Hentikan Kriminalisasi Pembela HAM: Bebaskan Fatia & Haris!

0
783
adv
loading...

Pernyataan Sikap Bersama
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) 20 Maret 2022

Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) mengutuk keras kriminalisasi Pembela HAM yang terus menerus terjadi. Sedikitnya dalam 6 (enam) tahun terakhir, telah terjadi 1.587 kriminalisasi terhadap masyarakat yang menyuarakan suara kritis, mulai dari aktivis, petani, masyarakat adat, dan nelayan terkait agraria dan SDA. Belum termasuk korban intimidasi, kekerasan fisik dan hilangnya nyawa di wilayah-wilayah konflik agraria (Catatan Akhir Tahun KPA, 2021).

Kali ini, kriminalisasi terjadi pada Fatia Maulidiyanti (Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dan Haris Azhar (Ketua Dewan Pengawas Lokataru Foundation). Kriminalisasi yang dialami Fatia dan Haris selaku pembela Hak Asasi Manusia (HAM), menambah catatan buruk elit Pemerintah Indonesia saat ini.

Pada Jumat 18 Maret 2022, Fatia dan Haris ditetapkan sebagai Tersangka oleh Penyidik Polda Metro Jaya melalui Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka untuk masing-masing Nomor: B/4135/III/RES.2.5/2022/Ditreskrimsus dan Nomor:B/4136/III/RES.2.5/2022/Ditreskrimsus tertanggal 17 Maret 2022. Pemberitahuan disampaikan hari Jumat malam sekitar pukul 21.00 WIB berikut dengan panggilan untuk dimintai keterangan sebagai Tersangka pada Senin 21 Maret 2022.

Penetapan status tersangka pada Fatia dan Haris merupakan tindak lanjut dari pelaporan yang dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Hal ini dilakukan sebab keduanya dituduh telah melakukan pencemaran nama baik.

ads

Fatia dan Haris dilaporkan sebab unggahan video di Youtube pada 20 Agustus 2021, dengan judul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!”. Bincang-bincang di media sosial tersebut padahal berangkat dari hasil riset relasi ekonomi dalam operasi militer berjudul Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”. Kajian tersebut disusun dan diterbitkan bersama oleh organisasi masyarakat sipil, yakni WALHI, Yayasan PUSAKA Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, Kontras, JATAM, YLBHI, Greenpeace Indonesia, dan Trend Asia.

Baca Juga:  Stop Kriminalisasi dan Pengalihan Isu Pemerkosaan dan Pembakaran Rumah Warga!

Penyampaian hasil riset terkait bisnis tambang di Papua yang merupakan kepemilikan Luhut, berujung pada penetapan tersangka Fatia dan Haris (18/3). Hal ini menambah daftar panjang pejabat yang melaporkan aktivis karena opini atau pendapatnya di ruang publik. Hasil riset dan kritik organisasi masyarakat sipil terhadap pemerintah adalah salah satu bentuk kontrol dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah yang demokratis. Tidak seharusnya hukum diberikan kepada pengkritik. Sanksi denda maupun pidana dalam bagi pengkritik yang dituduh dengan pencemaran nama baik, seharusnya diganti dengan hak untuk mengkoreksi atau hak menjawab.

Bukannya membuka data sesungguhnya, menjawab hasil riset organisasi masyarakat sipil atau tergerak untuk menyelesaikan konflik agraria dan konflik sosial di Papua, sebaliknya Luhut selaku pejabat publik menekan kebebasan berpendapat dan menggunakan langkah hukum untuk “menyerang” pendapat Fatia dan Haris yang berdasarkan riset. Keberadaan pembela HAM yang seharusnya mendapat jaminan perlindungan atas kerja-kerjanya yang penuh risiko, justru mendapatkan serangan dari pejabat publik.

Pemerintah melalui kasus Fatia dan Haris, tidak hanya memperlihatkan wajah asli pemerintahan yang anti-kritik namun juga represif. Pada waktu bersamaan pemerintah kini terbiasa menunjukkan kegemarannya merampas tanah-tanah rakyat dengan alasan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan pembangunan untuk kepentingan umum. Aparat penegak hukum pun kini terkesan kehilangan integritas. Demi mengkriminalkan Fatia dan Haris kepolisian bergerak super cepat memenuhi perintah Sang Menteri. Kinerja cepat kepolisian tersebut bertolak belakang ketika petani, nelayan, masyarakat adat, buruh, dan perempuan yang melaporkan ribuan tindakan penggusuran tanah bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh para pengusaha, para jenderal maupun elit pemerintahan.

Seharusnya para penegak hukum melakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Saat ini hukum tak lagi hanya mengedepankan kepastian hukum (rechtmatigheid), akan tetapi menyeimbangkan pula dengan asas kemanfaatan (doelmatigheid). Dinamika perkembangan hukum dan kebutuhan keadilan restoratif Indonesia padahal telah diatur oleh Jaksa Agung melalui Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif yang telah efektif dilaksanakan dan direspon positif oleh masyarakat. Sebaiknya penyidik dan kepolisian merujuk hal tersebut berkaitan dengan menciptakan keadilan restoratif, karena statement Fatia dan Haris adalah bukan merupakan bentuk kejahatan.

