Perdagangan Senjata Ilegal, Pengungsian Internal dan ‘Pendekatan Baru’ di West Papua

0
902

Pendahuluan

Briefing ini menyoroti laporan-laporan perdagangan senjata yang dilakukan aparat keamanan secara ilegal, pengungsian internal yang terus berlanjut, dan klaim militer soal pendekatan baru. Briefing ini secara khusus juga menyelisik alasan-alasan di balik situasi tersebut dan minimnya tindakan yang koheren dari pemerintah. Alasan yang mendasari perdagangan senjata adalah militerisme yang mengakar di West Papua, daerah tempat berlangsungnya operasi-operasi militer yang mengakibatkan kekerasan dan menyebabkan masyarakat mengungsi. Perdagangan senjata terjadi ketika aparat keamanan berusaha mengontrol narasi tentang peran mereka di West Papua, pertama mereka menjustifikasi pelabelan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sebagai teroris dengan alasan demi melindungi sipil, kemudian mereka menyatakan akan menerapkan ‘pendekatan baru’, yang tampaknya sama saja dengan pendekatan lama. Sebagaimana yang kini tengah terjadi, jumlah pengungsi internal meningkat dan para pengungsi itu dikabarkan kurang mendapat pertolongan negara.

Pencurian dan perampasan senjata

Perdagangan senjata dalam skala yang kecil telah ada di West Papua sejak bertahun-tahun yang lalu.  Senjata itu umumnya dijual oleh aparat keamanan kepada TPNPB. Salah satu dampak situasi tersebut adalah masyarakat sipil kerap dituduh membantu memasok senjata untuk TPNPB. Selain itu, TPNPB juga memperolehnya dengan cara mencuri saat melakukan serangan terhadap aparat keamanan. Kriminalisasi terhadap warga sipil yang dituduh terlibat perdagangan senjata tersebut berujung insiden penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum. Sebagai contoh, tujuh anak kecil dituduh mencuri senapan seorang tentara yang sedang asyik main kartu di sebuah pos penjagaan dekat bandara Tapalunik, Sinak, Kab. Puncak, 28 Februari 2022. Anak-anak tersebut tengah menonton televisi saat senapan itu hilang. Anak-anak itu disiksa, beberapa dari mereka dilarikan ke rumah sakit karena luka parah. Seorang anak, Makilon Tabuni, meninggal akibat siksaan itu. Jasadnya dikremasi keluarganya di halaman Kepolisian Sektor (Polsek) Sinak. Tim Advokasi HAM untuk Papua mendesak pemerintah membuat penyelidikan independen atas kejadian tersebut.[1]

Daerah lain yang diberitakan pernah terjadi pencurian senjata aparat keamanan adalah Kabupaten Pegunungan Bintang yang berbatasan dengan Papua Nugini. Dalam sebuah serangan terhadap Pos Kepolisian Subsektor (Polsubsektor) Oksamol yang terjadi pada 28 Mei 2021, seorang kepala pos kepolisian tewas terbunuh, dan pelaku penyerangan yang tidak dikenal itu mengambil dua senjata laras panjang polisi.[2]

Perdagangan senjata skala kecil oleh aparat keamanan

Mencuri senjata yang sedang di luar pengawasan terlalu besar risikonya. Metode yang lebih umum dalam memperoleh senjata adalah dengan membelinya dari aparat keamanan atau pegawai pemerintah. Hal ini juga berisiko bagi si penjual: pada 2020, seorang tentara diadili dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan militer karena menjual senjata dan ia dihukum penjara seumur hidup.[3] Dalam sejumlah kasus yang terjadi pada November 2020 hingga November 2021, pihak berwenang menyatakan telah menggagalkan perdagangan senjata skala kecil. Pegawai negeri setempat dituduh menyelundupkan empat senjata mesin dari Biak ke Intan Jaya pada akhir 2020;[4] dua anggota polisi dan empat warga sipil di Ambon dituduh hendak memasok senjata dan amunisi untuk kelompok bersenjata pada Maret 2021;[5] seorang pegawai negeri dituduh memiliki amunisi di Yahukimo pada September 2021;[6] lalu personel aparat keamanan ditangkap di Nabire dan Pulau Yapen pada akhir tahun 2021 karena disangka menjual senjata kepada TPNPB.[7] Dalam kasus Nabire dan Yapen, anggota parlemen pusat mendorong pihak berwenang untuk “mengusut tuntas” insiden tersebut tapi tidak mengemukakan kenapa perdagangan senjata ilegal bisa terjadi.

