BeritaKPHHP Desak Polda Papua Hentikan Kriminalisasi Pasal Makar Terhadap VY

KPHHP Desak Polda Papua Hentikan Kriminalisasi Pasal Makar Terhadap VY

NABIRE, SUARAPAPUA.com — Kepolisian Republik Indonesia dalam hal ini Polda Papua diminta hentikan kriminalisasi Pasal Makar terhadap Victor F Yeimo.

Desakan ini disampaikan Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua (KPHHP) dalam siaran pers yang diterbitkan di Jayapura, Kamis (13/5/2021).

KPHHP terdiri dari LBH Papua, PAHAM Papua, AlDP, PBH Cenderawasih, eLSHAM Papua, KPKC Sinode Tanah Papua, SKP Fransiskan Jayapura, YADUPA Papua, WALHI Papua, dan lainnya.

Dibeberkan dalam siaran pers dengan nomor 007/SP-KPHHP/V/2021, gerakan spontanitas yang dilakukan oleh segenap masyarakat Papua di berbagai kota besar di Papua tak pernah diarahkan oleh Victor F Yeimo, sebab Victor tak pernah terlibat dalam rapat-rapat yang digelar untuk merencanakan aksi demonstrasi anti rasisme di setiap kota-kota besar di Tanah Papua.

Viktor F Yeimo ditangkap Satuan Gugus Penegakan Hukum (Satgas Gakkum) Operasi Nemangkawi pada Minggu (9/5/2021) sekira Pukul 19:15 WIT di Tanah Hitam, Abepura, Kota Jayapura. Ia menurut kepolisian telah ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) terkait kasus aksi anti rasisme 29  Agustus 2019.

“Kapolda Papua segera terbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3). Victor F Yeimo sebagai peserta massa aksi, bukan koordinator umum aksi anti rasisme pada tanggal 19 Agustus 2019,” tulisnya.

Tuntutan kepada Kapolri melalui Kapolda Papua agar segera perintahkan penyidik menerbitkan SP3 atas penyelidikan perkara nomor LP/317/IX/Res.1.24/2019/SPKT Polda Papua tanggal 5 September 2019 untuk menghentikan praktek kriminalisasi Pasal Makar terhadap Victor F Yeimo.

Poin ketiga, “Kapolda Papua segera perintahkan Propam Polda Papua menangkap dan memproses petugas penangkap Victor F Yeimo yang dilakukan tanpa mengikuti mekanisme Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.”

Emanuel Gobai, koordinator litigasi menjelaskan, aksi anti rasisme yang terjadi di beberapa kota besar di Papua seperti Sorong, Fak-fak, Manokwari, Biak, Deiyai, Timika, Jayapura dan daerah lainnya merupakan gerakan spontanitas yang dilakukan masyarakat sebagai wujudnya respons langsung atas tindakan diskriminasi dan rasial oleh masyarakat sipil dan beberapa oknum anggota keamanan kepada mahasiswa Papua yang berada di asrama mahasiswa Papua Kamasan III Surabaya pada tanggal 16 Agustus 2019 lalu.

“Dalam hal ini tidak pernah diarahkan oleh Victor F Yeimo, sebab Victor tidak pernah terlibat dalam rapat-rapat yang digelar untuk merencanakan aksi di setiap kota-kota besar di Tanah Papua,” katanya.

Fakta tersebut diuraikan Victor dalam keterangannya sebagaimana dituangkan di berita acara pemeriksaan (BAP).

“Victor menjelaskan bahwa “Saya tidak tahu apakah pada saat kegiatan demonstrasi tersebut telah diadakan rapat-rapat sebelumnya yang dilakukan oleh pihak mahasiswa atau tidak baik pada saat kegiatan demo rasisme pada tanggal 19 Agustus 2019 maupun pada tanggal 29 Agustus 2019. Saya juga tidak tahu apakah ada surat ijin yang diberitahukan kepada pihak kepolisian pada saat melakukan aksi demo rasisme tersebut,” kutip Emanuel dari jawaban pertanyaan nomor 18 BAP tersangka.

Baca Juga:  Kronologis Tertembaknya Dua Anak Oleh Peluru Aparat di Sugapa, Intan Jaya

Jawaban atas pertanyaan nomor 12 dalam BAP Victor menegaskan, “Kapasitas saya sebagai peserta massa dalam kegiatan aksi demo rasisme pada tanggal 19 Agustus 2019 dan dalam aksi tersebut saya tidak mewakili dari organisasi KNPB”.

Yeimo menjawab pertanyaan nomor 9, mengungkapkan, “Yang merencanakan kegiatan dan mengorganisir kegiatan pada tanggal 19 Agustus 2019 adalah mahasiswa dari Universitas Cenderawasih. Selanjutnya, pada saat saya berada di kantor Gubernur barulah saya tahu bahwa semua unsur organisasi mahasiswa maupun masyarakat sipil, termasuk Gubernur, DPRP dan MRP ada bergabung dalam kegiatan aksi demo rasisme tersebut.”

