BeritaPH: Penyidik dan Petugas Tahti Mako Brimob Harus Penuhi Hak Victor Yeimo

PH: Penyidik dan Petugas Tahti Mako Brimob Harus Penuhi Hak Victor Yeimo

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Emanuel Gobay, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua menegaskan, Penyidik dan Tahti Mako Brimob Polda Papua wajib memenuhi hak-hak Victor Yeimo sebagai tersangka dalam menjalani masa tahanan.

Selain itu, LBH Papua dan Koalisi Penegakan Hukum dan HAM Papua (KPHHP) meminta Komnas HAM Perwakilan Papua untuk memantau pemenuhan hak-hak Victor Yeimo selama di rumah tahanan.

Pernyataan ini disampaikan Emanuel Gobay kepada suarapapua.com dalam siaran pers, Sabtu (15/5/2021) di Kota Jayapura, Papua.

Gobay menjelaskan, pada prinsipnya penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya seperti yang diatur dalam Pasal 1 angka 21 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Penasehat Hukum, kata Gobay, belum mengetahui alasan Victor Yeimo dipindahkan dari rutan Polda Papua ke Mako Brimob pada dini hari setelah dimintai keterangan awal untuk pemeriksaan tambahan.

“Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti terkait alasan pemindahan tahanan Victor Yeimo ke Rutan Mako Brimob pasca penangkapannya pada tanggal 9 Mei 2021 lalu,” ujarnya.

Gobay merasa aneh dengan pemindahan Victor secara sepihak oleh Polisi dari Polda Papua ke Mako Brimob. Pasalnya, KPHHP menandatangani Surat Kuasa Khusus pada pukul 23:00 WIT tanggal 9 Mei 2021.

“Anehnya, pemindahan Victor F Yeimo ke Rutan Mako Brimob Polda Papua dilakukan tanpa sepengetahuan kami sebagai kuasa hukum,” bebernya.

Hak Tersangka Dijamin UU

Dalam kasus apapun, semua tersangka yang sedang menjalani proses hukum, hak-haknya dijamin Undang-Undang. Hal ini sebagaimana tertera pada Pasal 50 sampai 74 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981.

Hak tersangka yang diatur dalam hukum acara pidana tersebut, antara lain:

Baca Juga:  Jokowi Didesak Pecat Aparat TNI yang Melakukan Penganiayaan Terhadap Warga Papua

a. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak sebagaimana diatur pada Pasal 58 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981.
b. Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan sebagaimana diatur pada Pasal 61 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981.
c. Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis menulis sebagaimana diatur pada Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang nomor 8 tahun 1981.
d. Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan sebagaimana diatur pada Pasal 63 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981.
e. Penasihat hukum berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya sebagaimana diatur pada Pasal 70 (1) Undang-Undang nomor 8 tahun 1981.

“Artinya bahwa dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana, Victor Yeimo sebagai tersangka memiliki hak untuk mendapatkan kunjungan dokter pribadi, hak dikunjungi oleh keluarga, hak untuk mengirimkan surat kepada pengacara, hak dikunjungi oleh rohaniawan dan hak berhubungan dengan pengacara. Tetapi sejak klien kami ditahan di Mako Brimob Polda Papua dari tanggal 10 Mei 2021 sampai dengan tanggal 14 Mei 2021, hak-hak klien kami sangat sulit terealisasi secara maksimal,” ungkapnya.

Baca Juga:  Konflik Horizontal di Keneyam Masih Berlanjut, Begini Tuntutan IPMNI

Gobay membeberkan, hambatan pemenuhan hak-hak Victor Yeimo sebagai tersangka rupanya diakibatkan karena petugas penjaga Pos Mako Brimob yang menggunakan pendekatan SOP internal yang intinya menegaskan bahwa bagi siapapun yang hendak memenuhi hak tersangka wajib berkomunikasi dan atau atas persetujuan Penyidik.

Sementara, penyidiknya sendiri mengarahkan pihak yang hendak memenuhi hak tersangka untuk terlebih dahulu mengunjungi penyidik yang berada di Polda Papua.

