NEW YORK, SUARAPAPUA.com — Acara tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menggelar Permanen Forum bagi Masyarakat Pribumi Sesi ke-20 atau 20th Session United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII20) tahun 2021, telah dibuka secara online dari Gedung Markas PBB, New York, Amerika Serikat, pada Senin (19/4/2021).
Forum internasional yang dijadwalkan berlangsung pada 19-30 April 2021 ini, untuk pertama kalinya dilakukan secara daring. Jadi hanya dihadiri secara terbatas oleh puluhan orang yang merupakan pimpinan forum, anggota dan para diplomat perwakilan negara.
Tahun lalu (2020), forum ini tidak sempat dilaksanakan berhubung virus Corona mulai merebak secara global. Menurut informasi resmi yang tercantum di website PBB saat itu, pelaksanaan forum ini akan ditunda hingga waktu yang tidak ditentukan.
Tahun ini, pembukaan forum tahunan bagi masyarakat adat internasional yang dijadwalkan berlangsung secara online ini, pada sesi pembukaannya (opening ceremony) tidak dilakukan di ruang utama ‘UN Assembly Meeting.’ Ini seperti pada kegiatan tahunan sebelumnya.
Forum UNPFII Sesi ke 20 tahun 2021 ini mengusung tema “Peace, justice and strong institutions: the role of indigenous people in implementing Sustainable Development Goal 16”. Atau “Damai, keadilan dan kelembagaan yang kuat: peran masyarakat adat/pribumi dalam pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke 16.”
Dari pantauan di lapangan, suasana di luar gedung Sekertariat Markas PBB yang terletak di jalan 1st Avenue pinggiran sungai East River, Manhattan, kota New York, tampak sepi. Sebab pandemi global virus Corona telah menyebabkan akses masuk ke gedung ini tertutup bagi peserta dan pengunjung. Sejumlah event internasional pun hanya bisa dilakukan secara online.
Sepintas hanya terlihat satu dua orang berlalu-lalang melintasi trotoar pada jalan utama di depan kantor organisasi internasional yang menaungi 193 negara anggota dan memiliki gedung sekertariat bertingkat 39 lantai.
Deretan tiang dengan ratusan bendera yang berkibar di depan gedung markas PBB dan suasana saat forum internasional di dalam ‘UN Assembly Meeting room’ sering muncul dalam liputan media internasional.
Area sekitar pelataran depan pintu masuk utama gedung Sekertariat Markas PBB juga dihiasi monumen berbentuk sebuah pistol dengan ujung terikat dan sebuah monumen berbentuk bola dunia. Kedua monumen ini telah menjadi ikon yang melambangkan perdamaian dunia ini (non violence scupture).
Dari sejarahnya, sejak PBB dibentuk pada 24 Oktober 1945, anggotanya hanya berjumlah 51 negara dan berkantor pusat di San Francisco, California. Pemindahan markas PBB ke New York dilakukan setelah gedung sekertariatnya dibangun tahun 1947 dan mulai beroperasi pada 1952. Arsitek Wallace Harrison, Oscar Niemeyer dan Le Corbusier, adalah tiga orang yang berjasa merancang pembangunan gedung monumental ini.
Gedung Sekertariat Markas PBB ini juga didukung berberapa gedung penunjang lainnya yang berlokasi di seberang jalan utama 1st Avenue. Misalnya gedung UNITAR, dua gedung ‘Millenium Hilton New York One UN Plaza’ yang tingginya menjulang, dan gedung UNICEF yang menyatu dengan kantor sekertariat Church Center of the United Nations.
Di kawasan ini juga terletak sejumlah gedung kantor misi perwakilan negara-negara untuk PBB. Misalnya yang tampak mencolok dan berhadapan langsung dengan gedung markas PBB adalah gedung US Permanent Mission for United Nations dan gedung kantor Bruney Darussalam Permanent Mission for United Nations.
Ketika saya mendatangi lokasi Gedung Sekertariat Markas PBB untuk memantau situasi pelaksanaan forum UNPFII Sesi ke 20, pada trotoar di seberang jalan utama 1st Avenue atau pada area yang dijuluki kawasan internasional ini, tampak belasan orang sedang berkumpul.
Mereka bergerombol tepat di depan Ralph Brunche Park, sebuah taman dengan monumen yang dibuat untuk mengenang Ralph Johnson Brunche. Ia seorang ilmuan politik, diplomat, aktor dan pejuang hak-hak sipil AS yang pernah dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian di tahun 1950.
Taman ini berhadapan langsung dengan gedung PBB. Lokasi ini biasanya menjadi area netral yang diijinkan bagi para aktivis untuk menggelar beragam aksi protes damai, bila ada event tahunan PBB.
Kali ini para aktivis yang berkumpul membawa sebuah bendera AS beserta beberapa bendera dan pamflet. Mereka adalah para aktivis Tigray, sebuah wilayah konflik di Etiopia (Afrika) yang juga ingin memisahkan diri (baca, merdeka dari Etiopia), beserta para aktivis Papua dan Republik Maluku Selatan (RMS).
Dengan menggunakan tiga alat pengeras suara berupa megaphone berukuran kecil, para aktivis ini menggelar aksi protes damai terkait sejumlah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di negara mereka.
Para aktivis mengusung bendera beberapa Tigray, sebagai simbol perjuangan Tigray Liberation Front dan beberapa pamflet. Dua pamflet diantaranya bertuliskan “Stop Genocide in Tigray” dan “We Demand UN Intervention towards Genocide in Tigray”.
