Nasional & DuniaKomisioner Komnas HAM dan Peneliti LIPI Kritisi Pengesahan Revisi UU Otsus Papua

Komisioner Komnas HAM dan Peneliti LIPI Kritisi Pengesahan Revisi UU Otsus Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Tanpa melibatkan rakyat Papua terutama kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan, pengesahan revisi Undang-Undang  Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua diprediksi tak akan berjalan dengan baik selama 20 tahun sesuai keputusan pemerintah Indonesia.

Cahyo Pamungkas, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bahkan mengkhawatirkan kebijakan tersebut bukan tak mungkin mengundang penolakan dari seluruh orang asli Papua sebelum diberlakukan di provinsi Papua Barat dan provinsi Papua.

Pola penanganan yang diambil pemerintah menurutnya, sangat berbeda dengan Aceh. Ia menyebut pemberlakuan Undang-Undang Pemerintahan Aceh atas dasar kesepakatan atau Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki.

Ini menurut Cahyo sama sekali tak ditempuh pemerintah Indonesia untuk konteks Papua.

“Oleh karena itu, konsekuensinya Otsus itu tidak memiliki legitimasi yang cukup kuat terutama di kalangan kelompok-kelompok yang selama ini ingin merdeka,” ujarnya dalam sebuah diskusi virtual bertajuk “Menakar Otsus di Papua”, Sabtu (17/7/2021).

Dengan dasar inilah ia merasa sangat pesimis UU Otsus Papua yang baru disahkan DPR RI itu akan berjalan dengan baik sesuai harapan pemerintah bersama para pihak yang terlibat.

Cahyo menilai tiadanya ruang dialog bersama pihak yang menginginkan Papua merdeka akan menyulitkan pemerintah mengatasi berbagai persoalan.

“Saya ingin mengatakan bahwa kalau saya sendiri, ya kita kan boleh ya pesimis atau optimis. Kalau saya mungkin lebih banyak pesimis, mohon maaf. Karena penelitian-penelitian sebelumnya, sebagus-bagusnya Otsus Papua itu tidak dihasilkan melalui dialog dengan kelompok-kelompok yang ingin merdeka,” tuturnya.

Apalagi, lanjut Cahyo, pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muridan S Widjojo dan peneliti lainnya, revisi Otsus Papua mestinya melibatkan kelompok berseberangan minimal ada dialog untuk mendengar apa mau mereka.

Baca Juga:  Atasi Konflik Papua, JDP Desak Pemerintah Buka Ruang Dialog

Hal ini berangkat dari pengalaman selama 20 tahun berlalu, pemerintah menurutnya tak punya komitmen untuk melaksanakan UU Otsus Papua dengan baik dan benar.

“Dugaan itu bisa dibuktikan dengan sejumlah fakta yang hingga kini masih menjadi persoalan serius di Tanah Papua.”

Persoalan ini diungkap oleh mereka yang kontra terhadap RUU Otsus Papua. Pertama, disebutnya bahwa pemerintah dan DPR tidak memberikan kesempatan yang adil bagi seluruh rakyat Papua melalui mekanisme evaluasi menyeluruh terkait Otsus Papua.

“Misalnya, saya kira, Pansus memang telah bertemu dengan orang asli Papua, tetapi apakah Pansus juga mengakomodasi ide dan gagasan mereka? Misalnya terkait dengan kekerasan politik, mengenai akar persoalan bagaimana mencegah pelanggaran HAM atau kekerasan di Papua. Bagaimana menyelesaikan masalah pelurusan sejarah, marginalisasi, diskriminasi, rasisme yang terjadi di kalangan orang Papua,” beber Cahyo.

Selama 20 tahun Otsus Papua diberlakukan, kata dia, angka kekerasan politik di Papua meningkat cukup tajam.

“Justru angka kekerasan itu meningkat sejak 2017, kekerasan dan konflik itu terjadi dan meningkat antara OPM (Organisasi Papua Merdeka), TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat), dengan Polri/TNI. Konflik di Nduga, Intan Jaya, dan terakhir di Puncak,” terangnya.

Cahyo membeberkan, konflik tersebut telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa masyarakat sipil, tetapu juga anggota Polri, TNI maupun TPNPB/OPM.

Ia mempertanyakan alasan belum adanya evaluasi total oleh pemerintah terkait pelaksanaan Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi provinsi Papua.

“Evaluasi itu sangat perlu untuk mengawal Otsus yang baru ke depannya,” kata Cahyo.

Di sisi lain, ia mengusulkan agar perlindungan hak-hak masyarakat adat atas tanah juga sangat perlu diakomodir dalam revisi UU Otsus Papua.