“Atas dasar keterangan Victor F Yeimo diatas menunjukan bahwa tuduhan pihak keamanan tersebut menjadi dasar penetapan nama Victor F Yeimo dalam DPO dipertanyakan dasar hukumnya,” kata Emanuel.

Victor juga merincikan dalam BAP menjawab pertanyaan nomor 10, “Unsur-unsur yang terlibat dan melakukan orasi pada saat aksi demo tanggal 19 Agustus 2019 adalah dari unsur organisasi dari perempuan, unsur organisasi dari pemuda, mahasiswa dan unsur organisasi mahasiswa dari Cipayung serta semua unsur masyarakat termasuk MRP, DPRP dan Gubernur yang saat itu juga melakukan orasi secara bergantian pada saat berada di halaman kantor gubernur.”

Ketika istirahat menunggu penyidik sholat, Victor Yeimo menurut Emanuel, sempat menanyakan kepada ketua tim penyidik, “Mengapa hanya saya yang ditangkap, padahal yang hadir dalam aksi tanggal 19 Agustus 2019 itu banyak termasuk MRP, DPRP, Gubernur dan tokoh-tokoh lainnya.”

Ketua tim penyidik tidak banyak memberikan komentar atas pertanyaan tersebut.

Victor berpendapat dalam menjawab pertanyaan nomor 15, kegiatan demonstrasi 19 Agustus 2019 bertujuan untuk mengaspirasikan tentang rasisme yang terjadi di Surabaya terhadap mahasiswa Papua dan dalam aspirasi semua massa yang mengikuti aksi 19 Agustus 2019 mengaspirasikan agar pelaku rasisme di Surabaya ditangkap.”

Menjawab pertanyaan nomor 14, Yeimo juga menegaskan, “Orasi-orasi yang saya sampaikan kepada peserta massa yang mengikuti kegiatan demo rasisme tersebut adalah tentang kekecewaan terhadap ujaran rasisme yang terjadi di Surabaya terhadap mahasiswa Papua secara garis besar dalam kegiatan demo rasisme tersebut.”

Emanuel menyatakan, aksi demonstrasi anti rasisme 19 Agustus 2019 berjalan secara damai tanpa ada massa aksi yang terhasut, tak ada massa aksi yang melakukan tindakan pemukulan terhadap orang atau melakukan pengruskan terhadap barang, tak ada tindakan melawan petugas yang bertugas pada saat itu.

“Aksi demonstrasi anti rasis tidak berdampak pada sebagian atau separuh wilayah Papua jatuh ke pihak asing atau berdiri sendiri serta tidak berdampak pada tergulingnya pemerintah provinsi Papua,” tegasnya.

Baca Juga:  Kepala Suku Abun Menyampaikan Maaf Atas Pernyataannya yang Menyinggung Intelektual Abun

Menurutnya, dalam aksi demonstrasi anti rasisme 19 Agustus 2019 dikawal langsung oleh pihak kepolisian daerah Papua dan tak ada peristiwa penangkapan massa aksi demonstrasi anti rasisme oleh pihak penegak hukum.

“Dengan mengacu pada fakta hukum diatas jika dikaji menggunakan teori pidana tentang locus delicti dan tempus delicti, maka penetapan tersangka atas Victor F Yeimo dengan tuduhan melalukan dugaan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara dan atau penghasutan untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan atau bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang/barang dan atau kejahatan terhadap penguasa umum tidak terbukti.”

Hal itu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dan 87 KUHP dan atau 110 KUHP dan atau Pasal 160 KUHP dan atau Pasal 170 ayat (1) dan ayat (2) Ke-1 KUHP dan atau Pasal 213 angka 1 KUHP dan atau Pasal 214 KUHP ayat (1) dan ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 KUHP sebagaimana dalam Berita Acara Pemeriksaan Tambahan yang dibuat 10 Mei 2021 pada pukul 16:00 WIT yang didasarkan pada keterlibatan Victor F Yeimo sebagai peserta aksi anti rasisme pada tanggal 19 Agustus 2019 yang berjalan secara damai tanpa ada tindakan pelanggaran hukum apapun.

“Sehingga tentunya melahirkan sebuah fakta hukum yang terkesan mengada-ada dan secara nyata-nyata merupakan fakta tindakan kriminalisasi Pasal Makar terhadap Victor F Yeimo,” ujar Gobay.

Apalagi, tegas direktur LBH Papua ini, fakta penangkapan Victor pada 9 Mei 2021 pukul 19:00 WIT Mei 2021 dilakukan tanpa menunjukan Surat Tugas dan Surat Penangkapan sebagaimana diatur pada pasal 18 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Menurutnya, secara langsung melahirkan fakta tindakan sewenang-wenang sebagaimana dilarang dalam Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2003 tentang Disiplin Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Benny Wenda: Bebaskan Victor Yeimo!

Penangkapan terhadap Victor Yeimo, juru bicara internasional KNPB, menurut Benny Wenda, ketua United Liberation Movement Papua Barat (ULMWP), patut dipertanyakan dan itu “tanda bagi dunia” bahwa pemerintah Indonesia memberlakukan sebutan teroris untuk menindas orang Papua.

