Pemekaran Sebagai Siasat Pemerintah Indonesia Demi Suksesi Migrasi Pendudukan Tanah dan Manusia Papua

Berpotret pada 5 Kabupaten/Kota (Kota Jayapura, Keerom, Timika, Merauke dan Kota Sorong) di Tanah Papua Yang telah di Duduki Indonesia

0
2203

Oleh: Markus Haluk)*
)* Penulis adalah Direktur ULMWP dalam negeri

Pengantar

Saya perlu menegaskan lebih dahulu pada awal kata pengantar bahwa tema materi ini lahir dari seluruh refleksi yang betumpah pada pengalaman, pengamatan dan studi penulis pada kurun waktu 20 tahun ini. Karena itu apa yang tertulis di sini dapat dipertanggungjawabkan secara fakta dan data.

Migrasi penduduk dari luar Papua terus membanjiri Papua. Pada masa lalu transmigrasi dari luar yang masuk di tanah Papua telah menjadi salah satu cara politik pendudukan Indonesia di tanah Papua. Setelah program transmigrasi dicabut pada tahun 2000, Pemekaran Kabupaten Kota dan Provinsi menjadi senjata ampuh untuk menyukseskan misi pendudukan di tanah Papua. Setelah Pemekaran angka migrasi penduduk non Papua masuk di Papua sangat tinggi.

Melihat pesatnya migrasi Indonesia masuk di tanah Papua khusunya pada beberapa waktu belakangan ini maka sebutan yang tepat untuk itu bukan migrasi tetapi barangkali bisa dikategorikan sebagai pengungsian atau eksodus Indonesia (sipil dan TNI/Polri) masuk menduduki Papua.

ads

Pada kurun waktu 10 tahun ini, setiap tahun diperkirakan lebih dari 100.000-120.000 penduduk Indonesia eksodus masuk di Tanah Papua.

Dalam kurun waktu 10 tahun (2010-2020) hampir 1.4 juta jiwa penduduk Indoneia eksodus masuk di provinsi Papua. Jumlah tadi tidak termasiuk jumlah eksodus dari Indonesia yang masuk di Provinsi Papua Barat dalam kurun waktu yang sama.

Jumlah pengungsi Indonesia yang masuk di tanah Papua tadi hampir menyamai angka pengungsian warga Surya yang masuk di Wilayah Eropa khususnya di Negara Jerman pada kurun waktu 2011-2012.

Melihat besarnya pengungsian dari Indonesia yang masuk di Tanah Papua, pertanyaannya yang muncul dibenak kami ialah apakah di Indonesia sedang terjadi konflik dan tragedi kemanusiaan sehingga mereka telah memilih masuk mengungsi di Tanah Papua?

Pesatnya migrasi masuk warga Indonesia di tanah Papua dirilis oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. Pada Januari 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) Papua merilis data jumlah penduduk Bumi Cenderawasih sebanyak 4,30 juta jiwa. Jumlah tersebut didapatkan dari hasil Sensus Penduduk pada bulan September 2020.

Kepala BPS Papua Adriana Helena Carolina menjelaskan dalam jangka waktu sepuluh tahun sejak 2010, jumlah penduduk Papua mengalami penambahan sekitar 1, 47 juta jiwa.
Sementara dalam kurun waktu yang sama pula, laju pertumbuhan penduduk Papua sebesar 4, 13 persen per tahun.

Katanya, “Memang terlihat seperti ada perlambatan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1, 26 persen poin jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk periode 2000-2010 yang sebesar 5, 39 persen.“

Meski demikian, laju pertumbuhan penduduk Papua periode ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang sebesar 1, 25 persen,” kata Adriana di Jayapura, Rabu.

Sementara dari 4, 3 juta penduduk Papua, sebesar 92, 83 persen atau sekitar 3, 99 juta penduduk berdomisili sesuai KK/KTP. Sementara itu, sisanya sebesar 7, 17 persen atau sekitar 308 ribu penduduk lainnya berdomisili tidak sesuai KK/KTP. Jumlah ini merupakan indikasi bahwa penduduk yang bermigrasi dari wilayah tempat tinggal sebelumnya dan sekarang sudah tidak tinggal pada alamat yang tertera di KK/KTP lagi cukup banyak.

