BeritaMahfud MD Dianggap Berbohong Soal 82 Persen Rakyat Papua yang Menginginkan Pemekaran...

Mahfud MD Dianggap Berbohong Soal 82 Persen Rakyat Papua yang Menginginkan Pemekaran DOB

SORONG, SUARAPAPUA.com— Thomas Ch Syufi, Kordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR) menilai pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang mengklaim bahwa 82 persen orang asli Papua meminta pemekaran Papua menurut survei lembaga pemerintah adalah argumentasi yang menyesatkan dan itu bentuk karangan bebas dari seorang pejabat publik.

Menurut Thomas, klaim 82 persen itu tidak memiliki basis data yang kuat dan tidak valid untuk dibeberkan ke publik.

“Fakta yang ada itu, mayoritas orang Papua tolak pemekaran dengan tumpah ruah ke jalan-jalan melakukan aksi demonstrasi di seluruh tanah Papua, maupun luar Papua, kecuali para elit oportunis pemekaran Papua. [Oportunis] Mereka bisa dihitung dengan jari dan ditambah berapa kelompok pemuda dan masyarakat. Angkanya tidak sampai 1.000 orang yang pro pemekaran dari total sekitar 3-4 juta orang asli Papua.”

“Jadi pemerintah jangan adopsi kultur politik zaman fasisme atau NAZI di Jerman tahun 1930 hingga 1940an ke Indonesia. Di mana Joseph Gobbels, Menteri Propoganda NAZI mengatakan sepotong kebohongan yang dikemas atau diberitakan berulang-ulang kali akan menjadi kebenaran. Hal tersebut yang tengah dipraktekan oleh pemerintah Indonesia terhadap warga Papua,” ujar Thomas kepada suarapapua.com melalui pesan singkat dari Jayapura, Senin (2/5/2022).

Baca Juga:  Beredar Seruan dan Himbauan Lagi, ULMWP: Itu Hoax!

Alumni Uncen itu mempertanyaakan cara pemerintah melakukan survei terhadap warga Papua yang pro dan kontra terhadap pemekaran. Ia menyatakan, pemerintah jangan semena-mena menguasai segala sumber daya informasi dan teknologi yang akhirnya bebas menebar kebohongan kepada publik.

“Secara fisik Pak Mahfud tidak ada di Papua, atau data dari media pun tidak ada tentang mayoritas orang Papua dukung pemekaran, setidaknya yang melakukan aksi demo. Saya lihat pemerintah pusat sudah lengah mengurus Papua, tidak mampu lagi melawan gejolak konflik Papua dengan cara-cara yang baik dan benar. Jakarta seperti tergelincir dalam lembah irasinalitas dan amoralitas yàng akut untuk mengurus Papua dengan pendekatan humanitas dan kultur,” tukasnya.

Ia lalu meminta Menpolhukam menyampaikan fakta sebagai sebuah pertanggungjawaban moral pejabat publik kepada rakyat Papua. Karena konflik Papua terus membara di tengah maraknya kebijakan Otsus, pemekaran, puluhan hingga ratusan triliun rupiah anggaran yàng sudah digelontorkan ke Papua karena orientasi pemerintah hanya urus propoganda, sensasi, dan politik tanpa melihat akar masalah dengan mata hati.

Baca Juga:  Akomodir Aspirasi OAP Melalui John NR Gobai, Jokowi Revisi PP 96/2021

“Pèmerintah berhenti membusungkan dada kepada masyarakat internasional atas segala kebijakannya untuk Papua, karena hampir semua kebijakan itu tak pernah memapadamkan konflik, termasuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia sejak 1 Mei 1961 hingga 2022.”

“Menpohukam harus jujur bahwa berbagai kebijakan Jakarta untuk Papua sejak reformasi 1998, seperti Otsus, pemekaran, penerimaan putra-putri Papua sebagai PNS di kementerian, BUMN, TNI dan Polri tidak mampu meredam aspirasi dari rakyat Papua yang  terus menuntut kemerdekaan Papua,” tegasnya.

Oleh sebab itu ia minta dan desak Menkopolhukam untuk jujur fakta-fakta yang ia lihat dari mata hari dan mata kepala.

Sebelumnya Menkopolhukam Mahfud menyampaikan bahwa 82 persen orang Papua yang mendukung pemekaran DOB didapatkan berdasar hasil survei lembaga kepresidenan.

Baca Juga:  Soal Pembentukan Koops Habema, Usman: Pemerintah Perlu Konsisten Pada Ucapan dan Pilihan Kebijakan

Hal itu disampaikan Menkopolhuman usai mendampingi Presiden Jokowi dalam pertemuan antara Majalis Rakyat Papua (MRP) dan MRPB, di Jakarta belum lama ini.

“Kalau setuju tidak setuju itu biasa, hasil survei yang dilakukan lembaga kepresidenan itu malah 82 persen rakyat Papua itu minta pemekaran,” kata Mahfud MD.

Sementara Ketua Majelis Rakyat Papua, Mathius Murib meminta kepada Menkopolhukam agar menjelaskan lebih detile mengenai data, metode dan kepada siapa saja survei itu dilakukan.

“Indikator untuk pemekaran itu tidak ada. Tidak ada kajian ilmiah. Kita bisa berdebat karena wilayahnya luas, sumber daya kami luar biasa. Tidak bisa pertimbangan-pertimbangan seperti itu. Tapi harus ada kajian secara ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan barulah bisa dilakukan pemekaran. Tidak ada juga pertimbangan MRP dan tidak sesuai dengan mekanisme hukum yang ada,” pungkas Ketua MRP.

 

Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

HRM Melaporkan Terjadi Pengungsian Internal di Paniai

0
Pengungsian internal baru-baru ini dilaporkan dari desa Komopai, Iyobada, Tegougi, Pasir Putih, Keneugi, dan Iteuwo. Para pengungsi mencari perlindungan di kota Madi dan Enarotali. Beberapa pengungsi dilaporkan pergi ke kabupaten tetangga yakni, Dogiyai, Deiyai, dan Nabire.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.