Salah satu ciri dari kasus-kasus di atas adalah perilaku aparat keamanan yang menuduh warga sipil terlibat sebelum mereka didakwa secara formal. Sebagian jurnalis di Indonesia lebih sering memberitakan kejadian versi polisi tanpa memeriksa ulang tuduhan-tuduhan tersebut. Misalnya dalam berita-berita yang menyatakan bahwa seorang warga yang sedang dalam perjalanan ke Timika dihentikan dan ditangkap aparat di bandara Mulia, Puncak Jaya. Warga itu dituduh polisi membawa uang sebesar 370 juta rupiah untuk membeli senjata dan amunisi. Polisi mengatakan bahwa uang yang secara keseluruhan berjumlah 600 juta rupiah telah disediakan seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Puncak.[8] Polisi pun akhirnya ditantang untuk membuktikan pernyataannya dan anggota dewan tersebut dengan tegas menyangkal tuduhan bahwa ia menyuplai dana.[9]

ads

Aparat keamanan juga mengklaim bahwa anggota organisasi politik prokemerdekaan seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB) terlibat dalam perdagangan senjata dan penyerangan terhadap personel militer.[10] Di wilayah perbatasan Pegunungan Bintang, militer menyatakan bahwa mereka menyadap dan menangkap anggota KNPB yang diduga telah menyelundupkan senjata dari Papua Nugini.[11] Pihak militer juga menyatakan bahwa akibat penangkapan tersebut, pemimpin KNPB setempat menyerang petugas kesehatan dengan dukungan TPNPB pada September 2021. Namun sebuah media nasional mengutip sumber lokal yang menyatakan bahwa serangan itu justru dilakukan oleh satu faksi politik lokal karena bersaing dengan faksi yang lain. Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Cenderawasih pun mengaku bahwa militer tidak melakukan penyelidikan yang mendalam atas situasi politik lokal.[12] Karenanya, klaim militer bahwa KNPB terlibat dalam serangan tersebut tampak tidak berdasar.

Baca Juga:  Pertamina Patra Niaga Regional Papua Maluku Lakukan Sidak ke Sejumlah SPBU Sorong

Masalah dari kasus-kasus di atas adalah bahwa anggota-anggota KNPB telah secara rutin dikriminalisasi oleh aparat keamanan, bahkan pimpinan mereka pernah dibunuh oleh polisi.[13] Di samping itu, pilar keempat demokrasi tidak berjalan semestinya dalam memberitakan West Papua secara objektif. Sistem peradilan di Indonesia menghukum orang dengan dakwaan makar untuk pelanggaran yang lebih ringan, bukan karena perdagangan senjata. Ketika hukuman bagi mereka yang didakwa dan dihukum karena terlibat perdagangan senjata amat berat, di banyak tempat di West Papua,  justru tindak-tanduk aparat keamanan kerap lepas dari pengawasan. Bahkan di daerah-daerah terpencil, aparat keamanan sering kali lebih berkuasa dari pemerintahan sipil.

Dampak-dampak militerisme

Perdagangan senjata ilegal mensyaratkan adanya kemungkinan pendanaan,  personel dan markas aparat keamanan yang ada di mana-mana, dan kesediaan untuk melakukan transaksi. Kemungkinan pendanaan – sebab penjualan senjata mengharuskan tersedianya dana dengan jumlah besar yang bisa jadi diperoleh dari penyalahgunaan dana infrastruktur, otonomi khusus, dan pembangunan, oleh personel aparat keamanan dan pejabat pemerintah lainnya sejak 2001.[14] Dan di sejumlah wilayah yang diduga menjadi tempat senjata diperjualbelikan, biasanya memiliki garis pantai yang luas atau berada di daerah-daerah perbatasan, sehingga bisa lebih mudah melakukan transit. Prevalensi – karena terdapat banyak aparat militer dan kepolisian di West Papua dengan jumlah markas yang terus bertambah, dengan banyak senjata yang mereka miliki. Kesediaan bertransaksi – karena perdagangan senjata ilegal mensyaratkan adanya pembeli dari kelompok bersenjata dan penjual dari kalangan aparat keamanan. Aparat keamanan mungkin menjual senjata karena gajinya rendah, moralnya lemah atau terdapat pasar gelap yang melibatkan pejabat tinggi aparat keamanan.