Pada materi ini saya coba menjelaskan gambaran umum migrasi di tanah Papua dari waktu ke waktu sebelum dan setelah pemekaran Kabupaten/kota dan Provinsi di West Papua (Prov, Papua dan Papua Barat). Kiranya materi ini dapat membantu semua pihak khususnya orang-orang yang waras, berhati humanis, empati terhadap situasi Papua.

I. Pengertian Umum Seputar Tema Migrasi

Saya perlu menjelaskan beberapa pengertian umum dari kata Migrasi dan Etnititas. Penjelasan ini semata-mata demi mempermudah pemahaman dalam ulasan dari seluruh materi. Dalam konteks Papua migrasi terpaut erat dengan transmigrasi. Karena itu akan dijelaskan juga pengertian transmigrasi.

Migrasi dapat diartikan perpidahan manusia dari satu tempat ke tempat lain secara personal maupun dalam berkelompok. Migrasi juga dapat diartikan perpindahan penduduk dari satu tempat (Negara) ke tempat (Negara) lain untuk menetap.
Migrasi juga terjadi pada hewan tertentu karena pergantian musim.

Istilah yang hampir sama dalam konteks Papua adalah Transmigrasi .
Transmigrasi dapat diartikan perpindahan penduduk dari daerah (pulau) yang padat penduduk ke daerah (pulau) penduduk yang jarang.

Bertolak dari pengertian demikian, di tanah Papua bukan hanya migrasi penduduk tetapi juga transmigrasi. Kedua hal ini terjadi karena diprogramkan oleh Pemerintah Indonesia maupun secara spontanitas sebagaimana kami ulas pada bagian kedua dan ketiga dari materi ini.

Pengertian Pendudukan diartikan sebagai suatu proses, cara, perbuatan menduduki (dengan maksud merebut dan menguasai) satu daerah baru. Jadi dalam konteks Papua, menduduki Papua berarti merebut dan menguasai Papua oleh Indonesia. Pemekaran menjadi salah satu metode yang dipakai sejak lama oleh colonial Indonsia untuk menduduki dan menguasai tanah Papua.

II. Sejarah Adanya Etnis Orang Papua dan Migrasi Penduduk Di Tanah Papua Dari Waktu Ke Waktu

1. Bagaimana Proses Kami Manusia dan Tanah Papua ada?

Adanya orang Papua seperti saat ini telah memakan waktu ribuan hingga jutaan tahun. Secara Geologi dan ditinjau dari ilmu pengetahuan, dari perkembangan proses terbentuknya dunia, Pulau Tanah Papua sebagaimana tampak sekarang, diungkapkan, bahwa “Bumi Terra Australia yang bertengger di atas Kerak Sahul (Sahul Shelf) terpisah menjadi Australia dan Papua (New Guinea) dengan Tasmania dan Aru semenjak zaman es terakhir.

Pulau Papua terbentuk dari tumpukkan endapan (sedimentation) batuan bumi. Endapan itu terjadi antara lain karena pertemuan atau tabrakan antara lempeng benua Terra Australia (Sahul Shelf), Lempeng Asia (Sunda Shelf) dan Lempeng Pacific (Pacific Shelf). Garis bio-geografis Wallacea dan lebih khusus lagi garis biogeografis Lijdekker merupakan markah akan keberadaan Papua bersama Aru dan Australia bersama Tasmania berbeda dari bagian barat laut Arafura dari selatan, tengah hingga ke utara Philipina.

Proses geologi ini diperkirakan terjadi pada 60 + 140-63 juta tahun silam, dapat dibuktikan dengan penemuan kerang laut, pasir laut dan danau air asing di lembah Balim (Wamena) yang tingginya 4.884 meter di atas permukaan laut.

