Perusahaan Hancurkan Sumber Kehidupan Masyarakat Moi

0
1304

SORONG, SUARAPAPUA.com — Alih-alih untuk mensejahterakan masyarakat, perusahaan sawit justru datang untuk menghancurkan tatanan masyarakat dan sumber kehidupan masyarakat suku Moi di Kabupaten Sorong,  Papua Barat.

Masyarakat suku Moi mendiami Kabupaten Sorong dan Kota Sorong. Sorong merupakan salah satu daerah penghasil minyak bumi di Tanah Papua. Perusahaan minyak ini beroperasi sejak zaman Belanda di bahwa perusahaan Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) yang memulai aktivitas pengeboran minyak bumi tahun 1935.

Namun, kehidupan masyarakat Moi cukup memprihatinkan. Mereka telah menjadi saksi sejarah dari zaman Belanda, hingga Indonesia mengambil alih Papua melalui Pepera 1969.

Realitas masyarakat Moi kini diperhadapkan pada persoalan yang cukup serius. Perusahaan-perusahaan sawit datang dengan dalih mensejahterakan masyarakat. Namun faktanya lain. Mereka harus menelan pil pahit, sebab, mereka harus kehilangan ribuan hektare hutannya, yang sudah turun-temurun memberikan penghidupan.

Perusahaan Masuk di Tanah Adat Masyarakat Moi

ads

Pada tahun 2000-an, perusahaan sawit mulai masuk di tanah adat suku Moi dengan dalih mensejahterakan masyarakat. Pada kenyataannya justru tanah adat mereka dirusak. Parahnya, hak-hak masyarakat suku Moi diabaikan oleh perusahaan.

Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi, Silas Ongge Kalami  kepada suarapapua.com mneceritakan, sekitar tahun 2000 perusahan kelapa sawit mulai masuk dan beroperasi di beberapa wilayah, seperti distrik Klamono, Salawati, Seigun dan Klawak.

Silas menyebutkan, empat perusahaan kelapa sawit yang masuk dan beroperasi sejak saat itu adalah PT Papua Lestari Abadi di distrik Segun dengan luas lahan 15.631 ha, PT Cipta Papua Plantation di distrik Mariat dan Sayosa dengan luas lahan 15.671 ha, PT Sorong Agro Sawitindo di distrik Segun, Klawak, dan Klamono dengan luas lahan 40.000 ha, serta PT Inti Kebun Lestari di distrik Salawati, Klamono, dan Segun dengan luas lahan 34.400 ha.

“Empat perusahaan ini masuk pada awal tahun 2000-an dengan ijin yang tidak jelas di wilayah adat suku Moi. Dari sejumlah pertemuan yang digelar, hanya diberikan janji-janji kosong. Belakangan kami tahu bahwa janji-janji itu tidak pernah dipenuhi perusahaan untuk masyarakat suku Moi,” ungkap Silas Ongge Kalami kepada suarapapua.com (8/1/2022) di kediamannya.

Kalami mengungkapkan, di sejumlah wilayah, masyarakat adat tidak pernah menandatangani dokumen apapun terkait pelepasan lahan bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut. Akan tetapi, perusahaan mengklaim bahwa mereka mempunyai dokumen pelepasan tanah adat.

Menurut Kalami, ada kejanggalan besar yang terjadi sejak awal. Masyarakat tidak pernah tanda tangan surat pelepasan, tetapi perusahaan tetap masuk dan beroperasi.

Dia bilang, proses ini jelas tidak demokratis. Kini hutan adat masyarakat Moi hancur karena perusahaan sawit. Dia menyebutkan, ada perubahan yang dilakukan di Sorong saat ini. Ada Perda 10/2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Moi.  Aturan lokal ini mengakomodasi prinsip-prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan.

Baca Juga:  KPU Tambrauw Didemo, Ini Tuntutan Forum Peduli Demokrasi

“Pemerintah daerah, perusahaan atau investor yang membutuhkan tanah, harus memberikan penjelasan kepada masyarakat adat, mereka mau atau tidak menerima sebuah program pembangunan. Masyarakat adat berhak menolak, menerima atau mengusulkan bentuk pembangunan yang lain,” jelas Silas.

Tokoh Adat Suku Moi, Manase Fadan menjelaskan, sejak 1935 perusahan minyak mulai dijalankan di bawah perusahaan  Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NGPPM) di Sorong.

Menurut Manase, beroperasinya perusahaan minyak ini juga mengabaikan hak-hak masyarakat Moi. Sejak saat itu kehidupan  masyarakat adat suku Moi dengan hutan adat mereka di daerah Klamono mulai terabaikan. Janji-janji yang disampaikan kepada masyarakat tidak pernah direalisasikan. Demikian pula saat Indonesia mengambil alih Papua. Kedua pemerintahan ini sama-sama mengabaikan hak-hak masyarakat adat Moi.

