoalan adat atau konflik adat. Laki-laki tidak mungkin tampil seorang diri menyelesaikan segala problem yang terjadi di dalam kehidupan bersama tanpa bantuan perempuan. Perempuan pada umumnya tampil di belakang layar, namun sangat mempengaruhi kebijakan yang diambil demi kebaikan bersama (bonum commune). Mereka berperan sebagai instruktur yang mengatur segala sesuatu yang dibutuhkan demi kemajuan hidup bersama.
Beberapa Peran Kepemimpinan Perempuan Papua Memajukan Keluarga dan Masyarakat pada Saat Sekarang dan Akan Datang.
Pada kesempatan ini, saya menyoroti tiga peran yang diemban oleh perempuan Papua: Pertama, menguduskan keluarga dan masyarakat, kedua, memperjuangkan keadilan dan perdamaian, dan ketiga, mengajar dan meneruskan kearifan nilai-nilai budaya Papua dan iman kepada anak-anak dan para generasi muda.
Pertama, menguduskan keluarga dan masyarakat
Apa artinya menguduskan keluarga dan masyarakat? Kata kudus dari kata Latin, Sacro artinya memurnikan, membenarkan, menunjukkan yang asli atau yang sebenarnya, mengajarkan apa yang benar menurut ukuran nilai iman, moral dan fakta atau ilmu pengetahuan. Jadi, menguduskan berarti upaya perempuan memurnikan visi dan misinya dalam pilihan hidupnya. Visi dan misi perempuan ini berkaitan dengan mengajarkan nilai-nilai yang asli dan yang benar kepada anak-anaknya, suami, tetangga dan masyarakat.
Karena situasi masyarakat saat ini didayai dan didominasi oleh ajaran-ajaran yang tidak murni atau tidak benar atau ajaran-ajaran sesaat yang tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai budaya dan agama. Masyarakat kita saat ini, terlebih kaum muda hidup dalam dunia yang dibanjiri oleh sandiwara politik, kepalsuan data/fakta, rekayasa kebenaran, manipulasi nilai-nilai kemanusiaan, dan lain-lain. Masyarakat kita, terlebih generasi muda mudah digiring oleh arus kepalsuan nilai dan kebenaran palsu zaman ini. Hal ini terjadi karena manusia zaman post-modern atau zaman milenial ini adalah manusia yang memiliki kepribadian yang terpecah-belah atau kepribadian mendua (ambivalent personality).
Tentang kepribadian yang terpecah-belah (the broken personality) ini, disoroti oleh seorang Filsuf Prancis, J. Bourdieau yang menamainya, hysteresis.[3] Menurutnya, hysteresis adalah deviasai atau keretakan habitus seseorang atau watak retak yang terjadi di dalam diri seseorang. Menurutnya, terjadinya kepribadian yang terbelah dua ini, dikarenakan oleh keretakan dan tidak mengutuhnya sebuah proses internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai budaya dan spiritual-rohani (agama) di dalam diri seseorang. Dengan kata lain, ketercabutan atau tercungkilnya pribadi seseorang dari “asal” habitus budayanya karena harus mengikuti arus budaya modern atau global (global village). Atau juga ketercabutan kepribadian seseorang karena keharusan mengikuti sistem pendidikan dan pola hidup modern – post-modern (Mudji Sutrisno 2010: 18). Ketercabutan inilah yang disebut sebagai proses meninggalkan budaya asalnya karena harus mengikuti tuntutan budaya baru.
Sehingga terjadi watak retak atau hysteresis yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang, sehingga turut mempengaruhi kehidupan bermasyarakat secara keseluruhan. Contoh terjadinya kasus hamil di luar nikah yang dialami oleh para remaja saat ini, sehingga mereka terpaksa menjadi ibu di saat masa mudanya padahal belum saatnya menjadi ibu atau sebaliknya mereka memberikan anaknya kepada orang tua untuk diasuh.
Proses watak retak atau kepribadian terbelah atau terbagi-bagi ini terjadi, karena disebabkan oleh dua (2) hal: Pertama, tidak adanya kelanjutan sistem pendidikan nilai dan ruang dialog budaya yang setara, karena “dipaksa” internalisasi dan ekternalisasi di bawah paksaan kekuasaan kolonialisme budaya luar. Kedua adalah imperialisme nilai-nilai budaya luar di mana dipaksakan agar diterima dan dijalankannya karena tuntutan sistem atau “etos kerja modern – post-modern”, tanpa proses refleksi, adaptasi, internalisasi dan transformasi (Mudji Sutrisno 2010: 18). Romo Mudji lebih lanjut memaparkan beberapa fenomena yang sedang dialami oleh masyarakat Indonesia karena akibat “hysteresis” ini.