Tidak satu pun dari kondisi di atas yang terjadi tanpa militerisme, situasi ketika perang dan aktivitas atau operasi keamanan menjadi sesuatu yang dianggap “normal”. Inilah situasi yang berlangsung di daerah Pegunungan Tengah dan di Provinsi Papua Barat. Dalam hal ini, penjualan senjata ilegal merupakan sebuah gejala militerisme. Gejala militerisme lainnya adalah pengungsian internal. Masalah pengungsian internal sudah semakin kompleks di dua wilayah tersebut karena mereka yang mengungsi dari operasi aparat kurang mendapat perhatian pemerintah atau dukungan dari badan kemanusiaan serta takut untuk pulang.[15]

Berdasarkan laporan-laporan pengamat independen, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Februari 2022 memperkirakan  terdapat 60.000-100.000 pengungsi internal di seluruh West Papua.[16] Sebagian besar dari mereka mengungsi akibat konflik antara aparat keamanan Indonesia dan TPNPB sejak akhir 2018. Pemerintah tidak mengizinkan lembaga bantuan kemanusiaan untuk membantu para pengungsi, sedangkan upaya pemerintah sendiri tidak terkoordinasi dan tidak memadai.[17]  Ketika PBB dan Pelapor Khusus mengangkat masalah pengungsian internal dan perilaku aparat keamanan kepada perwakilan Pemerintah Indonesia di PBB, pertanyaan mereka diabaikan atau dibelokkan.[18]

Pada Mei 2021, otoritas setempat memperkirakan bahwa terdapat sekitar 19.000 pengungsi di Kabupaten Puncak. Pengamat lain memperkirakan jumlahnya lebih besar, sekitar 35.000 orang.[19] Kondisi warga sipil yang mengungsi sangat rentan, dan pada Februari 2022, beberapa anak disiksa hingga satu di antara mereka tewas di daerah tersebut. Pengungsi biasanya membangun tenda semi permanen di dekat atau di dalam halaman gereja. Sedangkan sembilan gereja telah menjadi target penembakan oleh aparat keamanan dan kampung-kampung lainnya dihujani peluru, termasuk yang dilepaskan dari helikopter militer.

Masalah pengungsian internal kini ada di wilayah perbatasan Pegunungan Bintang, Provinsi Papua, tempat militer berencana untuk membangun markas komando tingkat distrik (kodim) baru, yang kemungkinan akan memperburuk masalah. Pada akhir Oktober 2021, diperkirakan ada 2.000 pengungsi dari Distrik Kiwirok, menyusul kontak tembak antara aparat keamanan dan TPNPB pada September 2021. Militer diduga melakukan serangan udara ke arah perkampungan yang warganya dituduh memberi dukungan kepada TPNPB di wilayah tersebut. Sejumlah pengungsi telah lama berada di hutan tanpa tempat berlindung yang layak, sementara yang lain telah melarikan diri ke Papua Nugini dengan menerobos perbatasan.

Di Yahukimo, yang berbatasan dengan Pegunungan Bintang, aparat keamanan dilaporkan melakukan pembunuhan di luar hukum terhadap tiga warga sipil pada Juni 2021. Dalam insiden terpisah, seorang anak berusia dua tahun tewas setelah terkena peluru, yang kemungkinan ditembakkan oleh aparat, juga melukai saudara laki-lakinya yang berusia enam tahun. Yahukimo juga menjadi tempat terjadinya peningkatan pengungsian internal sejak November 2021, ketika 5.000 orang melarikan diri dari operasi aparat keamanan.[20]