Baca Juga:  Panglima TNI Didesak Tangkap dan Adili Prajurit Pelaku Penyiksa Warga Sipil Papua

“Hal ini sangat penting, tanah mereka menjadi lahan kelapa sawit, dan menjauhkan mereka dari habitat ekologisnya. Ini terkait dengan masa depan kelanjutan hak hidup orang Papua,” ujarnya.

Cahyo berharap, implementasi UU Otsus Papua dapat lebih banyak mendengarkan aspirasi orang asli Papua. Hal itu harus dilakukan melalui dialog baik mereka yang mendukung Otsus maupun menolaknya.

“Bagaimana implementasi Otsus ini agar sesuai dapat melindungi harkat dan martabat orang asli Papua,” harap Cahyo.

Kritikan Tajam Komnas HAM

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahkan mengkritik pemerintah yang terkesan otoriter dalam pengambilan kebijakan menyusul pembahasan hingga pengesahan UU Otsus Papua.

Amiruddin Al-Rahab, Komisioner Komnas HAM menyatakan, pemerintah belum fokus terhadap persoalan HAM di Tanah Papua. Itu terbukti ketika RUU Otsus Papua sudah disahkan di DPR RI baru-baru ini.

Penanganan persoalan HAM tersebut, kata dia, merupakan kewajiban negara dalam hal ini pemerintah.

“Tentang persoalan HAM, itu kewajiban negara dalam hal ini pemerintah. Begitu bunyi Undang-undang,” katanya.

Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM ini menambahkan, pihaknya akan berkomunikasi dengan sejumlah instansi pemerintah untuk mendorong agar pemerintah tetap bertindak sesuai Undang-Undang.

“Komnas HAM akan terus berkomunikasi dengan instansi-instansi yang lain untuk mendorong agar pemerintah mengambil langkah sesuai Undang-undang yang ada. Kami akan berkoordinasi dengan Menko Polhukam,” ujar Amirudin.

Secara umum, Komnas HAM berpendapat, pengesahan RUU Otsus Papua memperlihatkan tingkah pemerintah tidak pro-rakyat yang artinya akan memperkuat otoritas di Tanah Papua.

Hal itu menurutnya terlihat dari revisi tentang Pasal 76 terkait Pemekaran Daerah di Tanah Papua tanpa melibatkan rakyat melalui Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Dalam kebijakan baru, pemerintah pusat memiliki wewenang untuk melakukan pemekaran.

Baca Juga:  Polda Papua Diminta Evaluasi Penanganan Aksi Demo di Nabire

“Revisi atas hal ini menunjukkan pemerintah memperkuat otoritasnya,” ujar Amiruddin.

Meski memang pemerintah memiliki wewenang penuh untuk mengambil kebijakan memekarkan sebuah daerah otonom baru (DOB) baik kabupaten maupun provinsi di Indonesia. Tetapi menurut Amiruddin, pemekaran DOB di Papua mesti didasari persetujuan MRP dan DPRP.

“Tentang pemekaran atau pembentukan provinsi di RI ini adalah kewenangan pemerintah. Nah, di Papua diberikan pengecualian, atas persetujuan oleh MRP dan DPRP,” lanjutnya.

Hal itu berubah dengan adanya pengesahan RUU Otsus Papua. Perubahan itu tertera dalam Pasal 76 yang sebelumnya terdiri dari satu ayat menjadi lima ayat. Salah satunya adalah pemerintah dan DPR kini dapat melakukan pemekaran wilayah, tidak hanya atas persetujuan MRP dan DPRP.

Menanggapi hal itu, Komnas HAM menilai pemerintah terkesan menunjukkan otoritasnya yaitu wewenang melakukan pemekaran di setiap wilayah di Indonesia.

Dalam rapat dengan Panitia Khusus Revisi UU Otsus Papua, Kamis (8/4/2021), Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, usulan pemekaran bisa dilakukan pemerintah pusat.

“Dalam usulan pemerintah, kita mengharapkan selain ayat satu, opsi satu, dengan cara pemekaran melalui mekanisme MRP DPRP, yang kedua adalah pemekaran dapat dilakukan oleh pemerintah, maksudnya pemerintah pusat,” kata Tito.

Sebagaimana diberitakan media ini sebelumnya, pada Kamis (15/7/2021) lalu DPR mengesahkan RUU tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi provinsi Papua. Keputusan diambil dalam rapat paripurna DPR ke-23 masa persidangan V tahun sidang 2020-2021 di Gedung Nusantara II, Jakarta. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Partai Demokrat se-Papua Tengah Jaring Bakal Calon Kepala Daerah Jelang Pilkada...

0
Grace Ludiana Boikawai, kepala Bappiluda Partai Demokrat provinsi Papua Tengah, menambahkan, informasi teknis lainnya akan disampaikan panitia dan pengurus partai Demokrat di sekretariat pendaftaran masing-masing tingkatan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.