Oleh: Thomas Ch. Syufi)*
)* Penulis adalah Aktivis HAM Papua dan mantan Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas
Kini dunia tergempar atas terpilih Joseph Robinette “Joe” Biden(77) sebagai Presiden Amerika Serikat baru bersama Wakil Presiden Kamala Harris menggantikan Donald Trump-Mike Pence yang telah memerintah AS satu periode dan Trump dikalahkan saat pencalonannya kembali dalam Pemilu AS 3 November 2020.
Terpilihannya Joe Biden sebagai presiden AS dengan meraup 290 elektoral votes(suara publik) di atas rivalnya Donald Trump yang hanya meraup 214 electoral votes. Melewati kompetisi yaang begitu sengit, akhirnya Biden keluar sebagai pemenang yang akan dilantik sebagai penghuni baru di “Ruang Oval” the White House(Gedung Putih) pada 20 Januari 2021.
Mengapa hampir seantero penduduk dunia setia mengikuti proses pemilihan presiden Amerika Serikat? Tentu, Amerika merupakan sebuah negara adidaya atau super power yang memiliki pengaruh (influnce) besar terhadap geoplitik dunia, baik di bidang ekonomi, politik, pertahanan, dan keamanan. Maka setiap pesta demokrasi pemilihan presiden AS menyedot perhatian publik dunia.
Satu tahap perjuangan demokrasi elektoral dan prosedural telah usai . Dan ditunggu langkah-langkah konkret apa yang akan dilakukan oleh Joe Biden-Kamala Haris ke depan bagi rakyat Amerika, sekaligus membawa Amerika benar-benar menjadi ‘polisi’ dunia yang ikut menegakkan keadilan, perdamaian, demokrasi, dan kemanusiaan bagi dunia, baik di Timur Tengah, Tibet, Xinjiang, Hongkong, dan Taiwan di Asia, Afrika, Ameria Latin, tentu isu pelanggaran HAM Papua di kawasan Pasifik juga tak luput dari perhatiannya.
Sebab Biden merupakan presiden dari Partai Demokrat—yang secara historis—partai tersebut beridelogi liberal atau liberalisme sosial dan progresivisme. Yang mana lebih menekankan pada pentingny perlindungan terhadap hak asasi manusia(HAM), proteksi kaum minoritas, mengenakan pajak yang tinggi bagi kelas menengah ke atas, dan mendukung hak-hak kemerdekaan semua orang.
Masa depan tatanan global dipertaruhkan. Di mana, Joe Biden memiliki visi yang secara fundamental sangat berbeda dengan pendahulunya, Donald Trump soal kebijakan politik luar negeri. Dalam pandangan Trump, dunia adalah salah satu bentuk nasionalisme “America First”, meninggalkan perjanjian internasional yang ia yakni memberi AS kerugian.
Sementara menurut Joe Biden yang jauh lebih tradisional dari sisi peran dan kepentingan Amerika, didasakan pada lembaga internasional yang didirikan setelah Perang Dunia II, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara(NATO), serta berdasarkan nilai-nilai demokrasi yang dianut secara univesal ala Barat. Tentu ini merupakan satu aliansi global di mana Amerika memimpin negara-negara bebas dalam memerangi ancaman transnasional. Tentu perubahan yang hendak dilakukan dalam kebijakan luar negeri Joe Biden adalah soal pendekatan sekutu, perubahan iklim, dan Timur Tengah, serta mendorong adanya perlindungan, penghormatan, dan pemenunuhan terhadap HAM.
Biden bahkan akan menggalang kekuatan demokrasi untuk melawan apa yang dipandangnya sebagai peningkatan gelombang otoritarianisme sebagai langkah penyelamatan citra Amerika yang dinilai rusak pada pemerintahan Trump yang banyak “berbulan madu” dengan para diktator di berbagai negara yang sudah terlalu banyak menghisap dan menciptakan sungai darah dari rakyatnya sendiri.
Sebab tindakan yang mengabaikan nilai dan martabat kemanusiaan adalah bentuk dehumanisasi, pelanggaran terhadap hak asasi manusia(HAM) itu sendiri. Tentu, Biden akan jadi antisis terhadap kebijakan luar negeri “Paman Sam” di bawah kepemimpinan Trump yang selama ini dinilai cenderung pragmatis, merusak perdamaian, mengabaikan persaudaraan, dan menggerus nilai dan martabat kemanusiaan. Misalnya, secara sepihak Trump mengakui Jerusalemen sebagai ibu kota Israel, sekaligus memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem sehingga stabilitas di Timur Tengah semakin terkikis. Dan Trump melalui kementerian luar negeri juga mengizinkan(memberikan visa) kepada Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto( yang diduga memiliki catatan kelam soal HAM di Indonesia) untuk masuk ke Amerika merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tentang larangan Amerika Serikat memberikan bantuan kepada militer asing yang melakukan pelanggaran HAM tanpa hukuman.
