Kisah Inspiratif Yenni Sasarari, Manager Operasional Villa dan Guru Internasional School di Bali

    0
    1464

    Yenni Sasarari, seorang Perempuan Papua yang hebat. Perjuangan dan karirnya bisa menginspirasi banyak anak-anak muda di Tanah Papua. Sosok putri Papua yang sangat menginspirasi ini sering disapa Yenong. Yenong merupakan salah seorang guru di salah satu sekolah berkurikulum Internasional di Bali yakni Bali Christian College di Renon, Denpasar.

    Yenong tumbuh dan besar di Jayapura. Serta menamatkan pendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah di Jayapura ini.

    Yenong tidak pernah bermimpi akan menjadi seorang guru, apalagi mengajar di sekolah berkurikulum internasional berbasis pendidikan karakter berdasarkan Alkitab.

    Dalam perjumpaan saya dengan Yenni, dia bercerita, setelah tamat SMA, dia pernah mengikuti pelayanan misionaris bekerja sama dengan Gereja Advent dan Misionaris Korea di daerah Wamena.

    Yenong menyelesaikan program sarjana Sastra Inggris di Universitas Sam Ratulangi Manado. Setelah selesai, akhirnya kembali ke Papua dan mengabdikan diri di Bethany International School di kawasan PTC Entrop Jayapura. Dia bertugas sebagai penanggung jawab Learning Center.Setahun kemudian dia percayakan sebagai koordinator kurikulum sekolah.

    ads

    Yenong bercerita, pengalamannya yang paling berkesan adalah ketika dia bekerja sama dengan salah satu yayasan yang membuka sekolah di Mamberamo. Saat itu Yenong harus rela meninggalkan anaknya yang berumur tiga bulan untuk terjun langsung ke Mamberamo. Mereka sering pergi untuk membantu memberikan pelatihan tutor lokal serta membawa beberapa pemuda yang dianggap bisa untuk belajar bahasa Indonesia di Kota untuk nantinya bisa kembali dan mengajar di kampung-kampung. Mereka juga menyederhanakan buku bahasa Indonesia ke bahasa Melayu Papua untuk di pakai, tetapi karena sulit dipahami juga, maka mereka membuat terjemahan juga dari bahasa setempat.

    Dalam pandangan Yenong, kondisi pendidikan sangat memprihatinkan di Papua terutama daerah pedalaman Papua. Banyak guru-guru yang ditempatkan di tempat-tempat tersebut tidak betah mengajar.

    “Mereka biasanya tidak bertugas sampai berbulan-bulan, dan hanya kembali ke tempat tugas kalau ada pengurusan administrasi dan gaji,” tutur Yenong.

    Dia bercerita pernah bertemu dengan seorang guru honor asal Flores yang betah mengabdikan diri mengajar di pedalaman Papua bahkan ada juga siswa yang mengaku sudah duduk di kelas enam selama 2 tahun karena tidak adanya guru, walaupun itu sekolah milik pemerintah.

    Setelah 2 tahun mengabdikan diri di Bethany School, Yenong mendapatkan kesempatan untuk mengikuti kursus Bahasa Inggris persiapan IELTS melalui bantuan pemerintah bagi guru-guru di IALF Bali untuk mengganti peserta yang mengundurkan diri pada dua bulan terakhir kursus. Setelah mengikuti test IELTS, score yang didapat belum cukup untuk dipakai melamar beasiswa Australia Awards. Akhirnya Yenong memutuskan menetap di Bali untuk melanjutkan kelas persiapan IELTS lagi.

    Kepindahan Yenong ke Bali juga dikarenakan suaminya bekerja di Bali. Dengan alasan itu mereka harus pindah dan menetap di Bali. Padahal Yenong sendiri mempunyai impian untuk mengabdi di Papua. Apalagi daerah pedalaman. Namun Yenong berpikir bahwa dia lebih mengikuti alur dan jalan dimana Tuhan kasih. Dia belajar banyak di tempat dimana dia tinggal untuk nantinya bisa diaplikasikan ketika pulang ke Papua suatu saat nantinya.

    Awal tinggal di Bali

    Yenong mulai melamar-melamar pekerjaan dan diterima bekerja di perusahaan konsultan di daerah Sanur. Setelah setahun bekerja, dia berhenti dan membantu temannya pemilik villa di daerah Seminyak untuk mengelola villa tersebut. Yenong banyak menawarkan anak-anak Papua di Bali untuk ikut bergabung mencari-cari uang sampingan dalam mengelolah villa. Ada yang dengan senang hati ikut bergabung, bahkan masih ada yang gengsi untuk bekerja mengurus villa.

    Setelah setahun bekerja di villa, dia melamar lowongan admin di sebuah international School yakni Bali Christian College, tetapi karena Yenong mempunyai pengalamannya mengajar di Papua, akhirnya Yenong dipercayakan mengajar anak usia 4 tahun – 6 tahun di sekolah tersebut. Siswanya juga beragam, dari siswa domestik maupun internasional seperti dari India, Rusia, Afrika dan Filipina.

    Yenong mengaku, banyak sekali kelemahan program-program yang ditawarkan pemerintah di Papua, seperti menyekolahkan anak-anak usia sekolah dasar di Pulau Jawa dan Bali. Padahal anak-anak usia tersebut, seharusnya masih harus tinggal dengan orang tua untuk pengembangan karakter. Ada juga pemerintah yang mendukung sumber daya manusia daerah mereka, dengan mengirimkan anak-anak asli Papua kursus dan sekolah di Bali, bahkan mereka disediakan asrama. Tetapi semuanya itu berjalan baik dan sempurna di awal program saja, namun pada akhirnya anak-anak tersebut tidak diurus dengan baik, kiriman uang sering terlambat, bahkan banyak yang mencari jalan sendiri bertahan hidup atau memutuskan pulang.

    Menurut Yenong, ketika pemerintah mengeluarkan biaya yang besar untuk memberangkatkan banyak mahasiswa-mahasiswi Papua baik menuntut ilmu di luar Papua bahkan Luar negeri, pemerintah seharusnya sudah menyiapkan wadah untuk menampung mereka ketika mereka kembali nantinya, sehingga ilmu yang di dapat bisa diterapkan di masyarakat. Bila perlu pemerintah membuka sekolah-sekolah dari pre-school hingga sekolah menengah atas bertaraf internasional di Papua yang menggunakan kurikulum internasional yang fleksibel dan menekankan skill siswa berdasarkan perkembangan zaman yang semakin bersaing. Pemerintah hanya mendatangkan Tutor atau pengajar Internasional serta memberikan jaminan kenyamanan dan keamanan, sehingga banyak anak-anak Papua bisa merasakan dampak bersekolah menggunakan kurikulum internasional yang mengedepankan skill, dan kemampuan problem solving.

    Pada saat ini kebutuhan utama di era jaman modern ini hanya skill serta didukung oleh karakter yang baik yang harus ditanam sejak usia dini. Sekolah internasional memang memiliki kurikulum yang mengedepankan skill dan karakter yang lebih unggul dibandingkan sekolah nasional. Dan kebanyakan orang Papua lebih cocok di sekolahkan di sekolah Internasional. Sehingga kurikulum internasional bisa di kolaborasikan dengan sosial budaya setempat.

    Feature ini dilapokan oleh Karel Sroyer, Pengelola webiste karelsroyer.com

    Artikel sebelumnyaAkar Persoalan Papua Masih Tetap Bagaikan Bara Api
    Artikel berikutnyaFergonzi-Cawor Ditandemkan Akhiri Kebuntuan Penyelesaian Akhir