Para aktivis Papua dan RMS mengusung dua bendera ‘Bintang Fajar’ atau yang juga disebut ‘bendera bintang kejora’ dan sebuah bendera ‘benang raja’. Kedua bendera itu merupakan simbol perjuangan pembebasan bangsa West Papua dan Maluku. Mereka juga membawa tiga panflet yang bertuliskan “Free Moluccas and West Papua Political Prisoners, Stop Genocide in West Papua dan Kick Indonesia out of West Papua”.
Dalam aksi ini, para aktivis secara bergantian menyampaikan orasi seraya meneriakan beberapa yel-yel seperti “Free Tigray and Free West Papua; Stop Genocide in Tigray and West Papua; dan UN Must Act Now!”. Aksi ini tampak menyita perhatian para pengendara dan warga yang melintas maupun staf PBB.
Jeaney Gabriel, nama samaran dari salah satu dari aktivis Tigray yang hadir, mengatakan saat ini orang-orang Tigray (Tigrayans) telah mengalami situasi pelanggaran HAM yang serius akibat perlakuan kejam aparat keamanan Pemerintah Federal Etiopia. “Kami meminta PBB tidak menutup mata dan segera melakukan intervensi atas wilayah Tigray” tegas Gabriel.
Menurutnya, para aktivis Tigray sering melakukan aksi di depan gedung Seketerariat Markas PBB hanya untuk meminta perhatian. Dia juga menjelaskan, Tigray adalah salah satu wilayah konflik di dunia lantaran upaya pemisahan diri dari negara Etiopia dan punya catatan buruk pelanggaran HAM. Hanya saja, belum banyak mendapat perhatian internasional.
John Anari, seorang aktivis Papua yang hadir dalam aksi protes damai ini, saat diberi kesempatan berorasi menyerukan perhatian PBB bagi wilayah West Papua. Sebuah wilayah di Pasifik Selatan yang punya sejarah konflik dan rentetan kasus pelanggaran HAM sejak Indonesia mencaplok wilayah ini di tahun 1963.
“PBB harus bertanggung jawab untuk melihat kembali resolusi 2504 yang dikeluarkan untuk merestui West Papua dicaplok Indonesia. Ini terjadi karena kepentingan bisnis internasional perusahaan tambang asal AS bernama Freeport McMoran,” tegas Anari yang merupakan koordinator West Papua Liberation Organization (WPLO).
Pria yang sering tampil untuk berbicara dalam debat di forum masyarakat pribumi internasional (UNPFII) ini juga menyerukan agar PBB perlu memberikan hak penentuan nasib sendiri (self determination) bagi bangsa pribumi Papua. Sebab Papua pernah berada dalam daftar wilayah-wilayah tak berpemerintahan sendiri (non self governing territory) di tahun 1950an. Namun orang Papua kini sedang mengalami kolonisasi sistemik, eksploitasi sumber daya alam (SDA) dan ancaman kepunahan (depopulasi) di tanah sendiri.
Anari mengatakan, ini merupakan kali pertama para aktivis Papua tampil bersolidaritas bersama dalam aksi protes damai terbuka di depan gedung markas PBB di New York. Sebab selama ini mereka hanya menggelar aksi diam (silent protest), dalam bentuk mengusung bendera ‘bintang fajar’ dan menggelar panflet dengan latar gedung PBB, lalu dilakukan pengambilan gambar atau video.
Yosef Pattiasina, koordinator Moloccas Action Network yang berbasis di New York, juga hadir dengan mengusung bendera benang raja, simbol perjuangan bangsa Maluku. Ia mengatakan, suatu kesempatan yang berharga karena setelah 21 tahun berlalu, ia dapat kembali bersolidaritas dengan ‘basudara’ Papua dan aktivis Tigray dari Afrika melakukan aksi damai di depan gedung markas PBB.
“Ini tempat yang sama setelah 21 tahun baru saya kembali ke sini. Saya juga membawa bendera yang sama, yang pernah dipakai waktu itu untuk aksi di tempat ini,” kenang Pattiasina (51 tahun) yang juga pernah menjadi aktivis Front Kedaulatan Maluku (RMS) dengan ketuanya, Alexander Manuputty, yang kini mendapat suaka politik dan bermukim di California.
Waktu itu di tahun 1991, Yosef berusia 31 tahun. Ia bersama almarhumah ibu kandungnya, saudaranya, beberapa aktivis Maluku dan Aceh, sempat melakukan aksi damai di depan gedung markas PBB. Aksi itu dilakukan dalam bentuk protes diam dengan mengusung bendera RMS dan panflet yang ditujukan Pemerintah Indonesia.
Kini dia kembali lagi ke tempat yang sama. Selain mengusung bendera RMS, dia juga membawa sebuah spanduk bertuliskan “Where is the grave of Christian Robert Soumokil?”. Tulisan di spanduk itu mempertanyakan letak kuburan dari sosok Robert Christian Soumokil, presiden kedua RMS yang dibunuh militer Indonesia pada 12 April 1966.
Yosef Pattiasina mendesak Pemerintah Indonesia untuk membebaskan 12 tahanan politik Maluku yang sedang mendekam di penjara karena menyuarakan aspirasi politik. Bersamaan dengan momen tahunan 20th Session United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII20) tahun 2021, ia bersama para aktivis Papua di AS menyerukan perlunya pemberian hak penentuan nasib sendiri (self determination) bagi bangsa pribumi Papua dan Maluku.
Aksi solidaritas para aktivis Tigray, Papua dan RMS yang terjadi secara bersamaan tanpa direncakan pada hari yang sama ini, berlangsung selama kurang lebih satu jam. Dimulai pukul 11 hingga 12:30 siang waktu New York. Aksi ini berakhir dengan foto bersama di depan gedung Sekertariat Markas PBB.
Laporan Julian Howay untuk Suara Papua