Jalan damai untuk Papua
Berbagai pernyataan berseleweran di beberapa media massa di Tanah Air terakit terpilihnya Joe Biden sebagai presiden AS. Pernyataan itu dari sejumlah tokoh politik dan akademisi di Tanah Air yang mulai ketar-ketir dengan memberi tanggapan atas terpilihnya Joe Biden sebagai presiden Amerika Serikat yang dihibungkan dengan situasi pelanggaran HAM di Bumi Cenderawasih yang tak kunjung berakhir.
“Sebagai demokrat, Biden akan lebih fokus pada isu-isu terkait dengan hak asasi manusia(HAM). Seperti banyak negara lain, Indonesia sendiri masih berkutat isu pembangunan HAM, khususnya di Papua yang menjadi perhatian banyak negara lain,” kata Teuku Rezasyah, pakar hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Bandung, nkriku.com(2/11/2020). “Indonesia harus bersiap jika isu HAM akan disorot oleh AS, terlebih sekarang negara ini(Indonesia) menjadi perhatian karena dianggap strategis bagi rivalitas Washinton dan Beijing,” kata Rezasyah menambahkan.
“Ketika Biden memimpin(AS), Indonesia harus lebih transparan terhadap isu hak asasi manusia(HAM) di sini(termasuk Papua). Presiden dari Demokrat biasanya cenderung memperhatikan kondisi penegakan HAM di negara lain,” kata Hikmahanto Juwana, pengalamat hukum internasional dari Universitas Indonesia, Tempo.co, Minggu(8/11/2020).
“Kan mungkin kalau Biden yang akhirnya terpilih nanti, ya Indonesia harus waspada dengan Papua, karena Demokrat ini kan lebih mementingkan hak-hak asasi manusia, kemudian lebih mementingkan hak-hak kemerdekaan,” kata Dahlan Iskan, pemilik media Jawa Pos group dan mantan Menteri BUMN zaman SBY, Sripoku.com, Sabtu(7/11/2020).” Sehingga mungkin Indonesia lebih harus berjuang bagaimana memprotek Papua,” jelas Iskan.
Jelas, sederet pernyataan dari para akademisi dan tokoh nasional tersebut memberi gambaran dan bukti bahwa situasi HAM di Tanah Papua memang tidak menguntungkan(belum beres terurus). Proses pelanggaran HAM memang masih terus terjadi. Belum ada ikhtiar penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi sejak Papua menjadi bagian dari NKRI 1 Mei 1963 hingga kini.
Sebagaimana dilaporkan oleh Amnesti Internasional Indonesia tahun 2018: ‘Don’t bother, just let him die’: Killing with impunity in Papua(‘Jangan repot-repot, biarkan saja dia mati’: Mebunuh dengan kekebalan hukum di Papua’). Dalam laporan itu tercatat hampir 100 orang telah dibunuh secara tidak sah dalam waktu kurang dari delapan tahun(2010-2018)—sekitar satu orang setiap bulan—yang menjadi noda serius pada catatan hak asasi manusia Indonesia. Laporan tersebut mencatat setidaknya 95 kematian dalam 69 insiden antara Januari 2010 dan Februari 2018. Jadi, peristiwa mengenaskan ini, 56 di antaranya terjadi dalam konteks kegiatan non-kemerdekaan, sementara 39 lainnya terkait dengan aktivitas politk damai, seperti demonstrasi atau menaikkan bendera kemerdekaan Papua, Bintang Kejora.
“Meskipun jumlah korban tewas sangat mengkhawatirkan, namun pihak berwenang Indonesia hampir sepenuhnya gagal untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku. Tak satu pun dari mereka telah diadili dan dihukum dipengadilan hukum independen, di mana hanya segelintir kasus yang mengakibatkan sanksi disiplin atau pengadilan di pengadilan militer,” kata Usman Hamid, Direktur Amnesti Internasional Indonesia.