Fenomena pertama adalah di tengah-tengah tuntutan dunia kerja yang professional dan kompetitif demi hasil, yaitu meraih keuntungan yang sebesar-besarnya, sehingga membentuk suatu watak atau karakter “menggap remeh orang lain atau meremehkan orang lain” kalau orang itu tidak produktif dan kompetitif, ia menyombongkan dirinya sebagai orang hebat. Karena itu, di mana-mana terlahirlah mentalitas berlomba-lomba untuk meraih sukses atau prestasi, orang lain harus ditaklukan karena orang lain adalah lawan atau musuh. Manusia bukan menjadi pusat perhatian tetapi kerjanya atau bisnisnya supaya meraih kekayaan yang sebesar-besarnya.
Fenomena kedua, lahirnya watak atau karakter retak atau kepribadian ambivalent, karena mentalitas susah mensyukuri dan menghargai prestasi atau capaian orang lain. Bila ada keluarga dekat yang meraih kesuksesan, kita tidak mau, kita berusaha agar orang itu diturunkan supaya tetap sama dengan kita. Contohnya adalah politik devide et impera sebagaimana sedang terjadi di Papua, yaitu politik pemekaran daerah. Selain lahirnya mentalitas “saling berebutan jabatan atau kedudukan” di antara para pejabat agar bisa duduk di kursi Bupati, Gubernur, dll, walaupun masih ada hubungan keluarga dan seiman.
Fenomena ketiga, bukannya menghayati watak atau karakter dan roh disiplin dari budaya luar yang masuk tetapi kita malah mengambil asesoris atau simbol-simbol kulitnya saja untuk tampil “trendy” (dalam bahasa gaul, biar gaya). Misalnya penggunaan HP dan laptop yang tujuannya, membantu memperlancar pekerjaan dan mempercepat komunikasi tetapi disalahgunakan sebagai media “ngobrol” (cerita-cerita hayalan) dan permainan dunia maya dengan tayangan-tanyangan menghibur dan penikmat yang hanya membuang-buang waktu dan tenaga. Selain itu, kaum remaja dan orang tua pun ikut-ikutan terjun ke dunia diskotik, free seks, dll. Lupa nilai-nilai moral dan budaya.
Fenomena keempat, terbentuknya mentalitas ketidakberanian mengakui kesalahan dan bertanggung jawab terhadap kesalahan dan perbuatan-perbuatan yang melanggar nilai-nilai etika-moral, agama dan budaya. Banyak para pemimpin kita saat ini obral janji daripada berani mengakui dan bertanggung jawab atas kesalahan yang dibuatnya merugikan banyak orang. Mereka lebih condong beragumen sebagai upaya pembenaran dirinya (M.Sutrisno 2010: 19 – 20).
Oleh karena itu, para perempuan Papua supaya mulai saat ini (hic et nunc), bangkit dari tidur, berani berkata yang benar, dan berani mengajarkan nilai-nilai budaya dan iman, yaitu nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, kekeluargaan/kekerabatan, disiplin dan kerja keras, serta keberanian memperjuangkan kebenaran, keadilan dan perdamaian, sehingga dengan demikian majulah masyarakat kita dan mampu bersaing dengan masyarakat di belahan dunia lain.
Kedua, memperjuangkan keadilan dan perdamaian
Sejak wilayah Papua dianeksasi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi wilayah teritorial Indonesia melalui Pepera 1969, yang sarat rekayasa dan manipulasi, sehingga melahirkan konflik politik kekuasaan dan politik ekonomi yang berkepanjangan hingga saat ini antara rakyat Papua dengan Pemerintah NKRI. Akibat konflik politik ini membawa ribuan korban nyawa dan penderitaan yang tidak sedikit bagi orang Papua.
Konflik politik ini terjadi karena status politik West New Guinea atau Nederlandse Nieuw Guinea (Papua) yang masih diduduki Belanda, tetapi setelah terjadi penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Hindia Belanda kepada Indonesia pada 27 Desember 1949.[4] Konflik kepentingan politik dan ekonomi pemerintah Indonesia dan Belanda berakhir dengan perjanjian New York 1962 (New York agreement) di mana pemerintah Belanda menyerahkan New Guinea (Papua) ke UNTEA (United Nation Temoprary Executive Authority) dan kemudian UNTEA menyerahkan Papua kepada pemerintah Indonesia. Sebagai bagian dari perjanjian New York, Pemerintah Indonesia melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969, di mana dinyatakan bahwa 1.024 wakil-wakil orang Papua memilih bergabung dengan Indonesia (Muridan 2009: 3).
