60 Tahun Trikora, AMP Jember:  Adili Jenderal-Jenderal Pelanggar HAM di Papua

0
989
Aktivis AMP, AMPTPI dan FRI-WP ketika gelar aksi peringati 60 tahun Trikora (19 Desember 1961) di Jember, Jawa Timur, Senin (20/12/2021). (Supplied for SP)
adv
loading...

Pers Release AMP Jember, Jatim

Akhir-akhir ini menunjukan Papua tidak baik-baik saja. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara masif melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam Papua melalui berbagai izin usaha yang illegal hanya untuk meloloskan dan mengamankan kepentingan pemodal atau kapitalis. Hal itu dilakukan dengan membangun pos-pos dan markas militer dan Polri di setiap wilayah. Dalam prakteknya aparat TNI dan Polri sebagai alat negara malah mengamankan proyek sehingga menimbulkan kekerasan kepada rakyat sipil, termasuk TPNPB.

Dalam kurun waktu 2017-2021, terjadi pengungsian secara massal di beberapa wilayah, diantaranya wilayah Kabupaten Nduga, Timika, Intan Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan Yahukimo.

Dewan Gereja Papua dalam laporan terbarunya melaporkan bahwa setidaknya ada 60.000 rakyat sipil Papua yang mengungsi akibat penyisiran karena konflik bersenjata. Selain itu disebutkan adanya proses pemiskinan secara terstruktur dilakukan oleh negara, termasuk dibidang ekonomi, pelayanan kesehatan, dan pendidikan.

Semua persoalan yang dihadapi rakyat bangsa Papua ini bukan terjadi baru-baru ini.  Tetapi disebabkan oleh proses sejarah yang panjang, terutama di dalam cengkraman kolonialisme NKRI selama 60 tahun.

ads

Di mana proses itu dimulai dengan Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961 oleh Presiden pertama RI, Ir. Soekarno di Alun-Alun Utara, Kota Yogyakarta. Ia mengkumandangkan Tri Komando Rakyat yang isinya adalah; pertama, bubarkan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda. Kedua, kibarkan bendera merah-putih di seluruh tanah Papua. Ketiga, bersiap untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air kita.

Nafsu Soekarno untuk menguasai Papua didorong oleh beberapa hal, diantaranya; pertama, ingin mengembalikan kejayaan kerajaan Majapahit. Kedua, klaim atas kekuasaan Tidore. Ketiga, Papua dan Indonesia sama-sama dijajah Belanda. Keempat, mengusir pengaruh imperialisme Belanda di Asia Tenggara.

Baca Juga:  IPMMO Jawa-Bali Desak Penembak Dua Siswa SD di Sugapa Diadili

Sementara dari dua klaim di atas tidak ada bukti ilmiah yang dapat dibuktikan. Sedangkan klaim ketiga (sama-sama jajahan Belanda) tidak dapat dijadikan alasan karena wilayah administratif Hindia Belanda berada di Batavia (Jakarta). Sedangkan pemerintahan kolonial Belanda di Papua bernama Netherlands Niuw Guinea, dengan ibu kota Holandia (Jayapura). Prinsip Hukum Uti Posidetis untuk wilayah Papua sudah tidak relevan dijadikan dasar klaim Teritorial Indonesia sejak wilayah Papua masuk dalam daftar Komisi Dekolonisasi (C-24) sebagai wilayah tidak berpemerintahan sendiri. Atau dengan kalimat sederhananya adalah bahwa wilayah Papua bukan milik siapa-siapa, bukan milik Indonesia ataupun Kerajaan Belanda.

Dengan demikian, klaim Ir. Soekarno tersebut dapat disebut Kolonialis, Rasis, dan Fasis. Karena Indonesia yang merdeka dari Belanda mencoba mempraktekan dominasi baru terhadap bangsa Papua. Hal ini pernah disebut Wakil Presiden pertama RI, M. Hatta dalam sidang BPUPKI bahwa, “Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua tidak sama sekali saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka.”

