Tanah PapuaMeepagoSelain Jurnalis Jubi, Anggota DPRD Dogiyai Juga Dilarang

Selain Jurnalis Jubi, Anggota DPRD Dogiyai Juga Dilarang

WAKEITEI, SUARAPAPUA.com — Bukan hanya wartawan saja, perlakuan nyaris sama menimpa Agustinus Tebai, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten Dogiyai yang dihadang aparat kepolisian untuk tidak masuk dalam ruang pertemuan pembahasan pembentukan daerah otonom baru (DOB) provinsi Papua Tengah, Senin (7/3/2022) siang di hotel Mahavira 2, Karang Mulia, Nabire.

Rapat dihadiri para bupati dan anggota DPRD se-Meepago bersama Ahmad Doli Kurnia Tandjung, ketua Komisi II DPR RI.

Agustinus Tebai mengaku sangat kecewa dengan tindakan petugas larang masuk ke ruang rapat meski telah mendapat undangan untuk menghadiri pertemuan tersebut.

“Pertemuan tatap muka para bupati Meepago ini difasilitasi oleh bupati Nabire. DPRD Dogiyai secara kelembagaan juga diundang. Surat undangan ditujukan ke DPRD Dogiyai. Undangan dikirim lewat WhatsApp, dan saya lanjutkan ke ketua DPRD Dogiyai,” jelasnya.

Surat yang ditandatangani Mesak Magai, bupati Nabire, perihal undangan pertemuan itu bernomor 005/595/SET. Surat diterbitkan di Nabire, 4 Maret 2022.

Agustinus Tebai, ketua Komisi A DPRD Dogiyai, menjelaskan, pada pagi hari telah berkoordinasi dengan pimpinannya untuk menyiapkan sejumlah surat terkait dengan agenda rapat yang dipastikan akan dihadiri ketua Komisi II DPR RI.

“Tadi jam delapan pagi ketua DPRD koordinasi dengan saya untuk segera siapkan aspirasi rakyat yang disampaikan pada saat aksi demonstrasi di Dogiyai. Saya print dan siapkan semuanya. Jam 12.22 siang, pak ketua DPRD Deiyai dan ketua DPRD Dogiyai informasikan ke saya bahwa rapat sudah mulai dan diminta bawa berkas,” jelas Agus.

Baca Juga:  Pembagian Selebaran Aksi di Sentani Dibubarkan

Dengan membawa seluruh berkas itu ia menuju ke tempat pertemuan.

“Begitu saya tiba di hotel Mahavira dua, di pintu masuk sudah dijaga ketat anggota polisi. Saya memperkenalkan diri sebagai anggota DPRD Dogiyai, ketua Komisi A. Saya tunjukan surat undangan untuk menghadiri rapat ini. Dan saya sampaikan bahwa berkas yang saya bawa ini untuk mau kasih ke pimpinan dewan karena disuruh bawa. Surat ini berkaitan dengan kegiatan ini. Tetapi polisi tidak bisa izinkan saya masuk.”

Agak lama tertahan di luar ruang pertemuan. Ketua Partai Perindo Dogiyai ini kembali bernegosiasi sembari menjelaskan lebih lanjut, tetapi polisi tetap tidak mau buka pintu.

“Setelah beberapa menit kemudian, saya minta bantuan sama ketua DPRD Dogiyai dan ketua DPRD Deiyai yang ada di ruang pertemuan. Ketua DPRD Dogiyai datang meminta petugas jaga pintu yang di dalam buka. Setelah buka, polisi yang di depan pintu di luar malah tidak izinkan masuk. Saya terobos saja. Sayangnya, setelah masuk ke ruang pertemuan, hanya beberapa menit kemudian kegiatan ditutup setelah menjawab pandangan dari ketua Komisi II DPR RI,” tuturnya.

Baca Juga:  Direpresif Aparat Kepolisian, Sejumlah Massa Aksi di Nabire Terluka

Penghadangan yang dialaminya terkesan menghalangi aktivitas pejabat publik. Karena itu, aparat kepolisian diminta tidak ulangi lagi.

“Saya sangat kecewa dengan tindakan menghadang pejabat publik. Ini cara yang tidak baik. Saya harap pihak kepolisian evaluasi bagaimana cara melayani tamu. Dalam pelayanan perlu bedakan antara pejabat publik dan masyarakat biasa,” ujar Agus.

Perlakuan nyaris sama dialami Abeth Abraham You, jurnalis Jubi, yang bermaksud hendak meliput rapat tersebut, justru dihadang petugas penjaga pintu masuk ruang pertemuan.

Aparat kepolisian beralasan, wartawan tak diizinkan masuk ke ruang pertemuan sesuai perintah bupati Nabire melalui kabag Humas Setda yang telah membatasi jurnalis.

“Tidak bisa masuk om, kami disuruh oleh panitia untuk batasi orang. Panitia sudah siapkan wartawan di dalam ruangan,” Abeth meniru ucapan salah satu anggota Polisi yang bertugas di pintu masuk.

Pembatasan akses bagi wartawan Jubi terjadi sesaat setelah tiba di depan tempat kegiatan sekira Pukul 13.30 WP.

Bagi Abeth, penyampaian larangan oleh aparat keamanan tidak salah karena sedang menjalankan amanat dari panitia pertemuan.

Berbagai upaya ia tempuh agar bisa mendapat akses untuk meliput. Tetapi tetap tidak berhasil.

Upayanya kandas lagi dengan pernyataan dari salah satu ASN bagian Humas Setda kabupaten Nabire. Oknum ASN itu diketahui berjenis kelamin perempuan.

Baca Juga:  Soal Pembentukan Koops Habema, Usman: Pemerintah Perlu Konsisten Pada Ucapan dan Pilihan Kebijakan

“Nanti Humas bagi rilis. Tunggu rilis sj,” katanya sembari masuk ke ruangan dan mengunci pintu pertemuan dari dalam.

Abeth mengaku sangat kecewa dengan penyampaian singkat dari oknum ASN tersebut.

“Ibu, saya bukan wartawan tipe penikmat press release. Saya wartawan yang selalu melakukan liputan langsung di TKP,” ujar Abeth balas pernyataan oknum ASN itu.

Terpisah, Engelbertus Primus Degei, kepala bagian Humas Setda kabupaten Nabire, yang baru dilantik oleh bupati Nabire, menyayangkan perlakuan kurang baik terhadap jurnalis Jubi.

Menurut Engel, setidaknya setiap wartawan dengan media jelas wajib dilayani dengan baik

“Seharusnya, kejadian yang menimpa wartawan Jubi, tidak perlu terjadi. Setiap wartawan yang mengenakan kartu pers wajib dilayani dengan baik,” tandasnya menanggapi.

Engel mengaku beberapa saat sempat hadir di ruang pertemuan. Tetapi pamit pulang ke rumah.

“Saya belum bertugas sebagai kepala bagian Humas Setda Nabire. Saya dilantik kemarin. Nanti hari Kamis baru saya akan masuk kantor untuk serah terima jabatan. Setelah itu mulai kerja,” jelas Degei.

Sejauh yang diketahuinya, bagian Humas Setda Nabire tidak bertindak sebagai panitia pertemuan tersebut.

Pewarta: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA di PBD Belum Diterapkan

0
“Kami bersama AMAN Sorong Raya akan melakukan upaya-upaya agar Perda PPMHA  yang telah diterbitkan oleh beberapa kabupaten ini dapat direvisi. Untuk itu, sangat penting semua pihak duduk bersama dan membicarakan agar Perda PPMHA bisa lebih terarah dan terfokus,” ujar Ayub Paa.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.