Topografi wilayah yang berlembah, bergunung-gunung, sungai-sungai besar dan kecil, pulau-pulau besar dan kecil, rawa payau dan hutan lebat serta savanna telah menciptakan barikade dan isolasi yang kemudian timbul dalam keragaman budaya dan pola hidup.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Menurut teori Tryhibrida yang dikembangkan oleh J. Birdsell (1977), bahwa orang Papua merupakan percampuran antara tiga sub ras, yaitu sub ras negroit, sub ras carpentarian dan sub ras ausronesia. Menurut J, Golson, Tanah Papua dijadikan tempat tinggal kurang lebih 45.000 – 60.000 tahun yang lalu.

Sejarah asal usul penduduk orang Papua dan Melanesia sebagaimana di rumuskan oleh Manzoben bahwa sejarah asal usul orang Papua dan Melanesia pembauran dari tiga kelompok migran: 1). Oseanik Negritos, 2). Murrayian dan Carpentarians, 3). Austronesian.
Pengungkapan melalui bahasa saja konon mencapai sejumlah lebih 1000-an bahasa yaitu 850 an di Papua New Guinea dan 262-an di Papua.

Berdasarkan pola kemasyarakat, pola budaya dan aspek kebahasaan menjadi 11 devisi budaya. Kesebelas wilayah budaya (culture area) itu adalah wilayah budaya Tabi (1983 disebut Dafonsoro atau lebih dikenal juga dengan Pantai Utara), wilayah budaya Saireri (tahun 1983 disebut Dafansoro dan sering juga dikenal dengan Geelvink Bay), wilayah budaya Doberai-Bomberai, wilayah budaya Ha-Anim (1983 disebut Pantai Selatan), wilayah budaya Lani-Me Paqoo (1983 Pegunungan Tengah), serta wilayah budaya Sepik, wilayah budaya Huon, wilayah budaya Orokolo. Adanya data baru ditambah lagi, wilayah budaya Chimbu, wilayah budaya Mendu dan wilayah budaya Kepulauan Melanesia.

Dengan menerima kenyataan tentang sub-wilayah budaya yang berkembang otonom, Sidang Dewan Adat (DAP) ke-1 tahun 2003, menerima ada 7 wilayah budaya di Papua Barat yaitu wilayah budaya Tabi (wilayah Mambramo-Tami), wilayah budaya Saireri (wilayah Teluk Cenderawasih), wilayah budaya Doberai (wilayah Kepala Burung), wilayah budaya Bomberai wilayah Fakfak-Kaimana), wilayah budaya Ha-Anim (Pantai Selatan), wilayah budaya Lani Paqo (Pegunungan Tengah Timur) dan wilayah budaya Mee Paqo (Pegunungan Tengah Barat).

2. Kontak dengan orang Asing

Para sejarahwan telah mengindentifikan kontak pertama orang di luar dari Papua telah terjadi pada 1300 tahun lalu atau tepatnya pada tahun 727 melalui Kerajaan Sriwijaya dengan diberikan nama Seng-K’I, (pemberian hadiah kepada raja Tionghoa berupa seorang gadis berwarna kulit hitam).

Kemudian pada 912 oleh Marsudi (Pelaut Arab) berikan nama Sanji, pada abad ke-13 oleh Chau Yu Kua (orang Cina) berikan nama Tung-Ki. Setelah itu pada beberapa ratus tahun kemudian kendatipun hubungan pasang surut namun terjadi kontak komunikasi dengan bangsa-bangsa Eropa (Spanyol, Portugal, Belanda, Jepang dan Indonesia untuk di Papua Bagian Barat dan dengan Jerman, Inggris, Jepang dan Australia di Papua Bagian Timur).

Untuk wilayah Papua bagian Barat pada 5 Februari 1855 dua misionaris utusan Zending Jerman, Otto dan Geisler datang berkunjung dan menetap di tanah Papua (Pulau Mansinam). Sejak kedatangan kedua misionaris tadi mulai memikirkan misi penginjilan di tanah Papua dengan mendatangkan tenaga dari Indonesia (Maluku, Sulawesi, Jawa) dan orang Eropa. Pada 1896, Pastor L, Darman Ville berkunjung di wilayah kepala burung di daerah Fak-fak.