Baca Juga:  Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Tanda Kehormatan Kepada Jenderal Terduga Penjahat Kemanusiaan

Seperti yang dilaporkan TAPOL pada Februari 2022, situasi pengungsian internal di Kabupaten Maybrat semakin diperburuk oleh operasi aparat keamanan. Keuskupan Katolik di Sorong pernah meminta komandan militer di Maybrat  untuk mengizinkan para pengungsi kembali ke kampung dengan selamat. Namun pihak militer tidak memberi tanggapan.[21]

Masih perkara perang

Militer dan pemerintah pusat mengumumkan “pendekatan baru” untuk West Papua pada November 2021. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa pendekatan baru ini akan mengganti “operasi tempur” menjadi “operasi teritorial”. Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengatakan bahwa inti dari pendekatan baru tersebut “adalah pembangunan kesejahteraan yang komprehensif dan sinergis… Artinya pendekatan di Papua itu bukan senjata, tapi kesejahteraan”.[22]

Hal itu bukanlah pendekatan baru. Presiden Yudhoyono yang turun takhta tahun 2014 sudah pernah membicarakan pendekatan “kesejahteraan” untuk West Papua. Sejak Undang-Undang Otonomi Khusus disahkan tahun 2001 hingga mengalirnya dana pembangunan dan infrastruktur tahun 2020, pemerintah telah menggelontorkan uang sebesar US$7,4 miliar (setara Rp108 triliun)—tapi sambil membungkam hak-hak politik orang Papua, utamanya sejak empat tahun terakhir.[23] Hampir lima bulan setelah “pendekatan baru” diumumkan pemerintah dan militer, praktik di lapangan masih tentang senjata dan perang, tercermin dari adanya transaksi senjata ilegal, kegagalan mengatasi masalah pengungsi internal, dan, menurut sejumlah sumber,  76.227 personel TNI-Polri dikirim secara kumulatif sepanjang 2013-2021.[24]

Awalnya Jenderal Andika Perkasa tidak menjelaskan secara rinci pendekatan baru  tersebut, tapi kemudian sedikit penjelasan mengemuka.[25] Namun kebanyakan dari penjelasannya itu hanya daur ulang dari apa yang disampaikan sebelum pengumuman TPNPB sebagai kelompok teroris, yang darinya militer mempunyai dalih untuk mengambil peran utama dalam menjalankan operasi. Sekarang aparat keamanan akan kembali melakukan operasi gabungan, tetapi dengan “intelijen yang lebih baik” untuk berkoordinasi selama operasi.[26] Bahkan pesannya tetap sama: pendekatan baru adalah tentang “melindungi” warga sipil dari TPNPB, alasan yang sama dalam pelabelan TPNPB sebagai teroris.[27]

Komunikasi publik tampaknya memiliki peran yang sangat penting dalam bagaimana pasukan keamanan mencitrakan dirinya sendiri. Memang inilah perubahan strategi yang sebenarnya. Salah satu lembaga think tank propemerintah mengatakan bahwa “komunikasi sosial” dan “propaganda positif” yang lebih kuat adalah bagian penting dari pendekatan Jenderal Andika. Sambil menutup mata terhadap fenomena penjualan senjata ilegal, mereka mengira bahwa propaganda positif dapat membantu pasukan untuk memiliki “integritas, kesadaran, dan kepatuhan hukum” yang lebih baik.[28] Agaknya sulit untuk menemukan pernyataan pejabat atau media Indonesia yang menempatkan perkara senjata ilegal pada masalah gaji, kondisi, dan moral yang buruk di kalangan prajurit.