Namun menurut penilaian sebagian besar orang Papua bahwa hasil Pepera ini adalah rekayasa Pemerintah Indonesia, bukan hasil pendapat murni dari orang Papua. Karena cara yang digunakan pada saat Pepera adalah many men one vote atau banyak orang satu suara bukan one man one vote atau satu orang satu suara ( D. N. Pigay 200: 277).
Setelah babak konflik kepentingan pemerintah Indonesia dengan Belanda berakhir pada peristiwa Pepera, namun hasil Pepera menyisihkan konflik politik baru antara orang Papua dengan Pemerintah Indonesia. Konflik kepentingan politik ini terus berlangsung hingga detik ini. Konflik ini telah memakan ribuan korban orang Papua dan militer Indonesia. Konflik orang Papua dengan pemerintah Indonesia terus-menerus berlanjut melalui berbagai peristiwa berdarah. Misalnya peristiwa tahun 1985 operasi militer besar-besaran di daerah Pegunungan sehingga menewaskan 517 penduduk sipil, pada tahun 2004 militer membunuh 5 penduduk sipil dan satu pendeta, yaitu Goliat Tabuni (Suara Pembaruan, 24 April 2004). Masih banyak lagi peristiwa berdarah lainnya.
Melalui hasil penelitian Tim Papua LIPI selama tahun 2004, 2005 dan 2006, ditemukan beberapa hal yang merupakan sumber konflik politik, ekonomi dan kemanusiaan di Papua (Muridan 2009: 7):
- Sejarah integrasi, status politik dan indentitas politik pada konteks di mana terjadinya peralihan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia dan perang dingin di mana Amerika mempunyai kepentingan politiknya. Bagi pemerintah NKRI, Papua adalah bagian dari NKRI, status politik sudah sah melalui Pepera dan resolusi PBB dan integrasi Papua ke NKRI adalah pembebasan dari kolonialisme Belanda. Sedangkan orang Papua memandang dirinya bukan bagian dari Indonesia tetapi bagian dari ras Melanesia. Hasil Pepera tidak sah karena tidak merepresentasikan aspirasi rakyat Papua, dan memasukan Papua menjadi bagian dari wilayah NKRI adalah neokolonialisme Indonesia.
- Kekerasan politik dan pelanggaran HAM pada konteks rezim otoritarianisme Orde Baru dan kapitalisme internasional. Karena bagi pemerintah NKRI pola kekerasan yang diciptakan oleh militer adalah cara untuk mempertahankan keutuhan NKRI. Sedangkan bagi orang Papua cara kekerasan (violence) pada prinsipnya adalah pelanggaran HAM.
- Kegagalan pembangunan pada konteks rezim otoritarianisme Orde Baru dan kapitalisme internasional. Maka menurut pemerintah NKRI upaya program dan proyek pembangunan di Papua adalah upaya modernisasi orang Papua. Namun bagi orang Papua upaya ini merupakan migrasi dan trasmigrasi terbuka dan terselubung tenaga kerja dari luar masuk ke Papua, sehingga menyebabkan marjinalisasi orang Papua.
- Inkosistensi kebijakan Otsus dan marjinalisasi orang Papua pada konteks reformasi dan demokrasi pada masa post-Orde Baru. Bagi pemerintah NKRI Otsus diletakan dalam konteks integrasi nasional dan pembangunan nasional yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan bagi orang Papua memandang Otsus adalah pelurusan sejarah politik Papua, perlindungan terhadap hak-hak orang Papua, dan sebagai wujud pembangunan untuk orang Papua serta re-Papua-nisasi.
Berlandaskan sejarah konflik politik yang melahirkan kekerasan politik dan pelanggaran HAM, perbedaan visi dan misi politik, kebijakan politik yang setengah hati oleh pemerintah NKRI untuk orang Papua. Dan upaya eksploitasi hasil kekayaan alam di Papua serta masalah marjinalisasi orang Papua karena jumlah pendatang yang semakin hari semakin bertambah, menjadi sumber konflik yang menyebabkan orang Papua hidup dalam keadaan tertekan, frustrasi, kehilangan daya juang, kerja keras dan daya kritis, serta pesimis dan pasrah menerima nasib.
