Surat Terbuka Kepada Menlu RI Soal Teguran ke Vanuatu

0
2428
Silvany Austin Pasaribu, diplomat Indonesia di Forum PBB. (Screenshot - SP)
adv
loading...

Yang terhormat, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia

Retno Lestari Priansari Marsudi, S.I.P., LL.M.

– di tempat.

Dengan Hormat,

Kiranya Ibu Menteri senantiasa sehat dan dalam lindungan Tuhan.

ads

Perkenalkan saya Christin Chatrin Nebore, seorang mahasiswa yang lahir dan besar di Kota Sorong, Papua Barat.

Pada kesempatan kali ini, tidak sependapat terhadap jawaban dan pernyataan diplomat perwakilan Republik Indonesia dalam Sidang Majelis Umum ke-75 PBB yang digelar pada Sabtu, 26 September 2020.

Sehubungan dengan pidato Perdana Menteri Republik Vanuatu, beliau sempat berbicara mengenai pelanggaran HAM di Papua dalam pidatonya. Tentu saja Ibu Menteri telah lebih dahulu mengetahuinya. Namun, ada beberapa jawaban tegas diberikan oleh saudari berinisial SAP. Sebenarnya tidak sesuai dengan realita yang dialami orang asli Papua di Indonesia.

Beliau menegur Republik Vanuatu yang dianggap memiliki obsesi tidak sehat tentang bagaimana Indonesia seharusnya memerintah negaranya sendiri, dan kehilangan inti dari prinsip-prinsip fundamental dalam Piagam PBB. Bahwa bangsa Indonesia yang tersebar di lebih dari 17.400 pulau berkomitmen terhadap HAM, menghargai keragaman, menghormati toleransi. Semua orang memiliki kesamaan di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini, mempromosikan dan melindungi HAM di mana setiap individu memiliki hak yang sama di bawah hukum.

Baca Juga:  Media Sangat Penting, Beginilah Tembakan Pertama Asosiasi Wartawan Papua

Selain itu, Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial. Serta memberitahu bahwa Vanuatu bukanlah representasi rakyat Papua dan harus berhenti berkhayal menjadi mereka (Papua).

Tetapi kenyataannya pelanggaran HAM dan diskriminasi rasial itu sungguh terjadi, masih terjadi, dan dialami oleh rakyat Papua dimanapun kami berada dari dulu sampai sekarang. Bahkan belum terselesaikan secara adil, jawaban beliau tersebut menutupi kebenaran ini dari dunia luar dan menyakiti hati rakyat Papua. Buktinya media massa jarang meliput berita tentang kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua, Otonomi Khusus yang diberikan tidak berhasil menyejahterakan rakyat Papua, dan sekarang masyarakat menolak Otonomi Khusus Jilid II.

Selain itu, terjadi kasus Biak Berdarah 6 Juli 1998, kasus Wasior Berdarah Juni 2001, kasus Wamena Berdarah April 2003, kasus Paniai Berdarah (Enarotali) 8 Desember 2014, kasus Nduga 2 Desember 2018, dan yang terbaru kasus diskriminasi rasial yang dialami oleh mahasiswa asli Papua di Surabaya 16 Agustus 2019. Sehingga berujung konflik dan demo se-Tanah Papua dan menimbulkan korban jiwa, luka, hancurnya fasilitas publik dan fasilitas pemerintah di Papua.

Baca Juga:  Pencaker Palang Kantor Gubernur Papua Barat Daya

Tetapi, proses hukum terhadap orang asli Papua yang menjadi tersangka aksi protes massa tersebut bersifat diskriminatif dan tidak adil. Sedangkan para pemicu kasus seperti SA, TS, AA, hanya menjalani proses hukum dengan hukuman minimal. Sebenarnya masih sangat banyak kasus-kasus yang terjadi dan tidak terekspos.

Saya sangat menyayangkan dalam peringatan 75 tahun berdirinya United Nations (PBB) yang mengusung tema “The Future We Want, the United Nations We Need : Reaffirming Our Collective Commitment to Multilateralism Confronting COVID-19 Through Effective Multilateral Action” 2020, seharusnya aktor hubungan internasional Indonesia dalam hal ini diplomat perwakilan RI pada Sidang Majelis Umum PBB tidak menutupi kebenaran yang ada dari dunia internasional.

Terlebih lagi jika seorang aktor hendak menjadi representasi rakyat Papua, ia lebih dahulu harus memahami sejarah, keadaan, segala sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM di Papua.

Baca Juga:  ULMWP Desak Dewan HAM PBB Membentuk Tim Investigasi HAM Ke Tanah Papua

Sejak viralnya pernyataan tersebut, banyak masyarakat Indonesia yang melontarkan hujatan, diskriminasi rasial, komentar buruk kepada Republik Vanuatu di media sosial tanpa mengetahui keadaan sebenarnya. Padahal, ujaran kebencian oleh mereka itu sama persis dengan yang dirasakan kami orang Papua di Indonesia.

Seharusnya dalam situasi dunia seperti ini, kita semua berperan penting dalam melawan COVID-19, baik pemerintah maupun masyarakat. Bukannya semakin memperburuk situasi. Meningkatkan rasa kemanusiaan, menciptakan perdamaian dunia yang lebih baik, menegakkan keadilan dan kebenaran, mempererat hubungan antar negara, saling bersinergi, saling mendoakan, hingga mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tertera dalam UUD 1945 adalah beberapa cara dari sekian banyak langkah yang dapat kita implementasikan dalam kehidupan ini.

Demikian surat sederhana ini saya sampaikan. Tidak lepas dari keterbatasan manusia, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Tuhan memberkati Ibu Menteri, memberkati Indonesia, memberkati Papua, dan memberkati dunia termasuk kita semua. (*)

Klik Surat Terbuka kepada Menteri Luar Negeri Republik Indonesia.

Sorong, 30 September 2020,

Christin Chatrin Nebore

Sorong, Papua Barat.

Artikel sebelumnya294 Mahasiswa Yalimo Ikut Kegiatan Pembekalan
Artikel berikutnyaKIKA Indonesia Sayangkan Adanya Pembungkaman Ruang Demokrasi Mahasiswa di Papua