PolhukamHAMPelepasan Lokasi Pembangunan Pos Militer di Bibida Dipersoalkan

Pelepasan Lokasi Pembangunan Pos Militer di Bibida Dipersoalkan

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Selain mahasiswa, suara penolakan terhadap rencana pembangunan pos Koramil dan Polsek di distrik Bibida, kabupaten Paniai, Papua, datang dari kalangan intelektual suku Moni.

Pilemon Zonggonau, salah satu intelektual muda asal distrik Bibida, mempersoalkan pelepasan tanah adat kampung Dama-dama ke pemerintah daerah untuk bangun pos Koramil dan Polsek.

Menurutnya, pelepasan lokasi tersebut tak berdasarkan hasil persetujuan semua elemen masyarakat Bibida.

“Tanggal 15 November 2021 dibuat surat pernyataan pelepasan tanah, tetapi tidak melalui hasil mufakat dari semua elemen yang ada di distrik bibida. Pelepasannya hanya dari kelompok tertentu secara individu keluarga,” kata Pilemon kepada suarapapua.com melalui keterangan tertulis, Sabtu (20/11/2021) malam.

Karena itu, ia atas nama intelektual Bibida menolak adanya pembangunan pos Koramil dan Polsek di kampung Dama-dama, distrik Bibida.

“Saya mewakili semua intelektual asal Bibida dan seluruh lapisan masyarakat Paniai menolak pembangunan pos militer di distrik Bibida,” ujarnya.

Pilemon menyampaikan dua alasan mendasar.

“Pertama, mengapa ada penolakan terhadap rencana bangun kantor Koramil dan Polsek di kampung Dama-dama. Karena distrik Bibida adalah distrik yang paling dekat dari antara 24 distrik lainnya di kabupaten Paniai. Kedua, persetujuan pelepasan tanah adat tidak melalui mufakat dari berbagai tokoh yang mendiami distrik Bibida. Pelepasan hanya sebatas individu dari keluarga Dama-dama saja,” bebernya.

Baca Juga:  Berlakukan Operasi Habema, ULMWP: Militerisme di Papua Barat Bukan Solusi

Dengan dua alasan itu, ia minta pemerintah daerah dan kepala distrik serta beberapa tokoh yang terkait dalam pelepasan tanah segera batalkan surat pernyataan yang dibuat tanpa melibatkan semua komponen masyarakat Bibida.

“Segera cabut kembali suratnya. Jika pemerintah daerah Paniai tidak eksekusi, maka imbasnya sangat besar bagi masyarakat kecil di distrik Bibida yang tidak tahu apa-apa,” tegasnya.

Zonggonau kemudian mempertanyakan alasan pemerintah sekarang mau pilih pos Koramil dan Polsek di distrik Bibida.

“Ini menjadi pertanyaan besar pada pemerintah kabupaten Paniai. Karena pelepasan tanah yang dilakukan oleh kelompok tertentu secara individu sudah tidak sesuai dan menyalahi aturan. Sekali lagi, pemerintah segera cabut kembali surat pelepasan tanah adat yang pernah dilakukan secara individu keluarga itu,” ujar Pilemon.

Kepala distrik Bibida yang beberapa kali dihubungi melalui nomor telepon tak berhasil.

Baca Juga:  KKB Minta Komisi Tinggi HAM Investigasi Kasus Penyiksaan OAP

Sebelumnya, penolakan yang sama disuarakan oleh mahasiswa Paniai dari berbagai kota studi di Indonesia.

Martinus Zonggonau, salah satu mahasiswa Paniai di kota studi Manokwari, menyatakan menolak adanya pelepasan tanah untuk lokasi pembangunan kantor Koramil dan Polsek di distrik Bibida.

Menurut Martinus, mahasiswa pada prinsipnya tegas menolak kehadiran aparat keamanan yang rencana bangun pos Koramil dan Polsek tersebut.

“Kepala distrik dan tujuh kepala kampung bersama beberapa tokoh segera cabut tanda tangan yang dilakukan pada tanggal 15 November 2021 di markas Koramil Paniai,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Sabtu (20/11/2021).

Penolakan ini dilatarbelakangi pengalaman masa silam yang penuh dengan tindak kekerasan dan kekejaman militer terhadap warga sipil di kabupaten Paniai.

“Masyarakat sipil di Paniai pernah menjadi korban kekerasan negara. Ratusan jiwa tewas, belum lagi kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan pasukan militer. Kami tidak mau kasus sama terulang kembali. Stop bangun pos militer di Bibida,” ujarnya.

Sebagai pemilik ulayat kampung Dama-dama, Zonggonau mempersoalkan atas izin masyarakat dari mana lokasi tersebut diserahkan ke pemerintah untuk kepentingan bangun kantor Koramil dan Polsek?.

Baca Juga:  Teror Aktivis Papua Terkait Video Penyiksaan, Kawer: Pengekangan Berekspresi Bentuk Pelanggaran HAM

“Tentara dan polisi memang ditugaskan negara sesuai tugasnya, tetapi dalam pelaksanaan di lapangan biasa bikin takut masyarakat. Trauma masa lalu belum hilang dari ingatan kolektif orang Papua. Bertujuan memberi kenyamanan, justru berubah menjadi aktor kekerasan. Itu pengalaman dari dulu di Tanah Papua, termasuk di kabupaten Paniai,” tutur Martinus.

Nebot Widigipa juga senada, tegas menolak kehadiran militer di distrik Bibida.

“Melihat pengalaman selama ini, kami minta pemerintah daerah bersama semua tokoh masyarakat segera cabut kembali surat pernyataan pelepasan tanah adat untuk pembangunan pos Koramil dan Polsek di Bibida,” ujar mahasiswa Paniai di kota studi Manokwari ini.

Di kampung Dama-dama, kata Widigipa, masyakarat biasanya berburu di hutan dengan mengandalkan busur dan panah. Kebiasaan ini akan dianggap sebagai musuh oleh militer yang tak paham budaya masyarakat setempat.

“Karena itulah kami tuntut, surat pernyataan yang sudah dibuat itu segera dicabut kembali. Stop bangun pos militer di Bibida. Masyarakat tidak akan nyaman dengan kehadiran militer,” tegas Nebot.

Pewarta: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.