“Dulu perusahan berjanji akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di Klamono. Nyatanya, janji itu tidak pernah ditepati.”

Susah Mendapat Air Bersih

Dia mencontohkan, misalnya dalam hal air bersih karyawan pertamina dapat menggunakan air bersih, sedangkan masyarakat Moi tidak mendapatkan air bersih.

“Kami masyarakat menggunakan air kali (sungai) untuk masak dan minum hingga saat ini. Air bersih hanya untuk karyawan pertamina. Padahal air kami yang punya,” kata Manase kepada Suara Papua di Kampung Klawana, Distrik Klamono, Kabupaten Sorong.

Manase mengakui masyarakat di Klamono sangat bersyukur karena meskipun menggunakan air sungai sejak dahulu untuk kebutuhan mereka sehari-hari, tidak ada yang menderita penyakit berbahaya.

“Kami sangat bersyukur  dari  dulu kalau sakit paling hanya malaria, demam  biasa, untuk penyakit lainnya tidak ada,” jelasnya.

Sungai klamono. Airnya sering digunakan untuk kebutuhan rumah tangga oleh warga. (Reiner Brabar – SP)

Sungai Klasafet atau dikenal dengan nama sungai Klamono sering digunakan untuk kebutuhan sehari-hari oleh masyarakat. Kalau untuk minum harus disaring terlebih dahulu karena keruh.

“Ini di Klamono. Kita belum melihat distrik atau kampung-kampung lain. Untuk dapat air bersih, pasti ada wilayah yang lebih sengsara lagi,” katanya.

Dia menceritakan, kalau hujan masyarakat bisa menampung air hujan, tetapi kalau punya uang bisa beli mesin (mesin pompa air/Sanyo) dengan harga sekitar Rp 300 ribu sampai Rp 750 ribu untuk menyedot air dari sungai. Kalau tidak bisa membeli mesin, masyarakat menggunakan ember untuk mengangkut air kali untuk ditampung dalam drum atau loyang-loyang kemudian disaring dengan cara manual agar bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Jarak sungai hanya sekitar 15 – 25 meter dari perumahan masyarakat.

Suara Papua juga bertemu dengan Oktovianus Kolin, Kepala Distrik Klamono. Kolin berbicara secara spesifik tentang air bersih untuk masyarakat. Menurut dia air bersih merupakan kebutuhan utama masyarakat. Di Klamono sumber air berlimpah tetapi masyarakat sulit mendapatkan air bersih.

Baca Juga:  Velix Vernando Wanggai Pimpin Asosiasi Kepala Daerah se-Tanah Papua

“Masyarakat selama ini hanya andalkan air hujan.Tahun ini masyarakat sudah harus menikmati air bersih.Selama ini hanya lewat di program pamsimas tetapi saya rasa itu hanya program jangka pendek.Sebagai anak yang lahir di Klamono saya tegaskan kepada pihak Pertamina agar secepatnya membangun air bersih di klamono,” tegas Kolin, Kepala Distrik Klamono, (11/1/2022).

Penebangan Hutan

Koordinator Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Moi Sigin, Esau Klagilit kepada Suara Papua menjelaskan bahwa sebagian hutan mulai ditebang dengan skala besar, untuk pemukiman warga transmigrasi. Berikutnya perusahaan kayu ilegal logging masuk dan menjual kayu merbau karena hutan di wilayah suku Moi menghasilkan kayu merbau. Kayu dari hutan mereka diambil dan dibawa ke luar.

Masyarakat yang punya hutan dibayar murah. Namun ia tidak mendetailkan seberapa besar yang dibayar kepada masyarakat.

“Coba lihat itu lahan di sepanjang jalan ketika masuk hingga kedalam, tidak ada lagi pohon atau hutan seperti yang kamu lihat. Kayu Merbau habis, Illegal Logging marak.Sangat sulit menjumpai pohon-pohon yang besar.Yang ada semak belukar dan gersang,” ujarnya menjelaskan kondisi hutan di wilayah tersebut.

Pada tahun 2006, disampaikan kepada masyarakat bahwa akan membuka lahan kelapa sawit sebagai solusi bagi warga untuk bisa mendapatkan kehidupan yang layak. Setelah ada informasi itu, terjadi perluasan dengan penebangan hutan yang semakin marak pada tahun 2008. Sebanyak 12 warga yang mendiami wilayah itu mengizinkan untuk membuka lahan untuk tanam kelapa sawit. Di tahun-tahun berikutnya, diikuti oleh marga lainnya, karena tergiur dengan harapan yang dijanjikan dari hasil sawit dan semacamnya.

“Awalnya sosialisasi pertemuan dilakukan oleh 4 marga, kemudian 12 marga dan seterusnya demikian diikuti oleh marga-marga lainnya. Akhirnya dengan janji manis yang diberikan perusahaan sebagian besar lahan milik warga dari 12 marga itu ditebang untuk membuka perkebunan kelapa sawit,” ungkap Esau.

