Pimpinan Gereja di Daerah Konflik: Kami Butuh Kedamaian, Bukan Pemekaran Provinsi

0
1022

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pastor Yance Yogi, Pimpinan Gereja Katolik di Kabupaten Intan Jaya, salah satu daerah konflik bersenjata antara TNI/Polri dengan TPNPB OPM menegaskan pihak gereja dan umat di daerah konflik membutuhkan kedamaian, ketenangan, kenyamanan dan kebebasan untuk beraktifitas secara bebas, bukan provinsi dan kabupaten baru.

Yogi menyatakan, pihak gereja dan masyarakat di daerah konflik, secara khusus Kabupaten Intan Jaya membutuhkan kedamaian dan kenyamanan. Pernyataan ini disampaikan untuk menanggapi proses pemekaran provinsi baru di Papua yang sedang digodok DPR bersama pemerintah Pusat di Jakarta.

Pastor Yance menjelaskan, pihak gereja di Dekenat Moni Puncak, Intan jaya yang adalah daerah konflik memita agar pemekaran provinsi di tanah papua hentikana.

“Negara jangan  membodohi orang papua. karena papua hari ini membutuhkan kedamaian dan kenyamanan daerah papua, bukan pemekaran provinsi. Konflik bersenjata berkepanjangan di papua harus segera diselesaikan. Kedaimaian harus diciptakan, terutama di daerah-daerah konflik. konflik berkepanjangan ini membutuhkan kedamaian, kenyamanan dan ketenangan,” tegasnya kepada suarapapua.com, Kamis (3/2/2022) dari Intan Jaya, Papua.

Baca Juga:  Pleno Rekapitulasi Perolehan Suara Tingkat Kabupaten Deiyai Siap Digelar

Alasan penolakan pemekaran provinsi, secara khusus provinsi Papua tengah yang dilakukan masyarakat dan pihak gereja menurut dia adalah karena pemekaran akan tidak menjawab kerinduan masyarakat.

ads

“Pemekaran tidak bikin situasi aman. Pemekaran tidak akan ciptakan kedamaian. Tetapi akan mendatangkan kematian orang papua,” katanya.

Dikatakan, masyarakat dan gereja di Intan Jaya sudah menolak perpanjangan otsus tahun lalu. Tetapi nyatanya Otsus tetap dilanjutkan setelah Jakarta menggodok perubahan UU No. 21 tahun 2001 yang diberlakukan selama 20 tahun tanpa mendengar masukan dan aspirasi dari masyarakat.

“Tahu lalu kami meminta otonomi dikembalikan, tetapi tetap dilanjutkan. Lalu muncul pemekaran provinsi. Masih terus droping pasukan dan masih ada kematian dan konflik di tanah Papua,” katanya.

Selain itu, dalam pemerintah beralasan mengirim pasukan TNI/POLRI untuk menjaga kedamaian dan melindungi masyarakat.

“Ini untuk apa. Datang untuk membawa kedamaian atau justru tanah papua menjadi tanah konflik bersenjata. Kami yang ada di daerah konflik intan jaya, nduga, puncak papua, maybrat, pegunungan bintang dan yahukimo merasa tidak nyaman dengan kehadiran kedua belah pihak. Jadi pemeriantah jangan utamakan pemekaran, tetapi harus mencari jalan untuk menciptakan kedamaian,” katanya.

Baca Juga:  Pencaker Palang Kantor Gubernur Papua Barat Daya

Dr. Agus Sumule, Akademisi Fakultas Pertanian Univeritas Papua Manokwari menilai pemekaran empat provinsi baru yang sedang digarap Jakarta merupakan cara yang efektif untuk mendatangkan masyarakat non Papua ke Tanah Papua dalam skala besar dan bebas di seluruh Tanah Papua, baik di Provinsi Papua maupun provinsi Papua Barat.

Sumule berpandangan, jika rakyat Papua masih mempertanyakan kehadiran pemekaran, itu karena populasi orang asli Papua lebih sedikit dibanding pendudukn non Papua. Itu artinya orang Papua mau mengatakan sejujutnya bahwa pemekaran bukan untuk OAP, tetapi untuk orang non Papua.

“Kalau wacana pemekaran ditolak dan dipertanyakan oleh orang asli Papua, maka itu artinya orang Papua merasa pemekaran provinsi bukan untuk orang Papua. Itu jelas,” tegasnya kepada suarapapua.com, Selasa (2/2/2022) di Papua, Papua.

Dia menjelaskan,  jika setiap daerah belum mempunyai kebijakan untuk menanggulangi imigrasi masuk dari luar Papua, berarti dengan demikian pemekaran adalah cara paling efektif untuk membuka pintu besar dan leluas untuk orang non Papua masuk di tanah Papua.

Baca Juga:  Jelang Idul Fitri, Pertamina Monitor Kesiapan Layanan Avtur di Terminal Sentani

“Sepanjang setiap pemerintah daerah tidak membuat suatu kebijakan untuk menanggulangi transmigrasi masuk dari seluruh nusanatara. Hal tersebut menunjukan bahwa cara paling efektive untuk mendatangkan atau membuka pintu besar-besar untuk orang-orang seperti saya  (non Papua) untuk masuk bebas di Papua ya melalui pemekaran propinsi dan kabupaten di seluruh Papua.”

Menurut dia, dulu pemerintah pusat membuat kebijakan transmigrasi secara terbuka. Saat ini, ia menilai pemekaran merupakan salah satu cara untuk mengiri penduduk di luar ke Papua maupun ke daerah-daerah lain di Indonesia dari tempat yang penduduknya padat.

“Kalo dulu bahasanya melalui transmigrasi. Sekarang melalui pemekaran. Dari mana kita tahu kepentingan transmigrasi. Otsus 20 tahun kita bisa melihat dan mengetahui arus masuk masyarakat non Papua sangat tinggi di seluruh Papua. Jika pemekaran masih dipertanyakan oleh masyarakat Papua maka kehadiran pemekaran ialah mendatangkan transmigrasi skala besar di seluruh tanah Papua,” tegas Sumule.

Pewarta: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaEgianus Kogeya Lebarkan Sayap Gerilya ke Intan Jaya
Artikel berikutnyaPemekaran Sebagai Siasat Pemerintah Indonesia Demi Suksesi Migrasi Pendudukan Tanah dan Manusia Papua