STFT Fajar Timur Serukan Panggilan Moral untuk Kemanusiaan

0
1066

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur, Abepura, Jayapura pada Jumat (10/12/2021) mengeluarkan seruan panggilan moralitas kemanusiaan, keadilan, kebenaran dan keselamatan hidup orang asli Papua di atas tanah leluhurnya.

Dalam keterangan tertulis yang diterima Suara Papua, dikatakan bahwa deklarasi universal HAM padal 10 Desember oleh majelis umum PBB yang berbunyi “setiap orang berhak atas semua hak dan kebenaran tidak dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras warna, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain mengenai asal-usul kebangsaan, atau kemasyarakatan, dan mengenai kelahiran atau pun kedudukan lain.”

Adapun dokumen Konsili Vatikan II, dalam Gaudium Et Spes, Art. 12, yang berbunyi “setiap pribadi manusia bermartabat karena menusia diciptakan menurut gambar Allah. Kebebas hidup, hati nurani, dan memiliki hak untuk hidup serta memuji dan memuliakan Allah.”

Berdasar UU RI Nomor 39 tahun 1999, hak asasi manusia (HAM) merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Baca Juga:  Panglima TNI Didesak Tangkap dan Adili Prajurit Pelaku Penyiksa Warga Sipil Papua

Dengam membeberkan pengertian hak asasi manusia (HAM), civitas akademik STFT Fajar Timur juga menyebutkan siapa saja yang menjadi korban dibalik konflik di tanah Papua.

ads

Korban langsung dari adanya konflik bersenjata antara aparat militer TNI/POLRI dengan TPNPB-OPM tentu adalah masyarakat sipil yang tidak tahu apa-apa. Stigma OPM atau KKB terhadap masyarakat sipil, seringkali menjadi dalil penembakan dan penganiayaan.

“Tak heran, sejumlah korban yang terbunuh dalam konflik bersenjata di Intan Jaya dan beberapa tempat di Tanah Papua adalah dari kalangan warga sipil, bahkan anak-anak pun menjadi korban,” ujar ketua BEM STFT saat membacakan siaran pers, 10 Desember 2021.

Hal tersebut tentunya menimbulkan ketakutan dan trauma yang menghantui seluruh masyarakat Intan Jaya. Dan ini berdampak pada terjadinya kasus pengungsian.

Menurut pemerintah Kabupaten Intan Jaya, “ada 1.237 orang masyarakat sipil yang terdata sebagai pengungsi, termasuk di dalamnya 331 orang perempuan dan anak-anak.”

“Mereka (pengungsi) melarikan diri ke kabupaten Nabire karena takut menjadi korban (salah sasaran dari saling tembak antara TNI/POLRI dengan TPNPB-OPM),” katanya.

Kekerasan, penembakan, pembunuhan, dan kerusakan lingkungan hidup sering terjadi di Intan Jaya dan pada umumnya di seluruh Tanah Papua. Kejadian ini dapat dipahami sebagai akses dari adanya kepentingan para konglomerat. Dengan demikian dapat mengakibatkan korban nyawa baik TNI/PolriI maupun TPNPB-OPM seperti kejadian di Yahukimo pada 3 Desember 2021, di mana mengakibatkan terjadinya penembakan terhadap 2 orang TNI.

Baca Juga:  Peringatan IWD Menjadi Alarm Pergerakan Perempuan Kawal Segala Bentuk Diskriminasi Gender

Pada tanggal 12-14 September 2021 terjadi saling menembak antara TNI dan TPNPB Ngalum Kupel. Ini mengakibatkan masyarakat sipil yang berada di Kiwirok sebagian tidak nyaman akhirnya mereka mengungsi ke Oksibil kota, dan bahkan sampai mengungsi ke PNG.

Pembakaran fasilitas umum seperti sekolah, puskesmas dan kantor lainnya, serta rumah warga, sehingga situasi dan kondisi di Kiwirok sangat kurang kondusif. Dalam peristiwa tersebut, seorang anggota TNI, TPNPB dan tenaga kesehatan (Nakes) menjadi korban.

Konflik bersenjata tersebut, tak hanya terjadi di Intan Jaya dan Pegunungan Bintang, tetapi juga di Maybrat. Peristiwa pembunuhan terhadap TNI di Maybrat pada 2 Oktober 2021 lalu pun menyebabkan masyarakat tidak aman dan nyaman atas peristiwa ini, sehingga semua kampung mengungsi ke hutan.

Keterpanggilan seruan kami atas dasar kemanusiaan dalam refleksi iman Kristiani, sebab tugas Gereja adalah harus bersuara untuk mereka yang tak bersuara (the voice of the voiceless) dan harus menjadi promotor keadilan, kebenaran, dan kedamaian. Peran utama Gereja adalah sebagai pembawa damai dan penegak keadilan, serta kebenaran.

Baca Juga:  Satgas ODC Tembak Dua Pasukan Elit TPNPB di Yahukimo

Gereja tidak boleh diam ketika berhadapan dengan kenyataan atau situasi apapun di mana ada penderitaan, penganiayaan, dan penindasan. Di mana terjadi praktek ketidakadilan dan perampasan atas hak-hak dasar masyarakat terutama, kaum yang lemah. Di situlah Gereja hadir untuk menyuarakan yang tak bersuara.

“Suka dan duka umat Tuhan adalah juga suka duka kami Civitas Akademika STFT “Fajar Timur”. Maka kami bersuara atas dasar kemanusiaan, karena kami merindukan mereka yang tak bersuara dan ditindas supaya terjadi kedamaian dan keadilan,” imbuhnya.

Adapun seruan kami sebagai berikut:

Pertama, Kami mendukung pernyataan Sikap dan Seruan Gencatan Senjata oleh para Imam Regio Papua yang diadakan di Waena pada tanggal 12 November 2021.

Kedua, Kami mendesak supaya menghentikan operasi militer di daerah konflik diseluruh tanah Papua.

Ketiga, Kami menyerukan dialog Jakarta-Papua secara komprehensif yang dimediasi oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan di Indonesia maupun di Papua.

Keempat, Kami mendesak dan mendukung,supaya pemerintah Indonesia membuka akses masuk Komnas HAM PBB dan jurnalis Internasional ke Papua.

Kelima, Kami menghimbaukan kepada Pemerintah Pusat supaya menghentikan penambahan TNI/POLRI di Papua.

 

Pewarta: Yance Agapa
Editor: Arnold Belau

 

Artikel sebelumnyaHari HAM Sedunia, AJI Jayapura Launching PBH Pers
Artikel berikutnyaImparsial: Operasi Militer di Papua Ilegal