Pada 1912-1927, kedua misi Gereja Kristen Protestan maupun Misi Katolik membagi Papua menjadi dua, mulai dari Kaimana sampai wilayah pegunungan tengah hingga Waris diserahkan kepada Misi Katolik dan wilayah kepala burung hingga pegunungan bagian barta sampai pantai utara diserahkan kepada Gereja Zending Protestan (KGI).
Pada kurun waktu yang sama, Tahun 1875 Pemerintah Belanda secara resmi Mencatat Nieuw guinea (Papua Barat) sebagai jajahan dengan titik batas Utara 14.47 BT dan Batas Selatan 141 BT.

Sejak klaim Pemerintah Belanda pada masa ini oriensi pemerintah Belanda fokus pada misi perdangan dan ekonomi. Pemerintah Belanda secara marathon membuka Pos pemerintahan di beberapa kota di Tanah Papua, Merauke 1903, Fak-Fak 1895, Manokwari 1905, Jayapura 1903 dan Biak 1905.

Pada kurun waktu 1875-1944 kegiatan pemerintahan Belanda dibidang pemerintahan dan pendidikan sangat lemah dan bahkan hampir tidak kelihatan. Kegiatan pendidikan formal maupun non formal dilakukan oleh para misionaris (Katolik dan K. Protestan). Kegiatan Belanda lebih banyak pada ekspedisi-ekspedisi di daerah pedalaman (140 kali).

Motifasi Pemerintah Belanda mengusai Belanda ada alasan: a). Kemungkinan tempat pemukiman untuk orang-orang Indo-Belanda, b). Membendung Ekspansi Komunisme dari Rusia dan c). Penentuan Nasib sendiri bagi rakyat Papua. Dalam pelaksanaannya, tujuan pertama, mengalami kegagalan melalui konferenasi Denpasar 1946, sedangkan tujuan kedua perjuangan oleh PBB dan Indonesia melalui pelaksanaan Perjanjian New York dan tujuan ketiga digagalkan oleh Indonesia dan AS melalui PBB.

Selama Pemerintah Belanda berkuasa, sampai dengan pada 1962 jumlah migran dari luar Papua (orang Eropa dan Asia/Indonesia) sekitar 5.300 orang dari jumlah total penduduk 875.000 orang Papua.

3. Migrasi dan Pendudukan Indonesia di Tanah Papua

Migrasi dari Indonesia semakin meningkat di tanah Papua sejak 1963, pada saat Pemerintah Indonesia mengambil alih Papua Barat secara atministrasi. Menurut hasil penelitian Dr. Jim Emslie, migrasi penduduk dari luar Papua pada 1971 berjumlah 36.000 sedangkan Papua 887.000 jiwa dari jumlah total 923.000 jiwa Pada tahun 1990 non Papua 414.210 jiwa dan Papua berjumlah 1.215.897.00 dengan jumlah total, 1.630. 1.630.107.00 jiwa.

Pada 2005 jumlah penduduk non Papua, 1.087.694.00 dan Papua, 1.558. 795.00 jumlah total 2.646. 489.00. Pada 2011, jumlah non Papua, 1.980.000.00 dan Papua 1.700.000,00 jumlah total, 3.680.000.00 jiwa dan pada tahun 2020, jumlah migran atau non Papua, 4.743.600.00 dan Papua, 1.958.400.00 jiwa.

Dampak migrasi masuk dar luar Papua ke tanah Papua dan pembangunan Papua berdampak pada marjinalisasi dan diskriminasi orang Papua. Di beberapa Kabupaten kota di tanah Papua orang asli Papua menjadi minoritas sedangkan warga migran menjadi mayoritas. Disamping itu, orang Papua menjadi minoritas juga akibat terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam konteks subtema materi ini maka saya memilih 5 kabupaten/Kota di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) berikut ini, Kota Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Merauke, Kabupaten Timika dan Kota Sorong sebagai indikator dampak migrasi, pembangunan dan serta terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia khususnya hak hidup dan hak atas tanah.

III. Dampak Migrasi Penduduk Pada Masalah Tanah dan HAM Di Lima Kabupaten/Kota Di Tanah Papua

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

1. Kota Jayapura

Pada 1910, Pemerintah Belanda untuk pertama kalinya membuka pos pemerintahan di dekat kali Imbi Kota Jayapura. Sejak dibukanya pos pemerintahan telah terjadinya migrasi warga Eropa dan Asia (Indonesia) masuk di Kota Jayapura.