Pengambilan lahan adat tersebut dilakukan dengan upacara adat dan pembayaran, pembangunan rumah sebagai perjanjian yang belakangan membawa petaka bagi kehidupan warga  itu sendiri.

“Saat itu 1 hektar lahan digantikan rumah 4×5 meter semi permanen dengan bangunan ala kadarnya (tanpa cor yang kuat). Kenyataannya, realisasi semua janji perusahaan itu  tidak lagi sesuai dengan perjanjian itu sendiri,” ungkapnya.

Esau membeberkan, saat ini masyarakat merasakan dampak dengan penuh penyesalan. Warga tidak bisa mengadu dan mengekspresikan penderitaannya kepada pihak manapun apa lagi kepada perusahaan.

Yang miris menurut Esau adalah masyarakat pemilik tanah adat menjadi buruh di kebun kelapa sawit. Dua tahun terakhir sebanyak 500 buruh di-PHK. Hingga kini masih menyisakan persoalan yang belum tuntas antar perusahaan dengan 500 karyawan yang di-PHK itu.

Baca Juga:  Lalui Berbagai Masalah, KPU Kota Sorong Sukses Plenokan di Tingkat Provinsi

“PT Inti Kebun Sejahtera belum membayarkan  hak mereka. Mereka terus menuntut hak mereka tetapi perusahaan belum menjawab tuntutan mereka. Mirisnya lebih banyak yang di-PHK adalah masyarakat pemilik tanah adat itu sendiri, ” imbuh Esau.

Esau sebagai penerus generasi dan sebagai warga adat dengan kapasitasnya sebagai Koordinator Barisan Pemuda Adat Nusantara saat ini sedang menempuh jalur hukum untuk memperjuangkan hak mereka.

“Kini kami sedang pengumpulan data untuk menuntut PT IKS di PTUN,” ungkapnya.

Dia membeberkan, berdasarkan advokasi yang mereka lakukan pihak perusahan lebih banyak mendatangkan tenaga kerja dari luar tanah Papua seperti dari Jawa,NTT dan beberapa wilayah lainnya di luar tanah Papua.

“Orang Moi di sini hanya jadi buruh kasar.Kebanyakan karyawan kelapa sawit itu orang luar semua,” ungkapnya.

Menurut Feki Mobalen, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya, sampai saat ini masyarakat adat suku Moi menjadi korban di kawasan hutan adat. Meski menjadi korban, dia bilang perlindungan terhadap masyarakat adat terdapat dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM khususnya Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2).

“Kami mencatat bahwa masyarakat Moi menjadi korban dari perusahaan.Tetapi perusahaan sawit tidak pernah patuh terhadap undang-undang sehingga hak-hak dan perlindungan kepada masyarakat tidak pernah dilaksanakan,” katanya.

Feki Wilson Mobalen, Ketua AMAN Sorong Raya. (Reiner Brabar – Suara Papua)

Kendati telah diakui oleh negara, masyarakat adat suku Moi di Sorong   masih menjadi korban di kawasan hutan adat.Kawasan-kawasan ini adalah wilayah yang memiliki alas hukum yang kokoh dikuasai turun-temurun sebelum adanya negara hingga kelahiran negara.

“Namunpengakuan atas hak masyarakat Adat hanya selesai secara teori hukum.Implementasinya di lapangan lain cerita. Industri alih-alih membuat komunitas adat dan marga sejahtera, malah jadi sengsara di wilayah Adat mereka sendiri,” tegas Feki.

Terpisah Frangky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka mengatakan, ada dua jenis konflik tanah adat di Papua, termasuk dialami masyarakat adat Moi.Pertama, konflik saling klaim dan rebutan penguasaan pemilikan atas tanah antara masyarakat adat, dengan kepentingan pribadi dan kelompok.Kedua, konflik struktural, pemerintah menerbitkan izin-izin usaha pada tanah dan hutan adat, dengan motif ekonomi, pengembangan proyek-proyek usaha skala luas.

“Saling klaim menyebabkan masyarakat sendiri menjadi korban. Keterlibat Pusaka dalam upaya advokasi bersama masyarakat adat Moi dari beberapa wilayah distrik yang sedang bersengketa dengan perusahaan yang sedang dan telah mengambil tanah dan hutan adatnya; strategi dan aksi pusaka melalui tiga jalur, memperkuat dan dan mendampingi masyarakat adat, mengupayakan adanya pengakuan negara terhadap hak masyarakat, membuat perusahaan menerima dan patuh pada peraturan dan standar terbaik untuk melindungi masyarakat dan lingkungan,” kata Frangky.

Pewarta : Reiner Brabar

Editor: Arnold Belau

 

Artikel sebelumnyaKetua KPU RI Tinjau PSU Yalimo
Artikel berikutnya1925 Personel TNI dan Polri Diterjunkan ke Papua untuk Operasi Damai Cartenz