Empat Anak Papua di Jogja Rintis Usaha Tas Perpaduan Noken dan Tas Moderen

0
1952
Mama wantik ketika merajut noken untuk Olethea. (Dok. Olethea)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Empat anak muda Papua di Yogyakarta, Jawa Tengah bentuk Olethea (‘pemberian dari Tuhan’ – Yunani), usaha perpaduan noken Papua dan tas moderen. Mereka adalah Claudia Aprilia Pepiana, Maria Ina Saren, Bella Batosau dan Mauren Mansnembra.

Usaha perpaduan noken dan tas moderen ini dibentuk dengan visi ‘menjadikan produk Olethea yang unggul dan modern, namun tetap melestarikan nilai kearifan lokal Papua’. Terutama noken Papua yang telah go international (UNESCO).

Ide membentuk usaha tersebut berawal dari tugas akhir Claudia Aprilia Pepiana di kampus Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta pada tahun 2020.

Maria Ina Saren, salah satu rekan kerja Claudia yang di temui suarapapua.com di Jayapura, Rabu (28/6/2021) menceriterakan awal mula membentuk Olethea.

Awalnya kata Ina, sapaan akrabnya Maria Saren, mahasiswa di kampus UKDW Yogyakarta menyukai dan menerima desain noken Claudia. Akhirnya, setelah berjalannya waktu, Claudia bersama tiga rekan lainnya yang bersama-sama berstudi di UKDW Yogyakarta membentuk Olethea dan memalui bisnisnya dengan tetap menunjukkan nilai kearifan lokal, Noken Papua.

ads

“Kebetulan kita empat orang saling baku kenal, jadi kita sama-sama, dan Claudia ajak bekerjasama memulai bisnis perpaduan Noken asli dan tas modern ini. Kita semua mengambil bagian dalam memulai bisnis ini. Kami awalnya ada 5 orang, tetapi sekarang 4 orang saja, di mana Claudia sebagai owner, saya (Ina) marketing dan public relation, Bella Batosau finance dan Mauren Mansnembra bertanggunjawab di logistic,” jelas Ina.

Baca Juga:  Aksi Hari Aneksasi di Manokwari Dihadang Aparat, Pernyataan Dibacakan di Jalan

Setelah itu, pihaknya mulai mencari pengrajin noken di Jayapura, terutama mama-mama Papua yang merajut noken Papua. “Walaupun kami beberapa bukan orang asli Papua, namun kami tidak mau hanya sekedar menikmati hasil sumber daya alam Papua, tetapi kami mau mengelolahnya menjadi sesuatu yang bisa dikembangkan dan dikenal oleh banyak orang,” tukasnya.

Motivasi mencari mama-mama Papua untuk menjadi pengrajin di Olethea kata Ina agar dapat membantu perekonomian mereka di Jayapura, tetapi juga untuk tetap menjaga kualitas noken yang dihasilkannya.

“Setelah kita cari, kita dapat mama Wantik yang bersedia untuk membantu kami. Kebetulan mama Wantik hanya ibu rumah tangga. Memang ada biaya untuk pengrajin noken ini. Orang sering anggap kami mempunyai produk yang mahal, padahal mereka tidak tahu kita bayar pengrajin lokal untuk setiap perlembar noken yang di buat. Kita juga tidak mau menurunkan standar dari kualitas noken pengrajin lokal, maupun menurunkan harga untuk, karena kita mau membantu perekonomian keluarga mereka,” jelasnya.

Semua ini dilakukan katanya, hanya ingin mengembangkan noken itu lebih modern, terutama tidak menghilangkan kearifan lokal.

“Apalagi waktu kita kuliah, teman-teman biasanya minta oleh-oleh noken, setelah dikasih malah dijadikan pajangan, bukan untuk dipakai. Sementara kami mau agar noken itu dipakai.”