Migrasi semakin meningkat ketika Pos Penginjilan dan Sending di buka di Kota ini. Migrasi dalam rangka penginjilan warga dari beberapa wilayah basis Kristen dari Indonesia seperti Toraja, Manado, Sanger, Batak, Jawa Tengah, Maluku dan Nusa Tenggara Timur membantu para Pendeta dan Pastor di Kota ini.

Sesuai dengan kesepakatan pembagian wilayah Papua diantara para penginjil, Sending Protestan (GKI) dan Misi Katolik, sampai dengan 1927 Gereja Katolik dilarang membangun pos di Kota Jayapura. Para misionaris Katolik diarahkan untuk membuka Pos penginjilan di wilayah pedalaman, Waris dan Arso (Keerom).

Memasuki 1930, Gereja Katolik mulai membuka pos penginjilan (Gereja) di Kota Jayapura.
Pada 1950 Pemerintah Belanda membuka Masjid pertama di Kota Jayapura tepatnya di ujung Jalan Percetakan. Masjid ini dibangun oleh pemerintah Belanda bagi warga migran dari Indonesia (Jawa dan Sulawesi).

Pada 1930 warga trans dari Jawa tiba di Jayapura dan ditempatkan di Sabron, yang kemudian dikenal dengan lokasi Kerto Sari.

Pada 1962, Warga Migran Indonesia dan Belanda di Kota Jayapura sekitar 2.200 orang. Pemerintah Belanda mulai 1949-1961 mulai menggalang pembangunan dalam rangka mempersiapkan Papua Merdeka. Dalam kurun waktu tersebut pemerintah Belanda menggalang bidang pembangunan, pelatihan kerja bagi orang Papua.

Pada 1961-1971 pemerintah Belanda berencana menyiapkan orang Papua dalam bidang Politik dan pemerintahan. Pada 1971, pemerintah Belanda menyerahkan sepenuhnya kedaulatan kepada orang Papua untuk menentukan nasib mereka sendiri. Namun rencana pemerintah belanda digagalkan oleh pemerintah Indonesia dengan bantuan pemerintah Amerika Serikakat melalui PBB.

Migrasi penduduk di Kota Jayapura dan Papua semakin meningkat pasca Mei 1963. Kota Jayapura sebagai ibu Kota Provinsi menjadi tujuan Migrasi penduduk dari Indonesia maupun migrasi lokal dari Papua. Sampai dengan memasuki akhir tahun 2021, akibat migrasi penduduk Kota Jayapura orang asli Port Numbay menjadi minoritas.
Berdasarkan data yang dimiliki Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Jayapura, saat ini jumlah penduduk Orang Asli Port Numbay hanya 2,84 persen, dari total penduduk di Kota Jayapura atau hanya ada 11.949 jiwa yang tersebar di 5 Distrik.

Diakui bahwa telah terjadi migrasi dan pembangunan selama 60 tahun ini tetapi tidak membawa dampak perubahan positif bagi penduduk setempat orang Port Numbay namun sebaliknya membawa dampak positif kepada warga migran non Papua dan non orang asli Port Numbay di tanah Port Numbay.

Kepemilikan tanah, 90% tanah yang ada di Port Numbay telah beralih tangan dan fungsi. Lebih dari 85 Persen tanah di kota Jayapura di duduki dan di’miliki’ oleh penduduk migran non Port Numbay.

Belakangan ini beberpa orang Port Numbay tinggal di rumah kontrakan/kos yang dibangun oleh orang non Port Numbay. Mereka juga semakin terisolasi dan tersingkir di pingiran kota. Beberapa dari mereka terkepung ditengah bangunan ruko-ruko, pasar dan bangunan lainnya.

Semakin Sulit ditemukan pemukiman asli orang Port Numbay. Hak kepemilikan tanah sudah beralih tangan dan fungsi. Bertolak dari dari situasi demikian, pertanyaan refleksi saya ialah bagaimana nasib orang Port Numbay pada Tahun 2121 atau pada 100 tahun yang akan datang? Migrasi dan Pembangunan berdampak positif bagi orang Port Numbay?