Kesimpulan

Transaksi senjata antara aparat keamanan Indonesia dan kelompok bersenjata mempunyai sejarah yang panjang tapi terdapat peningkatan laporan bahwa hal itu terjadi. Di daerah lain, tempat aparat keamanan hadir secara signifikan, perdagangan senjata dibilang “berkaitan langsung” dengan tingkat kekerasan.[29] Dana mesti tersedia, aparat keamanan mesti bersedia menjual senjata melalui jejaring kontak (mungkin karena gaji, moral, dan pengawasan yang rendah), ada permintaan dari kelompok bersenjata, dan kehadiran aparat keamanan dalam jumlah banyak dianggap sebagai sesuatu yang lazim. Transaksi tersebut tidak semata-mata bergantung pada motivasi personal atau uang itu sendiri, melainkan militerisme, suatu situasi ketika aktivitas aparat keamanan kian dilihat sebagai hal yang lumrah. Inilah situasi di West Papua hari ini, ketika tentara dan polisi tampil sebagai humas yang meyakinkan pengamat bahwa West Papua dalam keadaan normal dan tidak lagi jadi sasaran operasi tempur. Ceritanya akan sangat lain bagi orang-orang yang tinggal di wilayah konflik dan berlangsung operasi keamanan, yang menyasar kampung-kampung yang disangka membantu TPNPB dan akibatnya terus melahirkan pengungsian. Masalah-masalah tersebut tidak akan selesai tanpa mengatasi masalah pengungsian internal, dana legal dan ilegal yang digelontorkan kepada aparat keamanan, dan meningkatnya militerisasi di West Papua.