“Setiap orang West Papua yang berbicara tentang ketidakadilan, baik pemimpin gereja, politisi lokal, aktivis HAM bahkan jurnalis, sekarang beresiko dicap sebagai kriminal atau teroris dan ditangkap atau dibunuh,” kata Benny dalam sebuah pernyataan menanggapi kebijakan pemerintah Indonesia dan penangkapan Victor Yeimo.

“Apa kejahatan Victor Yeimo? Untuk melawan pendudukan Indonesia melalui mobilisasi damai rakyat untuk mempertahankan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri,” katanya.

“Dia dituduh mendalangi pemberontakan West Papua pada tahun 2019, yang dimulai oleh rasisme dan kekerasan Indonesia, dan berakhir dengan pertumpahan darah yang disebabkan oleh pasukan Indonesia. Indonesia terus-menerus menciptakan kekerasan dan menggunakan propaganda dan fakta bahwa jurnalis internasional terus dilarang masuk untuk menyalahkan orang West Papua,” beber Benny.

Baca Juga:  MRP dan DPRP Fraksi Otsus se-Tanah Papua Minta Jokowi Terbitkan Perppu Hak Politik OAP

Benny Wenda menyebut banyak label untuk membatasi perlawanan orang Papua.

“Jakarta telah menggunakan banyak label untuk mencoba dan mendelegitimasi perlawanan terhadap proyek genosidanya, antara lain kelompok kriminal bersenjata (KKB), separatis, teroris. Indonesia telah kehilangan argumen politik, moral dan hukum, dan tidak ada yang tersisa kecuali kekerasan dan label stigmatisasi,” tuturnya.

Wenda menilai Indonesia sedang berusaha mengalihkan perhatian dari operasi militer besar-besaran di di Nduga, Intan Jaya, dan Puncak.

“Laporan saat ini ada sekitar 700 orang dari 19 desa telah mengungsi selama dua minggu terakhir. Indonesia menggunakan ‘Pasukan Setan’, yang dilatih dalam aksi pembumihangusan Timor Leste, untuk mencoba memusnahkan seluruh penduduk pribumi West Papua. Dari operasi militer 1965 hingga Operasi Koteka 1977, kami masih trauma dengan operasi militer Indonesia.”

Wenda juga mengatakan keputusan pemerintah Indonesia di abad ke-21 membuktikan ketidakmampuan untuk mencari solusi damai agar mengakhiri konflik berdarah di Tanah Papua.

Sekali lagi Wenda mendesak presiden Joko Widodo dan Polri segera membebaskan Victor Yeimo.

Perhatian PBB

Benny Wenda juga mengimbau pemerintah dan organisasi internasional harus segera menekan Indonesia agar menghentikan tindakannya.

Veronica Koman, aktivis dan pengacara HAM yang vokal terhadap isu Papua di fora internasional, menyatakan, penangkapan terhadap Victor Yeimo bakal mengundang perhatian dunia internasional.

“Terima kasih kepada Kapolda Papua yang memberikan amunisi baru ke PBB, biar Kementerian Luar Negeri yang nanti pusing lagi,” tulisnya di akun facebook.

Lanjut Koman, “Orang tidak boleh dihukum atas kerjasamanya dengan PBB. Bicara di forum PBB termasuk dianggap bekerjasama dengan PBB.”

Masih menurutnya, Kapolda Papua mengakui secara gamblang upaya kriminalisasi terhadap Victor Yeimo.

“Kalau mau tangkap orang itu jelas, surat penangkapan isinya diduga melanggar pasal apa atas peristiwa apa, bukan tangkap orang lalu baru korek-korek kesalahannya apa.”

“Kasus rasisme 2019 sudah basi. Jelas-jelas putusan terhadap ‘Balikpapan Seven’ saja ada intervensi politik. Kecuali memang Polda Papua mau menghidupkan kembali isu rasisme. Tidak ada satu pun tentara maupun polisi rasis yang dipenjara, sedangkan 122 orang Papua korban rasisme yang harus mendekam di penjara. Mau tambah jadi 123 dengan memenjarakan Victor Yeimo ka?” tulis Veronika.

“Patut diduga upaya pemenjaraan Victor Yeimo dilakukan untuk membungkam suara rakyat Papua yang menolak Otsus, karena ia saat ini merupakan jubir Petisi Rakyat Papua. 110 organisasi sudah tergabung dalam PRP,” tulisnya lagi.

Pewarta: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

0
“Jadi tidak semua Gubernur bisa menjawab semua itu, karena punya otonomi masing-masing. Kabupaten/Kota punya otonomi begitu juga dengan provinsi juga punya otonomi. Saya hanya bertanggung jawab untuk formasi yang ada di provinsi. Maka ini yang harus dibicarakan supaya apa yang disampaikan ini bisa menjadi perhatian kita untuk kita tindaklanjuti. Dan pastinya dalam Rakor Forkopimda kemarin kita juga sudah bicarakan dan sepakat tentang isu penerimaan ASN ini,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.