2.Kabupaten Keerom

Sejak 1939 Misionaris Katolik telah membuka pos Misi Gereja di Arso kemudian di daerah Waris. Selama tahun 1970-pertengahan tahun 1995, Wilayah Keerom telah lama menjadi daerah Operasi Militer. Akibatnya banyak warga Keerom menjadi korban. Sebagian warga korban memilih mengungsi di Negara Papua Niuw Guinea (PNG). Pada kurun waktu yang sama wilayah Keerom khususnya di Arso telah menjadi wilayah tujuan Trasmigrasi.

Setelah lama menjadi bagian dari Jayapura, pada 12 April 2003 melalui UU Nomor 22 tahun 2001 menjadi Kabupaten dengan 7 Distrik. Sebagaimana diungkapkan di atas, bahwa Kabupaten Keerom menjadi salah satu daerah sasaran program trasmigrasi pemerintah hingga penghentian program ini pada tahun 2000.

Gelombang pertama transmigrasi di wilayah ini pada tahun 1964 dengan 9 keluarga atau 22 jiwa. Gelombang transmigrasi besar-bersaran terjadi pada era 1970-1990-an beriringan dengan pengembangan perkebunan Kelapa Sawit. Hingga tahun 2000, total jumlah transmigrasi Kabupaten Jayapura (dimana Keerom menjadi bagiannya hingga 2003) adalah sebanyak 8.457 KK atau 34,980 jiwa.

Berdasarkan data BPS, penduduk Keerom Tahun 2010 berjumlah 48.536 jiwa. Dari jumlah tersebut jumlah penduduk Asli Papua (Keerom) sebanyak 19.628 jiwa atau 40.44% dan Non Papua sebanyak 28. 908 jiwa atau 59,56%.

Jumlah migrasi penduduk terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2020, jumlah penduduk Kabupaten Keerom, 64.136 jiwa. Kabupaten Keerom merupakan salah satu potred terjadinya marjinalisasi akibat Transmigrasi dan ‘pembangunan.’ Kabupaten Keerom juga menjadi salah satu wilayah yang sarat dengan pelanggaran HAM. Transmigrasi yang lama terjadi di Kabupaten Keerom berdampak orang Keerom menjadi minoritas di atas tanah mereka sendiri.

Sebagaimana terbaca di atas bahwa migrasi penduduk non Papua di Kabupaten Kerom mengakibatkan demografis penduduk orang Papua (Keerom) dari 100% menjadi 40,44% dalam empat dekade terakhir. Saat ini jumlah penduduk non Papua 59,66%.

3. Kabupaten Merauke

Kontak komunikasi pertama orang luar dengan orang Merauke (Malin-Anim, Muyu, Mandobo, Auyu, Mappi dan Asmat) terjadi pada 1902 dengan tibanya Pemerintah Belanda di wilayah itu. Tiga tahun kemudian pada 1905 Misionaris Gereja Katolik tiba di wilayah Merauke. Dalam perkembangan selanjutnya setelah 1963 pemerintah Indonesia menjadikan Merauke sebagai salah satu tujuan migrasi penduduk dari luar Papua.

Pada tahun 1964-1993 jumlah transmigrasi yang dikirim ke Merauke 13.482 Kepala Keluarga dengan jumlah orang 54.051 jiwa dengan prosentase 31.87%. Jumlah transmigrasi tersebut dikirim di 7 wilayah/lokasi. Dilihat dari populasi jumlah penduduk pada 1985-1995, 209.200 jiwa. Dilihat dari prosentasinya, pada 1995, jumlah orang asli Papua 70.9% dan non Papua 21.3%.

Populasi penduduk Kabupaten Merauke setelah Pemekaran kabupaten Mappi, Asmat dan Boven Digoel pada 2010 dari total 195.716 jiwa, jumlah Orang Papua sebanyak 72.826 jiwa atau 37,21% sedangkan non Papua sebanyak 122.890 jiwa atau 62,21%.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Dilihat dari data presentasi ini terlihat jelas bahwa orang Merauke dalam kurun waktu lebih dari 60 tahun ini menjadi minoritas. Dalam kurun waktu 11 tahun antara 2010-2021 jumlah populasi penduduk di Kabupaten Merauke sebanyak 230.932 jiwa atau penambahan penduduk 35.216 jiwa. Dalam satu dekade terakhir Papua mengalami kehancuran tanah dan hutan terbesar.