27 Mei 2022

Tapol UK


[1] Tim Advokasi HAM untuk Papua, ‘Penganiayaan dan Penyiksaan Anak di Puncak Papua Bukti Negara Tidak Serius Lindungi Anak di Papua’, 1 Maret 2022.
[2] antaranews.com, ‘Polisi temukan 2 senpi Polsubsektor Oksamol yang dicuri KKB’, 3 Juni 2021.
[3] lines.id, ‘Anggota TNI di Papua Jual Senjata ke KKB, Divonis Hukuman Seumur Hidup’, 14 Maret 2020.
[4] antaranews.com, ‘Papua’s Intan Jaya Civil Servant detained for arms police trade’, 11 November 2020.
[5] surabaya.tribunenews.com, ‘Kabar Terbaru Kasus Bripka MRA dan SAP, Oknum Polisi yang Jual Amunisi dan Senjata ke KKB Papua’, 28 Maret 2021.
[6] A. Dirgantara, ‘Diduga Pasok Senpi ke KKB Papua, Oknum ASN Yahukimo Ditangkap’, 22 September 2021.
[7] jpnn.com, ‘Brigadir JO dan Bripda AS Jual Amunisi ke KKB, Pangeran: Usut Tuntas Jaringan Pengkhianatan Ini’, 1 November 2021.
[8] jpnn.com, ‘Anggota KKB Bawa Duit Rp 370 Juta, Katanya dari Seseorang, Buat Beli Senpi dan Amunisi’, 16 Juni 2021; A. Santoso, ‘Pemasok Senjata KKB Papua Simpan Catatan Bantuan Uang dari Pemda Puncak’, 15 Juni 2021.
[9] J. Ramdhani, ‘NasDem Minta Polri Buktikan Dugaan Ketua DPRD Tolikara Danai KKB Beli Senpi’, 16 Juni 2021; J. Ramdhani, ‘3 Bantahan Ketua DPRD Tolikara soal Danai Pemasok Senpi KKB Papua’, 16 Juni 2021.
[10] I. Khalid, ‘2 Kali Lolos, Buron Pemasok Senpi-Amunisi untuk KKB Intan Jaya Ditangkap!’, 5 Januari 2021.
[11] Tentara mengklaim telah menyadap dua orang, yang dituduh sebagai anggota KNPB, menyelundupkan senjata dari Papua Nugini di Sungai oksib-Mongham. ‘Penampakan 5 Senapan Serbu Dibawa 2 Anggota KKB dari Arah Papua Nugini’, 9 September 2021.
[12] W. Siagian, ‘KKB Lecehkan dan Bunuh Nakes di Papua, TNI Sebut KNPB Terlibat’, 9 September 2021; R. Rikang, ‘The Indonesian Military’s Attack on the Papua’s District of Kiwirok’ 14 November 2021.
[13] BBCindonesia.com ‘Pegiat HAM protes kasus penembakan aktivis Papua’, 15 June 2012.
[14] [14] TAPOL, ‘Militerisme yang Mengakar, Pendekatan “Kesejahteraan”, dan Politik Pengecualian di West Papua’, 8 Desember 2020; dan TAPOL, ‘Militer Indonesia dan Kontraterorisme: Bisnis Baru, Cara Lama’, 5 Oktober 2021.
[15] OHCHR, ‘Mandates of the Special Rapporteur on the rights of indigenous peoples, the Special Rapporteur on extrajudicial, summary or arbitrary executions and the Special Rapporteur on the human rights of internally displaced persons’, Ref.: AL IDN 11/2021. 27 Desember 2021.
[16] United Nations Human Rights Special Procedures, ‘Indonesia: UN experts sound alarm on serious Papua abuses, call for urgent aid’, 1 Maret 2022. Akibat mengungsi dari kekerasan, sejumlah orang telah melintasi perbatasan darat menuju Papua Nugini.
[17] Upaya menyalurkan bantuan beras oleh gereja lokal dihadang oleh polisi yang bersikeras bahwa mereka tidak boleh mengunjungi para penungsi secara personal. OHCHR, ‘Mandates of the Special Rapporteur on the rights of indigenous peoples, the Special Rapporteur on extrajudicial, summary or arbitrary executions and the Special Rapporteur on the human rights of internally displaced persons’, Ref.: AL IDN 11/2021. 27 December 2021, hlm. 4.
[18] OHCHR, ‘Mandates of the Special Rapporteur on the rights of indigenous peoples, the Special Rapporteur on extrajudicial, summary or arbitrary executions and the Special Rapporteur on the human rights of internally displaced persons’, Ref.: AL IDN 1/2020, 8 Juni 2020.
[19] OHCHR, ‘Mandates of the Special Rapporteur on the rights of indigenous peoples, the Special Rapporteur on extrajudicial, summary or arbitrary executions and the Special Rapporteur on the human rights of internally displaced persons’, Ref.: AL IDN 11/2021. 27 December 2021, hlm. 4.
[20] OHCHR, ‘Mandates of the Special Rapporteur on the rights of indigenous peoples, the Special Rapporteur on extrajudicial, summary or arbitrary executions and the Special Rapporteur on the human rights of internally displaced persons’, Ref.: AL IDN 11/2021. 27 December 2021, hlm. 6.
[21] TAPOL, ‘Militerisasi, konflik, dan ketidakadilan di Kabupaten Maybrat, Papua Barat’, 17 Februari 2022.
[22] BBC Indonesia, ‘Papua: ‘Pendekatan baru’ penyelesaian konflik bersenjata, antara harapan penurunan kekerasan dan tudingan janji ‘hampa’’, 26 November 2021.
[23] A. Malik, ‘Indonesia to evaluate special funds for Papua: Why $7.4bn since 2002 hasn’t solved problem’, Theconversation.com, 22 Februari 2020.
[24] S. Sucahyo ‘Tolak Wacana Pemekaran Papua, Demo Meletus di Beberapa Tempat’ 10 Mei 2022,
[25] BBC Indonesia, ‘Papua: ‘Pendekatan baru’ penyelesaian konflik bersenjata‘, 26 November 2021.
[26] L.S. Rahayu, ‘KSAD Dudung Bicara Rangkul KKB, Ini PR Pengamanan di Papua’, 25 November 2021.
[27] TAPOL, ‘Militer Indonesia dan Kontraterorisme: Bisnis Baru, Cara Lama’, 5 Oktober 2021.
[28] L.S. Rahayu ‘KSAD Dudung Bicara Rangkul KKB, Ini PR Pengamanan di Papua’, 25 November 2021.
[29] Sangaji, ‘The security forces and regional violence in Poso’ in G. van Klinken and H. Schulte Nordholt, Renegotiating Boundaries. Local Politics in Post-Suharto Indonesia, KITLV, 2007, hlm. 276.

Baca Juga:  PTFI Bina Pengusaha Muda Papua Melalui Papuan Bridge Program
SUMBERLaporan TAPOL UK
Artikel sebelumnyaIzin Pelepasan Kawasan Hutan Dicabut, Tiga Perusahaan di Papua Gugat Menteri Investasi
Artikel berikutnyaBerdiri Sejak 2010, OLEP Yahukimo Tamatkan 31 Siswa