17 Agustus 1945 dan Perjanjian New York

0
1614

Oleh: Victor F. Yeimo)*
)* Juru Bicara Internasional KNPB

Tidak ada entitas bangsa dan wilayah teritorial yang diproklamirkan Soekarno pada 17 Agustus 1945. Soekarno tidak pernah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tidak ada bukti orang Papua terlibat dalam proklamasi ini.

Secara de facto dan de jure tidak pernah diakui oleh satu negara lain saat itu. Pengakuan teritori Sabang sampai Amboina oleh Belanda baru terjadi tahun 1949 di bawah Undang-Undang Republik Indonesia Serikat.

Sampai pada tahun 1960, West Papua adalah jajahan Belanda, diklasifikasikan oleh hukum internasional dan terdaftar sebagai wilayah tak berpemerintahan sendiri di PBB. Bukan bagian resmi dari Indonesia sebagaimana klaim Indonesia bahwa West Papua sudah menentukan nasib melalui proklamasi 17 Agustus 1945.

Atas resolusi 1514 (XI) PBB tentang kemerdekaan bagi wilayah-wilayah jajahan, maka Belanda selaku pemegang administrasi mempersiapkan kemerdekaan West Papua sebagaimana manifesto politik West Papua 1 Desember 1961.

ads
Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Indonesia halangi proses dekolonisasi West Papua, atau hak hukum rakyat West Papua untuk menentukan nasib sendiri sesuai semangat Deklarasi PBB dilanggar dengan mengokupasi teritori West Papua. Presiden Soekarno melancarkan ekspansi politiknya di West Papua dengan kekuatan militer membuat West Papua menjadi sengketa internasional. Konspirasi ekonomi politik AS, Belanda dan Indonesia melahirkan Perjanjian New York 15 Agustus 1962.

Perjanjian New York, sekalipun tidak melibatkan rakyat West Papua dan merupakan rekayasa AS, Belanda dan Indonesia, tetapi perjanjian itu menjadi landasan hukum internasional bahwa Indonesia, Belanda dan PBB mengakui kembali West Papua sebagai wilayah tak berpemerintahan sendiri yang memiliki hak hukum substantif untuk menentukan nasibnya sendiri. Maka, sesuai perjanjian itu, Indonesia mengambil peran kekuasaan administrasi dari kolonial Belanda pada 1 Mei 1963 untuk mendorong hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Jadi, 1 Mei 1963 itu adalah penyerahan kekuasaan administrasi kolonial, bukan penyerahan kedaulatan West Papua ke tangan Indonesia. Artinya, Indonesia diberi mandat untuk memenuhi hak penentuan nasib sendiri bagi West Papua, sama dengan mandat yang diemban Australia untuk memerdekakan PNG, atau Inggris kepada Fiji, Prancis dan Inggris kepada Vanuatu, Portugis kepada Timor Leste, atau sekarang Prancis yang sedang melaksanakan referendum untuk Kanaky.

Mandat inilah yang tidak dilaksanakan Indonesia sampai saat ini. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 bukan suatu penentuan nasib sendiri, karena tidak dilaksanakan sesuai prinsip dan standar hukum internasional. Indonesia tidak melaksanakannya sesuai persyaratan prosedur internasional sebagaimana Pasal 73 Piagam PBB. Pepera 1969 bukan suatu integrasi, tetapi aneksasi sepihak karena keputusan untuk berintegrasi dengan sebuah negara yang sudah ada bisa sah hanya jika proses integrasi itu memenuhi persyaratan-persyaratan Prinsip IX Resolusi Sidang Umum PBB 1541(XV).

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Melinda Janki, pengacara Internasional mengatakan, “Pepera gagal memenuhi satu pun kriteria untuk sebuah proses penentuan pendapat rakyat yang sah di bawah hukum internasional”. Pomerance menganggap Pepera sebagai sebuah “pro forma” (basa-basi) dan tindakan palsu. Cassese mendeskripsikan integrasi West Papua ke Indonesia sebagai sebuah penyangkalan besar terhadap hak penentuan nasib sendiri, sebuah pilihan palsu, sebuah sandiwara dan pengkhianatan besar terhadap prinsip penentuan nasib sendiri.

Karena itu, teritori West Papua hingga saat ini berstatus sebagai wilayah yang belum berpemerintahan sendiri (non self government territory) dibawah pendudukan kolonial Indonesia. Sehingga Indonesia memegang mandat kepercayaan suci untuk wajib segera memenuhi hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua sesuai piagam PBB. (*)

Artikel sebelumnyaAdriaan van der Bijl, Misionaris di Tanah Ndugama Tutup Usia
Artikel berikutnyaMasyarakat dan Mahasiswa Tolak Tambang Emas Ilegal di Tambrauw