Kabupaten Merauke yang terbesar kehancuran alam dan perampasan tanah.
Khusus di Kabupaten Merauke, hutan seluas 112 ribu hektare rusak karena berbagai izin pembukaan lahan sawit, Hutan Tanam Industry (HTI), dan proyek lumbung pangan.

4. Kabupaten Timika

Kabupaten Timika sebelum tahun 1996 merupakan salah satu wilayah Administrasi dari Kabupaten Fak-Fak. Dengan berbagai pertimbangan, khususnya demi mempermudah eksploitasi Sumber Daya Alam (PT. Freeport Indonesia), maka Pada tanggal 8 Oktober 1996 Pemerintah Indonesia mengumumkan Mimika sebagai wilayah administrative Kabupaten.

Kabupaten Mimika saat ini menjadi pusat perekonomian dan industri di Provinsi Papua. Dengan luas wilayah 19.592 km2, kabupaten Mimika mempunyai jumlah penduduk 304.000 jiwa dengan tingkat pertumbuhan per tahun mencapai 3,75%. Sebagian besar penduduk Kabupaten Mimika terpusat di Distrik Mimika Baru.

Dari Waktu ke waktu migrasi penambahan Jumlah penduduk di Kabupaten Mimika terus meningkat.

Kabupaten Mimika merupakan salah satu migrasi terbesar di Papua. Pada 1973, jumlah penduduk orang Asli West Papua dari suku Amungme dan Kamoro di Mimika kurang dari 10.000 orang, pada 1995, 60.000 orang penduduk antara orang Asli Papua dan non Papua kemudian pada 2000 berjumlah 72.341 orang. Pada tahun 2010, jumlah orang Papua 75.068 atau 41.24% dan non Papua 106.933 jiwa atau 58,75% dengan jumlah total penduduk 182.001 jiwa.

Pada tahun 2013 jumlah penduduk Kabupaten Timika berjumlah 196.401 orang dan pada 2018 jumlah penduduk kabupaten Timika 304.000 Jiwa. Hal yang sulit dibayangkan secara akal sehat dimana, hanya dalam kurun waktu 5 tahun, jumlah penduduk di Kabupaten Timika bertambah 100.000 jiwa. Migrasi dari luar Papua terus digalakkan oleh Pemerintah Indonesia maupun oleh PT. Freeport dengan berbagai tawaran kerja dan bertujuan politik.

Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Mimika per tahun selama tiga tahun terakhir yakni dari tahun 2018 – 2021 sebesar 3,75% per tahun. Laju pertumbuhan penduduk Distrik Mimika Baru adalah yang tertinggi dibanding distrik lainnya di Kabupaten Mimika yakni mencapai 4 persen, sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah ada di Distrik Tembagapura sebesar 1,64 persen. Jumlah migrasi masuk yang begitu besar dan terus bertambah setiap tahun.

5. Kota Sorong

Kota Sorong termasuk salah satu kota pemerintahan tua di tanah Papua. Kota ini beriteraksi dengan migrasi penduduk dari luar sejak awal tahun 1903. Pada tahun 1935 pulau Dom oleh pemerintah Belanda menjadikan pusat pemerintahan. Pulau Dom menjadi salah satu pusat mobilisasi migrasi lewat udara maupun Laut. Sampai dengan tahun 2001, beberapa kabupaten di wilayah Kepala Burung Papua seperti Kabupaten Sorong, Sorong Selatan, Maibrat, Raja Ampat, Tambrauw dan Kabupaten Teluk Bintuni menjadi satu kesatuan dari Kota Sorong.

Sejak 1963 sampai dengan pada 2000, Sorong menjadi tujuan migrasi dan transmigrasi penduduk dari luar Papua. Pada 1964-1993, pemerintah pusat telah mengirimkan 7.551 KK atau 31.027 jiwa. Dilihat dari prosentasinya 18%.