Baca Juga:  Mahasiswa Papua di Sulut Desak Komnas HAM RI Investigasi Kasus Penganiayaan di Puncak

Data KPA menunjukkan selama dua tahun masa pandemi (2020-2021) telah terjadi 448 letusan konflik agraria akibat perampasan tanah skala besar di 902 desa/kota, tersebar di 34 provinsi wilayah Indonesia. Ironisnya, di tahun 2021 menunjukan terjadi kenaikan konflik yang signifikan di sektor pembangunan infrastruktur sebesar 74% dan sektor pertambangan sebesar 167%, termasuk di dalamnya berbagai PSN. Bahkan PSN mengalami kenaikan 123% sebagai penyebab konflik agraria struktural. Resistensi dari masyarakat terdampak di wilayah-wilayah konflik agraria tersebut dibarengi dengan respon represif dan mobilisasi aparat hingga penangkapan warga serta aktivis. Sejalan, catatan advokasi kasus Solidaritas Perempuan juga menunjukkan bahwa dalam konflik agraria, perempuan mengalami ketidakadilan berlapis termasuk di dalamnya intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi, hingga pernyataan misoginis dan serangan terhadap seksualitas perempuan. Hal ini dialami tidak hanya oleh perempuan aktivis, tetapi juga perempuan akar rumput yang memperjuangkan ruang hidup dan sumber-sumber kehidupannya.

Sulit mendapati adanya itikad baik dari pemerintah untuk menuntaskan konflik agraria di berbagai sektor khususnya bisnis tambang, terlebih bila pelaku perampasan tanah adalah para jenderal dan pengusaha kelas kakap. Begitulah ironi wajah hukum Indonesia yang dijalankan hari ini, semakin tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Berdasarkan krisis agraria/SDA, krisis demokrasi dan kebebasan berpendapat pada kasus Fatia dan Haris, Komite Nasional Pembaruan Agraria menuntut Pemerintah, utamanya Presiden, Kapolri dan seluruh jajaran terkait untuk segera:

  1. Hentikan segala tindakan kriminalisasi, intimidasi, dan bentuk kekerasan negara lainnya pada Pembela HAM (aktivis, petani, masyarakat adat, nelayan, buruh, mahasiswa dan perempuan);
  2. Bebaskan Fatia Maulidiyanti, Haris Azhar, para pembela HAM dan seluruh orang yang mempertahankan hak konstitusionalitasnya atas tanah dan SDA dari ancaman kriminalisasi dan segala tuntutan hukum yang disetir kekuatan modal serta kekuasaan yang represif;
  3. Hentikan segala bentuk represivitas dan penggunaan hukum sebagai senjata pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat termasuk kritik pada pejabat publik;
  4. Berikan jaminan penghormatan, pengakuan dan perlindungan atas kerja-kerja para pembela HAM yang aktif dalam mengkritisi dan mengawasi pejabat publik;
  5. Buka seluruh data penguasaan dan pemilikan tanah serta SDA (konsesi tambang, kehutanan (HTI), perkebunan/HGU), yang melibatkan elit pemerintah dan pengusaha yang telah banyak menyebabkan konflik agraria struktural; dan
  6. Hentikan segala bentuk perampasan tanah dan penggusuran masyarakat yang menjadi penyebab utama ketimpangan agraria, konflik agraria, kerusakan alam dan kemiskinan struktural di Tanah Papua dan seluruh Tanah-Air.
Baca Juga:  PTFI Bina Pengusaha Muda Papua Melalui Papuan Bridge Program

Demikian pernyataan sikap kami untuk diperhatikan dan ditindaklanjuti oleh Presiden serta jajarannya sesegera mungkin. Terima kasih.

Hormat kami

Komite Nasional Pembaruan Agraria

  1. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
  2. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
  3. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
  4. Aliansi petani Indonesia (API)
  5. Serikat Petani Indonesia (SPI)
  6. Solidaritas Perempuan (SP)
  7. Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
  8. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
  9. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS)
  10. Lokataru Foundation
  11. Bina Desa
  12. Sajogyo Institute (Sains)
  13. Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
  14. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)
  15. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
  16. Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM)
  17. Transformasi untuk Keadilan Indonesia (Tuk-Indonesia)
  18. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
  19. Sawit Watch (SW)
  20. Perkumpulan HuMa Indonesia
  21. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)

 

 

Artikel sebelumnyaDiskominfo Nabire Dorong Setiap OPD Bentuk Media Center Sebagai Bentuk Implementasi KIP
Artikel berikutnyaFokus Tiga Bidang, Bappeda Paniai Gelar Musrenbang RKPD 2023 Tingkat Distrik