Tidak terputus. Pada tahun 2020, Papua kembali dirundung duka atas tertembaknya beberapa warga sipil Papua. Pendeta Yeremia Zanambani tewas dengan luka tembak di Kampung Hitadipa, Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, Sabtu(19/9/2020). Menurut laporan Komnas HAM RI bahwa pelaku penembakan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani diduga oleh salah satu anggota Koramil di Distrik Hitadipa atas nama Alpius Hasim Madi.
Peristiwa tertembanya seorang tokoh agama itu telah disoroti oleh masyarakat internasional. Salah satu sorotan dari negara Pasifik, yakni Republik Vanuatu melalui perdana menterinya, Bob Loughman pada saat Sidang Majelis Umum PBB sesi-75 di New York Amerika Serikat, 27 September 2020. Bahkan Loughman juga mempertanyakan sejauh mana kehendak baik pemerintah Indonesia mengizinkan Komisioner Tinggi HAM PBB untuk berkunjung ke Tanah Papua untuk mengamati atau memantau situasi dan perkembangan HAM di kedua provinsi di Timur Indonesia, yakni Papua dan Papua Barat.
Pertanyaan Vanuatu itu merujuk pada rekomendasi 79 negara yang terhimpun dalam anggota Afrika, Karibia, dan Pasifik(ACP) soal krisis hak asasi manusia(HAM) di Papua Barat pada KTT Kepala Negara dan Pemerintahan ACP ke-9 di Nairobi, Kenya, Afrika Timur, 9-10 Desember 2019. Resolusi itu sebagai bentuk penguatan atau pembobotan diplomatik atas resolusi yang disahkan oleh Forum Kepulauan Pasifik(PIF) Agustus 2019.
Di mana, hakikat dari kedua resolusi tersebut adalah menyerukan semua pihak untuk melindungi dan menegakkan HAM dan bekerja untuk mengatasi akar penyebab konflik di Tanah Papua. Juga, mendorong Indonesia dan Komisi Tinggi HAM-PBB memberikan laporan berdasarkan informasi tentang situasi HAM di Papua Barat sebelum pertemuan PIF berikutnya, 2020.
Hal ini akan sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa Indonesia, jika isu HAM Papua terus dibiarkan berlarut-larut tanpa proses penyelesaiannya. Jadi, darah para korban pelanggaran HAM ibarat sebuah air telaga di atas gunung yang begitu tinggi, sewaktu-waktu datang hujan berturut-turut airnya akan mengendap dan menyeruak keluar dan menyapu habis tembok-tembok kedaulatan dan mengalir masuk ke zona kebebasan. Jadi, internasionalisasi isu pelanggaran HAM Papua bisa saja dicegah dengan cara-cara mermartabat, yakni keadilan dan kepastian hukum bagi para korban pelanggaran HAM.
Karena isu pelanggaran HAM Papua telah menjadi bola liar yang terus bergelinding ke mana-mana, baik di Oseania, Afrika, Karibia, dan Eropa. Fakta membuktikan, dulu Timor Timur(kini Timor Leste) hanya mendapat dukungan kuat dari satu negara aggota PBB yang merupakan bekas koloniya, Portugal. Berkali-kali Portugal meloloskan beberapa Resolusi penting di PBB perihal masalah aneksasi Timor Timur membuat Indonesia terpojok di panggung dunia. Akhinya, Portugal dan para aktivis Fretlin sukses membawa Timor Timur keluar dari pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999) melalui Referendum 30 Agustus 1999.
Apalagi Papua kini punya gold opportunity karena membangun aliansi dengan negara-negara Pasifik yang berbasis pada persatuan ras Melanesia dan terhimpun dalam Pasific Island Forum(Forum Kepulauan Pasifik/PIF) akan segera meloloskan resolusi tentang right to self-determination bagi bangsa Papua. Jadi, masyarakat hingga elite politik di kawasan Pasifik banyak yang telah mengetahui kemelut kemanusiaan dan desas-desus gejolak politik yang terjadi di Tanah Papua selama setengah abad lebih Papua menjadi bagian dari Indonesia.
Bahkan para aktivis Oganisasi Papua Merdeka(OPM) terus melakukan lobi dan konsolidasi politik ke semua negara-negara Pasifik untuk meminta dukungan moral dan politik untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua. OPM akan memainkan peran diplomasi hingga semua negara-negara Pasifik secara total melalui kendaraan politik bernama MSG dan PIF segera bringing West Papua issues ke level Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB. Para aktivis kemerdekaan Papua tetap berpijak pada sentimen persamaan ras atau rumpun (brotherhood) Melanesia. Mereka berdalih pada narasi Papua Barat adalah masa depan Pasifik, masa depan Melanesia, masa depan Mikronesia, dan masa depan Polinesia.