Untuk produksinya kata Ina, fokusnya di Bandung, Jawa Barat, tetapi nokennya benar-benar anyaman lokal dari mama-mama di Jayapura. Namun demikian, kedepan pihaknya berharap agar diproduksi di Jayapura, sayangnya biaya produksi di Jayapura cukup mahal yang akan mempengaruhi harga jual.

Baca Juga:  Hari Konsumen Nasional 2024, Pertamina PNR Papua Maluku Tebar Promo Istimewa di Sejumlah Kota

“Desain-desainnya dilakukan oleh Claudia. Dia banyak mendesain bentuk tas dengan perpaduan noken yang juga siap diproduksi ke depan dan dipasarkan. Pertama kita membuat tas waist bag (tas pinggang) dan sling bag (tas selempang). Memang ada juga ransel, tapi tidak banyak seperti waist bag, karena benang yang kita pakai berbeda dan harga untuk tas ransel cukup mahal,” ungkapnya.

Setelah berdiri kata Ina, Olethea sudah mencapai satu tahun (2020-2021). “Selama satu tahun ini, kita telah produksi waist bag sebanyak 200 pieces. Produksinya juga tidak banyak, tergantung jumlah yang diputuskan bersama sesuai kebutuhan. Selain itu kami juga produksi sling bag. Pasarannya sendiri ke semua gender, mulai anak muda sampai di kalangan orang tua.”

Sejauh ini katanya, pihaknya menjual hasil produksinya masih offline, tetapi memiliki akun instagram @sa.olethea untuk promosi. Mereka sudah memasarkan hingga ke luar Papua, seperti NTT, Ambon, Sulawesi dan sejumlah daerah lainnya di Indonesia.

“Kami awalnya fokus hanya di Papua, ternyata puji Tuhan, banyak yang pesan dari luar Papua. Jika ada yang pesan dari luar Papua kami kirim dari Bandung, sementara yang di Papua kami pasarkan dari Jayapura.”

Baca Juga:  Pencaker Palang Kantor Gubernur Papua Barat Daya

Sejak Olethea berdiri hingga saat ini, hasil penjualannya walaupun tidak banyak tetapi cukup membantu untuk produksi selanjutnya.

Ke depan kata Ina pihaknya memiliki target untuk mencari lebih banyak pengrajin noken lokal agar produksi bisa lebih ditingkatkan. Selain itu ia berharap agar ada dukungan dari investor dalam mengembangkan Olethea ke depan.

Ia juga mengakui bahwa untuk saat pihaknya telah bergabung dengan pihak Papuan Local Market. Selain itu pihaknya berharap agar bergabung dengan panitia PON 2020 untuk mempromosikan produk Olethea.

“Jika kita bergabung dengan panitia PON, dan mendapatkan satu stand, maka kita berencana produksi 100 pieces. Karena pasti banyak orang dari luar Papua yang datang dan bisa menjadikan ole-ole untuk balik ke daerah mereka. Tetapi selain itu kita juga ingin mempunyai offline store di Jayapura maupun di luar Jayapura biar semakin di kenal,” katanya.

“Kami di tim Olethea tidak ingin hanya menikmati hasil alam Papua, namun juga ingin mengembangkan yang sudah ada di tanah Papua. Kami juga ingin membuat noken yang lebih moderen ini agar tidak hanya sekedar jadi hiasan, namun juga di pakai.”

Selain itu pihaknya berharap agar produk mereka semakin berkembang dan akhirnya bisa banyak pengrajin lokal yang bisa dipekerjakan. Terutama dengan produksi ini, banyak anak-anak Papua sadar menggunakan noken tanpa malu.

 

Pewarta: Elisa Sekenyap

Artikel sebelumnyaEgianus Kogeya Menolak Pemekaran 40 Distrik dan Ratusan Kampung di Nduga
Artikel berikutnyaOrmas BMI Membubarkan Diskusi Proklamasi Papua di Makassar