Karena itu, perempuan Papua harus berani tampil ke depan memperjuangkan kebenaran, keadilan sebagai manusia yang mempunyai harkat dan martabat secitra dengan Allah.
Sebagai perempuan Papua, jangan membungkam suara hatimu dan mulutmu untuk bersuara membela hak-hak dasar orang asli Papua yang telah, sedang dan akan dirampas dan dieksploitasi oleh Pemerintah RI. Saatnya sekarang, bangkit dan berjuang menengakkan kebenaran dan keadilan di atas tanah Papua tercinta ini. Angin harapan mulai menghembus dari Merauke hingga Sorong, hal ini terlihat melalui tampilnya ”srikandi-srikandi” Papua ”zaman now”. Semoga semakin banyak lagi para perempuan Papua yang tampil sebagai pemimpin domestik dan publik yang berkualitas, maka masa depan masyarakat asli Papua akan maju bersaing dengan orang lain.
Ketiga, mengajar dan mewariskan kearifan nilai-nilai budaya dan iman kepada anak-anak dan para generasi muda
Siapa yang menjadi pilar pertama dan utama mengajarkan dan meneruskan kearifan nilai-nilai budaya kepada anak-anak dan para generasi muda kita sebagai penerus hak ahli waris nilai-nilai budaya yang membentuk identitas dan jati diri kita sebagai manusia? Bukankah kaum perempuan yang menjadi pilar pertama dan utama yang mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai tsb?
Secara sosiologis-psikologis, perempuanlah yang menjadi locus atau tempat pertama persemaian nilai-nilai budaya dan agama (iman) bagi anak-anak dan generasi muda kita. Ketika terjadi pembuahan di dalam rahim ibu, berkembang menjadi janin, kemudian menjadi bayi, sejak itulah seorang anak dapat merekam sifat, sikap, prinsip dan tingkahlaku dari ibunya. Segala nilai-nilai yang dihayati oleh ibunya sejak semula tertanam di dalam jiwa anaknya saat di dalam kandungannya. Sejak saat itulah, anak tsb telah belajar mendengar, merasa dan mengalami apa yang dipikirkan, dirasakan dan diperbuat oleh ibunya.
Oleh karena itu, rahim perempuan adalah sekolah pertama dan utama yang menjadi tempat persemaian nilai-nilai sejati hidup manusia (the mother womb is the first place of education). Melalui rahim seorang ibu, lahir kehidupan baru, yaitu seorang manusia yang kelak berguna bagi masyarakat, Gereja, bangsa dan Negara. Maka para perempuan mestinya berbangga hati dan bersyukur, karena kalianlah yang memegang peran utama dalam proses pendidikan karakter dan kepribadian seorang manusia.
Para perempuan Papua punya tanggungjawab moril yang besar mengajarkan nilai-nilai budaya Papua (Melanesia) seperti nasehat (boowatum), etika – moral (tata krama, sopan santun, perbuatan baik), dll kepada para generasi penerus. Dari seorang ibulah nilai ketekunan, pengorbanan dan pengabdian kepada Allah dan sesama dipersemaikan sejak dini kepada anak-anaknya. Sebagai seorang calon ibu dan ibu, hendaknya mengajarkan nilai cinta kasih dan iman kepada para generasi penerus melalui teladan hidup yang nyata. Demikian pula sebagai seorang perempuan sejati, anda dapat menunjukan sikap kerendahan hati (umiltas), kejujuran (honesty), kesederhanaan (simplicity) dan sikap senantiasa bersyukur kepada Tuhan (thanksgiving) atas segala anugerah yang dicurahkan-Nya kepadamu. Bila demikian yang terjadi, maka masyarakat asli Papua akan meraih kemajuan dan mencapai kesejahteraan di masa yang akan datang. (*)
Referensi
[1] Suku Maybrat ini berada di wilayah Kepala Burug Papua. Ditinjau dari sudut antropologi Papua, suku Maybrat terdiri dari lima (5) sub suku: (1) Ayamaru, (2) Aitinyo, (3) Aifat, (4) Mare, (5) Meyaah.
[2]. Louisi Thoonen, The Door to Heaven, Female Initiation, Christianity and Identity in West Papua, Raboud University, Nijmegen, 2005, 95 – 98.
[3]. Mudji Sutrisno, SJ, Ranah Filsafat & Kunci Kebuyaan, Galangpress 2010, 18.
[4]. Widjojo S, Muridan (Edit.), Papua Road MAP, Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future, LIPI, Yayasan Tifa, dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, 3.