Transmigrasi di Sorong menempati 3 lokasi. Jumlah penduduk pada tahun 1985 sebanyak 174.100 jiwa dan pada tahun 1995 berjumlah 224.250 jiwa. Selama 10 tahun dari tahun 1985-1995 bertambah 70.150 jiwa dengan orang asli Papua 79.7% dan non Papua 21,02%.

Setelah dilakukan pemekaran Kota dan Kabupaten, jumlah penduduk khusus di kota Sorong sampai 2017 berjumlah 307.229 jiwa. Dimasa mendatang dalam kurun waktu 10 hingga 15 tahun yang akan datang, jumlah penduduk Kota Sorong di Proyeksikan mencapai 500.000 jiwa. Dengan jumlah penduduk demikian Kota Sorong berptensi besar bergeser dari klasifikasi kota sedang menjadi salah satu kota besar dikawasan Indonesia Timur.

Dampak migrasi dan transmigrasi di Kota Sorong, orang Asli Sorong khususnya suku Moi semakin tersingkir dan terisolasi. Tanah mereka di Kota Sorong hampir semua diambil untuk pembangunan pemukiman rendah, sedang dan tinggi, perkantoran swasta dan pemerintah, Sekolah, Pasar, Jalan, Bandara, dan Kawasan Militer termasuk Pelabuhan Militer.

V. Penutup

Bertolak dari paparan materi ini dapat disimpulkan bahwa:

  1. Kontak pertama pada abad ke-8 (762) hingga sebelum abad 19 (1855) belum ada migrasi etnis luar Papua (Eropa, AS dan Asia khusunya Indonesia) yang masuk ke Papua. Dapat diakui bahwa sering terjadi sistem perdagangan dan kemudian di susul penangkapan paksa serta perbudakan dari orang Maluku di pulau Seram, juga oleh orang Maluku yang ada dibawah pengaruh kekuasaan Sultan Tidore dan Ternate pada orang Papua di wilayah Kepala Burung Papua (Fak-Fak, Kaimana, Raja Ampat dan Sorong). Namun belum terlihat dampak migrasi dalam jumlah besar.
  2. Migrasi dari luar masuk ke Papua mulai terjadi setelah 5 Februari 1855, masuknya Injil oleh Otto dan Geisler di Mansinam Manokwari Papua Barat. Klaim pemerintah Belanda pada 1875 atas tanah Papua (Papua Barat) hingga pada 1962 terjadi migrasi orang Eropa dan Indonesia di Tanah Papua. Namun secara kwantitatif jumlah orang Eropa pada masa itu tidak banyak dan signifikan.
  3. Jumlah migrasi penduduk Papua telah meningkat pasca pemerintah Indonesia mengambil tanggungjawab administrasi Papua (Irian Barat, Irian Jaya) dari tangan PBB pada Mei 1963. Hingga memasuki 58 Tahun ini (1963-2021), beberapa Kabupaten/Kota di Papua, Kota Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Merauke, Kabupaten Timika dan Kota Sorong orang Papua telah menjadi minoritas akibat migrasi penduduk luar Papua.
  4. Masalah Tanah, Pelanggaran HAM masih terjadi di tanah Papua akibat konflik sejarah politik yang belum terselesaikan secara menyeluruh dan konferhensip. Pada saat yang sama eksploitasi sumber daya alam kian menyata di hampir seluruh tanah Papua.
  5. Rencana pemekaran baru beberapa Provinsi di Tanah Papua oleh pemerintah Indonesia merupakan sebagai siasat untuk mempercepat pendudukan Indonesia di tanah Papua yang berakibat terjadinya Genosida, Etnosida dan Ekosida bagi Papua. Hanya orang tak waras yang mendukung rencana jahat pemerintah Kolonial ini. (*)
Artikel sebelumnyaPimpinan Gereja di Daerah Konflik: Kami Butuh Kedamaian, Bukan Pemekaran Provinsi
Artikel berikutnyaSteven Itlay, Aktivis KNPB Dilaporkan Telah Ditangkap Aparat di Sentani