Dengan menganggap negara Papua yang dideklarasikan pada 1 Desember 1961 sebagai “boneka’ Soekarno berlaku rasis dan merendahkan martabat bangsa Papua bahwa bangsa Papua tidak dapat menentukan kemauan politik dan tidak dapat menentukan nasib sendiri. Fasis karena realisasi dari isi Trikora dilakukan beberapa gelombang operasi militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. [3]

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Militerisasi di Papua sudah pada level yang teramat memprihatinkan dan telah terbukti gagal menghentikan bahkan memperburuk eskalasi kekerasan di tanah Papua. Bahkan hal ini juga sudah disadari, salah satunya oleh Panglima Komando Daerah Militer Cenderawasih Mayor Jenderal Ignatius Yogo Triyono. Dikutip dari Majalah Tempo beberapa waktu lalu, ia menyatakan mendukung pendekatan dialog untuk mengatasi konflik di Papua dan melakukan kontak tembak, tapi dengan syarat dialog itu tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Serangkaian penjelasan di atas dapat menyimpulkan bahwa akar permasalahan yang terjadi di West Papua adalah cacatnya sejarah integrasi. Kondisi ini kemudian membuahkan praktek militerisasi yang berimbas pada maraknya pelanggaran HAM (pembunuhan di luar hukum, penangkapan, penyiksaan, pembungkaman kebebasan berpendapat), penyingkiran Orang Asli Papua (OAP), dan kerusakan lingkungan.

Karenanya diperlukan sebuah mekanisme penyelesaian yang damai dan demokratis, yakni hak menentukan nasib sendiri. Tentu dengan tidak mengesampingkan demiliterisasi di Papua terlebih dahulu.

Dalam rangka 19 Desember 1961 sebagai hari awal kolonialisme Indonesia di Papua hingga 60 tahun, maka Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI), dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) menyatakan sikap politik sebagai berikut;

  1. Berikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa Papua Barat.
  2. Cabut UU Otonomi Khusus jilid II dan hentikan pembahasan pemekaran daerah otonomi baru (DOB).
  3. Buka akses jurnalis nasional dan asing seluas-luasnya di tanah Papua.
  4. Tarik militer organik dan non-organik dari tanah Papua dan hentikan pembangunan Kodim, Korem, Polres, Polsek di atas tanah Papua.
  5. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa Papua di Indonesia.
  6. Bebaskan tahanan politik Papua tanpa syarat.
  7. Tutup PT. Freeport, BP, LNG Tangguh, serta tolak pengembangan Blok Wabu dan eksploitasi PT. Antam di Pegunungan Bintang.
  8. Usut tuntas pelaku penembakan dua anak di Intan Jaya, Papua.
  9. Tangkap, adili, dan penjarahkan jenderal-jenderal pelanggar HAM.
  10. Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Indonesia dan aparat TNI-Polri.
  11. Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, Yahukimo dan seluruh wilayah tanah Papua.
  12. Cabut Omnibus Law.
  13. Belanda harus bertanggung jawab untuk menuntaskan proses dekolonisasi Papua sebagaimana pernah mereka janjikan.
  14. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa Papua.
  15. Mendesak Pemerintah RI untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di tanah Papua secara langsung.
  16. Menjamin orang Papua untuk bebas, berekspresi, berorganisasi, berpendapat dan mendapatkan informasi seluas-luasnya di tanah Papua.
  17. Buzer, BAIS dan BIN agar hentikan memproduksi Hoax mengenai pelangaran HAM di atas tanah Papua.
  18. Cabut pelebelan teroris terhadap banggsa Papua.
  19. Usut tuntas pelaku penembakan dua anak dan pendeta Yeremia Sanambany di Intan Jaya.
  20. Hentikan kekerasan verbal dan nonverbal terhadap perempuan Papua.
Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Demikian pernyataan sikap AMP Komte Kota Jember Jawa Timur.

Medan Juang,

Jember Jatim, 20 Desember 2021

Artikel sebelumnyaKemerdekaan Bangsa Papua Ada di Tangan Rakyat Papua
Artikel berikutnyaPersitoli Juara, Empat Tim ke Putaran Nasional