Pejuang Noken Papua: Stop Deklarasi Buta!

0
915

WAKEITEI, SUARAPAPUA.com — Belakangan muncul sejumlah gerakan dukung kebijakan negara di Tanah Papua melanjutkan Otonomi Khusus (Otsus) dan mekarkan daerah otonom baru (DOB), yang sejatinya sudah ditolak dengan tegas melalui berbagai aksi demonstrasi.

Dukungan dinyatakan dengan menggelar deklarasi dari tempat terbuka maupun tertutup. Seperti dilakukan kelompok LMA di Wamena maupun di Sentani, dan yang teranyar pada hari Rabu (15/6/2022) pekan lalu Eltinus Omaleng deklarasikan dari halaman gedung Gereja Kingmi Martin Luther, Mile 32, Karang Senang, distrik Kuala Kencana, Mimika.

Titus Pekei, penggagas Noken Papua di UNESCO yang juga peneliti Ecology Papua Institute (EPI), menilai aksi deklarasi dukungan yang difasilitasi elit politik di tengah penolakan dari masyarakat menunjukkan buntunya solusi yang harus ditempuh untuk mengatasi pelbagai persoalan di Tanah Papua.

“Seharusnya jujur saja sampaikan bahwa tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua. Tetapi satu dua orang deklarasikan tentang daerah otonom baru (DOB) dan Otsus itu namanya deklarasi buta. Paksakan rakyat yang sudah tidak mau dan tolak berkali-kali,” ujarnya, Kamis (23/6/2022).

Menurut Titus, kesannya sudah tidak ada lagi solusi lain, pemerintah pusat dan daerah justru masih terus memaksakan ketidakberdayaan rakyat Papua yang sedang menanti ‘angin segar’ atas tumpukan masalah selama ini.

ads

“Paksa terima itu sama saja cara brutal dan buta dengan kenyataan. Masyarakat tolak karena tidak sesuai dengan apa yang terjadi dan dirasakan sekarang. Tidak ada jaminan keselamatan akibat aspek keamanan yang masih belum selesai, lalu rakyat dikagetkan dengan pemekaran daerah baru. Negara tidak peka dengan fakta, lebih mementingkan hal lain,” tuturnya.

Pejuang Noken ini membedah fakta di daerah otonom baru selain pembangunan belum maksimal juga situasi damai belum tercipta bahkan konflik berkepanjangan terjadi di daerah-daerah pemekaran. Sebut saja Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Puncak Papua, Maybrat, dan daerah lain di Tanah Papua.

Baca Juga:  ULMWP Desak Dewan HAM PBB Membentuk Tim Investigasi HAM Ke Tanah Papua

“Sekarang malah paksa lagi tanpa melihat syarat dan mekanisme. Selama ini muncul ide pembentukan daerah otonom baru itu tidak sesuai aspirasi rakyat. Makanya saya nyatakan itu deklarasi buta di Papua,” ujar Titus.

Suara rakyat diyakini berbeda dengan perjuangan politisi dan pemerintah, sebab menurutnya, sejak lama sudah ada suara penolakan.

“Tetapi mengapa mau ciptakan kesenjangan dari berpikir hingga dalam realita kehidupan masyarakat Indonesia. Papua bukan tanah kosong untuk mudah duduki. Masyarakat Papua butuh pembangunan daerah secara maksimal, tetapi bukan dengan pemekaran, bukan tambah wilayah baru, tetapi fokus maksimalkan yang sudah ada,” tuturnya.

Sejauh pengamatan Titus, keadaan Papua yang dulu hidup damai, tetapi hari ini hidup dalam masalah. Dalam situasi begitu belum ada solusi tepat, justru kebijakannya kian menambah masalah lagi dari masalah yang sudah ada dan terjadi sebelumnya.

“Masyarakat Papua hidup apa adanya selama ini. Mengapa terus mendesak dan muncul masalah yang tidak ada ujungnya, panjang menyita energi bagi Papua hingga menelan korban, konflik bersenjata antara TNI/Polri dan TPNPB, negara dalam hal ini presiden Joko Widodo anggap sepele saja.”

Seharusnya negara menjalankan Undang-undang Hak Asasi Manusia (HAM), dan warga dijamin dengan konstitusional ketika hendak menyampaikan aspirasinya.

“Masyarakat Papua selalu sampaikan aspirasi sesuai amanat undang-undang, tetapi biasanya tidak disaring baik, langsung dihadapkan dengan kekuatan negara. Kami prihatin terhadap karakter penguasa pusat dan daerah, apalagi sampai presiden terus mengirim pasukan bersenjata dari berbagai kesatuan,” ujarnya.