Sekutu Papua di Pasifik telah sukses membawa isu Papua masuk ke forum ACP dan ini akan menjadi agenda rutin yang akan terus dibahas dan diangkat oleh para petinggi dari negara-negara anggota ACP. Apalagi kini telah terpilih Joe Biden sebagai Presiden AS, isu pelanggaran HAM dan kemerdekaan Papua akan makin liar dan mendapat perhatian serius oleh Amerika.
Belum lagi tertembak mati Rufinus Tigau, seorang ketekis Gereja Katolik Roma di Stasi Jalae, Paroki Santo Michael Bilogai, Intan Jaya, Papua. Sebagaimana laporan resmi Administrator Diosesan Keuskupan Timika, Pastor Marthen Kuayo bahwa Rufinus ditembak mati oleh Tim Gabungan TNI-Polri di Intan Jaya, Papua, Senin, 2 Oktober 2020(Katolik News, 27 Oktober 2020). Kejadian ini telah menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk para uskup di Tanah Papua dan Kardinal Indonesia yang juga Ketua Konferensi Waligereja Indonesia(KWI).
Di mana perwakilan para tokoh Gereja Katolik Indonesia yang diwakili Uskup Agats Mgr. Aloysius Murwito OFM dan Uskup Amboina Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC, yang juga Administrator Apostolik Merauke bersama Kardinal Indonesia Mgr Ignatius Suharyo Pr langsung melakukan pertemuan tatap muka dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI, Mahfud MD, pada Minggu(1/11/2020). Dalam pertemuan itu para tokoh agama Katolik menyampaikan keprihatian mereka atas insiden tertembak mati Rufinus Tigau, katekis Gereja Katolik di Intan Jaya, Papua.
Tentu, tindakan brutalisme aparat terhadap pelayan Gereja Katolik itu akan berbuntut panjang jika pelaku penembakkan tidak bertanggungjawab secara hukum. Hal tersebut akan menjadi laporan Gereja Katolik kepada pusat Gereja Katolik di Roma. Bahkan menjadi perhatian organisasi-organisasi berlabel Katolik, seperti Fransiskan Internasional, Pax Romana, Pergerakan Mahasiswa Katolik Internasional(IMCS), dan lain-lain akan terus melakukan advokasi internasional terkait kasus ini.
Apalagi para petinggi OPM bersama dengan negara-negara pendukungnya di Pasifik akan melakukan manuver politik dan gerilya diplomasi untuk bertemu Paus Fransiskus untuk memberi laporan terkait situsi HAM di Tanah Papua, termasuk tertembaknya katekis di Intan Jaya, Papua. Dan para aktivis Papua bersama negara pendukung seperti Vanuatu akan menggunakan peluang ini bertemu Paus Fransiskus melaporkan situasi HAM di Tanah Papua kepada Paus Fransiskus sebelum dilantiknya Joe Biden sebagai Presiden Amerika pada 20 Januari 2021. Karena sebuah kultur bagi para pemimpin Negeri Paman Sam, siapa pun yang terpilih jadi presiden AS, setelah dilantik, ia akan berkunjung ke Vatikan bertemu Paus Fransiskus untuk bersilaturahmi.
Maka, jalan terbaik bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM Papua adalah pemerintah Indonesia harus transparan. Siapa yang membunuh, mengapa dibunuh, dan atas perintah siapa? Ini perlu dikupas tuntas, serta proses hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM harus berjalan sesuai hukum yang berlaku, misalnya, diadili di peradilan umum atau pengadilan HAM ad hoc, tanpa alasan impunitas-kausalitas.
Dan, yang paling penting adalah pemerintah Indonesia segera mengundang Komisioner Tinggi HAM PBB segera berkunjung ke Papua untuk melakukan pengamatan terhadap dinamika hak asasi manusia di Provinsi Papua dan Papua Barat, serta mengizinkan pers asing dengan leluasa meliput di Tanah Papua.
Tentu dengan cara ini, akan meyakinkan masyarakat internasional soal komitmen Indonesia dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua dan proses perdamaian pun akan bisa terwujud di Tanah Papua: “Per humanitatem ad pacem, perdamaian melalui kemanusiaan”!Semoga. (*)