“Atas kebijakan ini telah berdampak pada terhambatnya hak Victor F Yeimo sebagai tersangka. Fakta ini secara jelas-jelas menunjukan bukti bahwa penyidik Polda Papua dan petugas pos penjagaan serta petugas Tahti Mako Brimob lebih mengedepankan SOP internal dan mengabaikan perintah Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana, khususnya berkaitan dengan hak-hak tersangka,” ungkap Gobay.

Dengan fakta tersebut, ia mengatakan, secara langsung melahirkan pertanyaan terkait apakah tujuan penahanan Victor F Yeimo di Mako Brimob Polda Papua untuk membatasi hak-hak Victor F Yeimo sebagai tersangka dengan dalil SOP internal sebagaimana yang disampaikan petugas pos penjagaan serta petugas Tahti Mako Brimob ataukah untuk apa?.

“Untuk menghindari terjadinya pelanggaran hak-hak Victor F Yeimo sebagai tersangka, pada tanggal 12 Mei 2021 kami sebagai kuasa hukum telah mengirimkan surat nomor 001/SK.KMPH2P/Jpr/V/2021. Melalui surat itu kami meminta klien kami dipindahkan ke rutan Polda Papua dari rutan Mako Brimob. Tetapi sampai saat ini surat kami belum dijawab oleh Kapolda Papua,” terangnya.

Menurut Gobay, kondisi ini dikhawatirkan akan terus terjadi, sehingga akan terus melanggar hak Victor sebagai tersangka dengan dalil SOP internal yang sudah jelas-jelas mengesampingkan Undang-Undang nomor 8 tahun 1981.

Baca Juga:  Presiden Jokowi Segera Perintahkan Panglima TNI Proses Prajurit Penyiksa Warga Sipil Papua

“Kami heran dan pertanyakan ini karena secara hierarki Undang-Undang lebih tinggi daripada SOP internal Kepolisian maupun Brimob,” kata Gobay.

Dengan melihat fakta-fakta dimana Polda Papua dan petugas di Mako Brimob telah membatasi Kuasa Hukum dan hak-hak Victor Yeimo sebagai tersangka yang diatur dan dijamin Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 dan Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka Emanuel mengharapkan agar Komnas HAM Perwakilan daerah Papua yang memiliki fungsi pemantauan dapat menjalankan tugas “pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut” sebagaimana diatur pada Pasal 89 ayat (3) huruf a Undang-Undang nomor 39 tahun 1999.

Dengan fakta-fakta ini, KPHHP selaku kuasa hukum Victor Yeimo menegaskan:

1. Kapolda Papua untuk segera jawab surat nomor 001/SK.KMPH2P/Jpr/V/2021 perihal Surat Permintaan Pemindahan Tahanan dari Rutan Mako Brimob ke Rutan Polda Papua tertanggal 12 Mei 2021.
2. Ketua Komnas HAM RI Perwakilan Papua segera pantau pemenuhan hak-hak Victor F Yeimo sebagai tersangka selama dalam Rumah Tahanan sesuai ketentuan Pasal 89 ayat (3) huruf a Undang-Undang nomor 39 tahun 1999.
3. Kepala Irwasda Polda Papua segera memerintahkan dan mengawasi Penyidik dan petugas Tahti tempat Victor F Yeimo ditahan untuk memfasilitasi pemenuhan hak-hak Victor F Yeimo sebagai tersangka yang dijamin dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1981.
4. Direskrimum Polda Papua segera memerintahkan Penyidik dan petugas Tahti tempat Victor F Yeimo ditahan untuk memfasilitasi pemenuhan hak-hak Victor F Yeimo sebagai tersangka yang dijamin dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1981.

Redaksi

Terkini

Populer Minggu Ini:

Pemerintah dan Komnas HAM Turut Melanggar Hak 8.300 Buruh Moker PTFT

0
omnas HAM Republik Indonesia segera memediasikan persoalan antara 8.300 buruh dengan manajemen PTFI sesuai ketentuan Pasal 89 ayat (4), UU No. 39 Tahun 1999;

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.