Ketua ULMWP: Rakyat West Papua Tidak Rayakan 17 Agustus

0
2198

WAKEITEI, SUARAPAPUA.com — Perayaan 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan Indonesia, menurut Benny Wenda, ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), tidak penting bagi rakyat West Papua.

“Alih-alih merayakan hari kemerdekaan Indonesia, 15-17 Agustus harus menjadi hari berkabung (duka) dan refleksi bagi seluruh rakyat West Papua,” katanya seperti dikutip dari website resmi ULMWP.

Benny mengungkapkan penderitaan panjang bangsa West Papua hingga hari ini merupakan buah dari hasil kesepakatan rahasia antara Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat pada tanggal 15 Agustus 1962 yang dikenal dengan New York Agreement.

Perjanjian New York membicarakan status masa depan West Papua tanpa melibatkan orang Papua, menurutnya, ilegal apalagi pelaksanaannya menyimpang dari ketentuan yang berujung pada penderitaan hingga konflik berdarah di Tanah Papua selama setengah abad lebih bersama Indonesia.

“Pada tanggal 15 Agustus 1962, negosiasi rahasia antara pemerintah Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat memutuskan nasib rakyat saya. Tidak ada orang Papua yang diajak berkonsultasi, dan referendum yang dijanjikan kepada kami dalam Perjanjian New York 1962 tidak pernah terjadi,” bebernya.

ads

Bukan perayaan 17 Agustus, Benny menyebut pekan ini sangat penting bagi ingatan kolektif rakyat West Papua. Tepat 15 Agustus kemarin, kata dia, peringatan 58 tahun bangsa West Papua masuk ke Indonesia dan menandai satu tahun pemberontakan West Papua atas serangan rasis Indonesia.

Baca Juga:  TETAP BERLAWAN: Catatan Akhir Tahun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat 2023

Tindakan rasisme dan pelecehan dialami mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya, Jawa Timur, 15-18 Agustus 2019. Pasukan keamanan Indonesia bersama geng nasionalis (ormas) menyerangnya di Asrama Papua dengan ucapan rasial: monyet, anjing, dan disuruh pulang ke Papua.

Sebagai tanggapan, kata Wenda, rakyat West Papua melancarkan pemberontakan terbesar dalam dua puluh tahun terakhir. Ratusan ribu keluar untuk menolak rasisme, diskriminasi dan menuntut referendum kemerdekaan.

Ketua ULMWP menegaskan, “Bagi kami orang West Papua, Perjanjian New York adalah kesepakatan tentang ingkar janji. Inilah akar penyebab penderitaan kami, akar penyebab 500.000 orang kehilangan nyawa di tangan Indonesia.”

Oleh karena itu, Benny serukan, “Segenap bangsa West Papua bersatu untuk menolak Perjanjian New York dan pendudukan ilegal dan penjajahan Indonesia atas tanah kami.”

Benny memperkirakan penolakan itu akan dibuktikan dengan tidak berpartisipasi dalam perayaan hari kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2020.

“Kami tidak mengakui hari kemerdekaan Indonesia di West Papua. Tanah kami bukan Indonesia, dan ini bukan hari kemerdekaan kami. Kami masih menunggu hari kemerdekaan kami yang sebenarnya ketika kami akhirnya mendapatkan kembali hak kami untuk dengan merdeka menentukan masa depan politik kami sendiri,” tegasnya.

“Sebagai gantinya,” ujar Wenda, “kami akan tinggal di rumah dan berduka atas peringatan pertama pemberontakan West Papua terhadap rasisme pada tahun 2019.”

Baca Juga:  Paus Fransiskus Segera Kunjungi Indonesia, Pemerintah Siap Sambut

Wenda bahkan tegaskan komitmen menolak upaya baru pemerintah Indonesia melanjutkan Otsus jilid dua. “Semua masyarakat sipil West Papua telah menyatakan menolak Otonomi Khusus dan segala upaya untuk memperbaruinya. Gereja, organisasi politik, rakyat biasa, bahkan badan-badan yang didirikan oleh Jakarta di bawah ketentuan Otonomi Khusus, semua menolaknya.”

“Kami tidak menginginkan ‘otonomi palsu’. Kami hanya akan meningkatkan perjuangan kami untuk penentuan nasib sendiri yang sejati, yang dicapai melalui referendum kemerdekaan yang diawasi secara internasional,” ujar Benny.

Victor F. Yeimo, juru bicara internasional KNPB menyatakan, New York Agreement 15 Agustus 1962 tidak melibatkan rakyat West Papua dan itu rekayasa Amerika, Belanda dan Indonesia atas konspirasi ekonomi politik.

“Perjanjian itu menjadi landasan hukum internasional bahwa Indonesia, Belanda dan PBB mengakui kembali West Papua sebagai wilayah tak berpemerintahan sendiri (non self government territory) yang memiliki hak hukum substantif untuk menentukan nasibnya sendiri,” tegasnya dalam artikel berjudul ‘17 Agustus 1945 dan Perjanjian New York’

Sesuai perjanjian itu, tulis Yeimo, Indonesia mengambil peran kekuasaan administrasi dari Belanda pada 1 Mei 1963 untuk mendorong hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua.

“1 Mei 1963 itu penyerahan kekuasaan administrasi kolonial, bukan penyerahan kedaulatan West Papua ke tangan Indonesia. Artinya, Indonesia diberi mandat untuk memenuhi hak penentuan nasib sendiri bagi West Papua, sama dengan mandat yang diemban Australia untuk memerdekakan PNG, atau Inggris kepada Fiji, Prancis dan Inggris kepada Vanuatu, Portugis kepada Timor Leste, atau sekarang Prancis yang sedang melaksanakan referendum untuk Kanaky,” bebernya.

Baca Juga:  Polri akan Rekrut 10 Ribu Orang untuk Ditugaskan di Tanah Papua

Tetapi mandat inilah yang menurutnya sampai saat ini tidak dilaksanakan Indonesia.

“Pepera 1969 bukan suatu penentuan nasib sendiri, karena tidak dilaksanakan sesuai prinsip dan standar hukum internasional. Indonesia tidak melaksanakannya sesuai persyaratan prosedur internasional sebagaimana Pasal 73 Piagam PBB. Pepera 1969 bukan suatu integrasi, tetapi aneksasi sepihak karena keputusan untuk berintegrasi dengan sebuah negara yang sudah ada bisa sah hanya jika proses integrasi itu memenuhi persyaratan-persyaratan Prinsip IX Resolusi Sidang Umum PBB 1541(XV),” urai Yeimo.

Yeimo mengutip pernyataan Melinda Janki, pengacara Internasional, “Pepera gagal memenuhi satu pun kriteria untuk sebuah proses penentuan pendapat rakyat yang sah di bawah hukum internasional.”

Karena teritori West Papua hingga kini berstatus sebagai wilayah yang belum berpemerintahan sendiri dibawah pendudukan Indonesia, ujar Yeimo, Indonesia memegang mandat kepercayaan suci untuk wajib segera memenuhi hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua sesuai piagam PBB.

Pewarta: Markus You

Artikel sebelumnyaAMP dan FRI-WP Ambon: 15 Agustus 1962 “Jalan Aneksasi Ilegal”
Artikel berikutnyaMahasiswa Eksodus Peringati Hari Rasisme Terhadap Orang Papua