Baca Juga:  Masyarakat Tolak Pj Bupati Tambrauw Maju Dalam Pilkada 2024

Titus juga bertanya, “Kehadiran militer di Tanah Papua sudah menyelesaikan masalah ataukah justru menambah masalah? Presiden mesti paham, dan bukan terus munculkan masalah baru. Ditambah lagi label pengacau, separatis hingga teroris. Itu berarti buta, apatis untuk mencari solusi damai bagi Papua. Ini alasan mengapa Papua tidak pernah damai, justru gemar ciptakan masalah baru secara brutal. Akhirnya, sampai hari ini belum berakhir dan belum damai berarti ada hal yang tidak beres bagi Papua.”

Hal itu menurutnya bukti bahwa sumber masalah di Tanah Papua belum pernah terurai bahkan terus menerus dibiarkan begitu saja.

“Sumber masalah yang terjadi di Papua makin hari makin tidak beres. Mengapa Indonesia yang menganut demokrasi makin tidak jelas pada hari ini? Tersumbatnya demokrasi, keterbukaan, kejujuran, kebenaran, keadilan, dan perdamaian, makin jauh dalam kehidupan sehari-hari.”

“Masyarakat adat Papua paham demokrasi. Tentu memahami Papua secara baik, tetapi tidak terjadi. Justru terjadi masalah terus menerus hingga tidak selesai karena tidak sesuai dengan keinginan bersama dalam kehidupan di semua aspek,” ujar Titus.

Sebelumnya diberitakan media ini, Dewan Adat Wilayah Meepago mempertanyakan sikap bupati Mimika mendeklarasikan provinsi Papua Tengah tanpa dukungan dan aspirasi dari masyarakat di wilayah Meepago.

“Tidak ada fakta di lapangan yang menunjukkan adanya aspirasi yang muncul di tengah masyarakat yang meminta atau menyampaikan kepada DPRD atau DPRP tentang pemekaran kabupaten ataupun provinsi di wilayah Meepago. Sama halnya kepada MRP ketika menjaring pendapat di wilayah Meepago, tidak pernah ada penyampaian oleh masyarakat untuk mengusulkan atau meminta pemekaran. Karena itulah kami mempertanyakan deklarasi Papua Tengah itu. Apa tolok ukurnya, selain aspirasi rakyat berdasarkan kedaulatan yang dimiliki dalam hidup berbangsa dan bernegara,” ujar Marko Pekei, ketua Dewan Adat Wilayah Meepago dalam siaran pers, Sabtu (18/6/2022).

Baca Juga:  Tak Patuhi Aturan, 38 Anggota PPD di Intan Jaya Diberhentikan Sementara

Marko menyatakan kenyataan selama ini mayoritas masyarakat menolak adanya pemekaran DOB di seluruh Papua. Hal itu dapat dilihat dari berbagai demonstrasi di beberapa kabupaten yang menolak DOB, selain melalui pernyataan sikap kepada publik.

Sikap mayoritas masyarakat menolak pembentukan DOB, lanjut Marko, tentu dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah tidak adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan di daerah.

“Semestinya kita bertanya, mengapa mayoritas masyarakat menolak DOB? Atau pertanyaan lainnya, mengapa setiap kali muncul ide pemekaran, masyarakat menolak? Apa alasannya sehingga menolak? Salah satu alasan adalah selama ini para elit politik mengabaikan partisipasi rakyat. Rakyat tidak pernah dimintai pendapatnya, padahal rakyat selaku subyek pembangunan semestinya dibuka ruang jajak pendapat agar masyarakat bisa menyampaikan pendapat. Tetapi hal itu tidak pernah terjadi selama ini di wilayah Meepago dan bahkan di seluruh Papua,” tuturnya.

Marko justru mempertanyakan kapan dan dimana para elit politik tanya masyarakat? Jika disediakan ruang jajak pendapat untuk jaring aspirasi dan mayoritas masyarakat setuju, tentu tidak menjadi masalah untuk pemekaran sebuah wilayah karena pemekaran daerah pun tujuannya untuk pembangunan daerah.

“Persoalannya para elit mengambil jarak dengan masyarakat dan tidak pernah membuka ruang bicara. Pendapat rakyat diabaikan, dianggap tidak perlu. Padahal, dalam hidup berbangsa di negara demokrasi, kedaulatan rakyat harus dijunjung dan diutamakan dalam berbagai kebijakan pemerintah.”

Pewarta: Markus You

Artikel sebelumnyaTruk Buang Sampah di TPS, Warga: DLH Sorong Harus Segera Bertindak
Artikel berikutnyaPapua: Bangsanya Dihina, Rakyatnya Dibunuh, Alamnya Dikuras